x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Pernah Sebut lagi Kami “Ndeso’ dan ‘Kampungan’

Sebuah buku berjudul Revolusi Dari Desa yang ditulis oleh praktisi birokrasi tentang konsep pembangunan yang dimulai dari desa, dengan prinsip dari, oleh, dan untuk seluruh rakyat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suka maupun tidak, selama ini desa senantiasa dipandang sebelah mata oleh berbagai kalangan, termasuk juga orang yang tinggal di wilayah perkotaan. Bahkan munculnya idiom ‘ndeso’ yang berasal dari bahasa Jawa, seperti juga kata ‘kampungan’ yang acapkali terdengar dari mulut orang yang melihat seseorang berperilaku tidak sesuai dengan ‘tatakrama’ modern yang berlaku di dalam komunitasnya, telah menunjukan bahwa masyarakat yang tinggal di perdesaan merupakan warga dan tempat yang termarjinalkan.

Sebenarnya kalau ditinjau lebih jauh lagi, sesungguhnyalah wilayah yang dinamakan desa, memiliki potensi maupun sumbangsih yang cukup besar bagi tegak berdirinya sebuah negara. Sebagai contoh saja, pasokan sumber pangan warga di perkotaan, darimana asalnya kalau bukan hasil produksi desa. Bahkan pendapat paling ekstrim, namun ada benarnya, adalah asal mula orang-orang yang sukses hidup di perkotaan, tidak sedikit yang berasal dari sebuah pelosok perdesaan.

Akan tetapi masyarakat yang berasal dari desa dan sekarang tinggal di perkotaan, di saat taraf kehidupannya, baik dari segi ekonomi, pendidikan, maupun kedudukan telah mencapai tingkat kesejahteraan yang mapan, seringkali lupa dengan asal-muasalnya. Bahkan tak jarang memandang sebelah mata pada tempat asal dirinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu juga halnya dengan para stakeholders (pemangku kepentingan), terutama pihak pemerintahan di negeri ini, dari pusat hingga daerah, selama ini sepertinya memandang wilayah pelosok perdesaan hanyalah sekedar sebagai objek penderita belaka.

Padahal di samping memiliki potensi kekayaan alam, desa pun – dan hal ini patut digarisbawahi, memiliki potensi yang sebenarnya patut dipelihara, dan dikembangkan lagi, yaitu budaya semangat gotong royong, toleransi, bahkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana yang dituangkan di dalam Sila ke-4 dari Dasar Negara Indonesia, merupakan  berbagai kearifan lokal yang masih tertanam kuat di pelosok desa.

Begitulah substansi yang tertangkap dari Buku Revolusi Dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, buah karya DR Yansen TP, M.Si, Bupati Malinau, Kalimantan Utara, bahwa desa yang selama ini merupakan wilayah termarjinalkan, padahal memiliki potensi besar, dan cukup besar sumbangannya bagi negara, sudah saatnya diberi porsi yang seimbang, bahkan diberi kepercayaan penuh di dalam pembangunan, sesuai dengan cita-cita yang tertuang di dalam Konstitusi NKRI, yakni menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Secara merata, tentu saja.

Buku yang menurut penulisnya, yang juga menjabat Bupati Malinau, Kalimantan Utara ini, sebagai blue print, atau cetak biru Program GERDEMA (Gerakan Desa Membangun), yakni program pembangunan yang diterapkan di Kabupaten Malinau secara keseluruhan dengan titik-tolak skala prioritasnya diawali dari desa.

Bisa jadi Dr. Yansen menyusun cetak biru Program GERDEMA tersebut, berangkat dari pengalamannya yang lama berkutat dalam tugasnya sebagai birokrat yang diawali sebagai Camat di berbagai pelosok wilayah Malinau, Kalimantan Utara. Sehingga segala permasalahan yang ditemukan di lapangan – dalam hal ini: Desa, tentu saja, sudah sangat dikenal begitu dekat dan akrab.

Oleh karena itu bisa jadi juga penulis merasa sudah tidak sabar lagi untuk melihat terwujudnya konsep pembangunan di pelosok desa dengan mengadopsi berbagai konsep pembangunan sebelumnya, sehingga dengan lugasnya Bupati Malinau ini memberi judul Revolusi Dari Desa dari buku yang ditulisnya itu.

Bagaimanapun kata revolusi yang bermakna perubahan secara cepat, juga mengingatkan kita pada konsep revolusi yang pernah dilakukan pemimpin Tiongkok, Mao Zedong di dalam membentuk negara Republik Rakyat Tiongkok di masa lalu, yakni Desa Mengepung Kota.

Hanya saja jelas antara yang dimaksud DR Yansen dengan Mao Zedong terdapat perbedaan yang mencolok. Kalau Yansen bertumpu pada pembangunan suatu negara yang adil makmur dan sejahtera harus diawali dari pelosok desa, dengan melibatkan rakyat di dalamnya, dan berprinsip dari, oleh, dan untuk rakyat sendiri, sedangkan Mao Zedong kekuatan yang ada di desa digunakan untuk mewujudkan sebuah negara yang dicita-citakannya, dengan di bawah kendali Mao Zedong sendiri.

Terlepas dari hal itu, buku karya Bupati yang satu ini sudah sepantasnya dibaca oleh para pemangku kepentingan, tidak hanya sebatas di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara saja, melainkan para stakeholder di seluruh Indonesia, mulai dari pemerintahan di desa seperti Kepala Desa, BPD (Badan Permusyawarahan Desa), LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa), Pemerintahan Daerah (Kabupaten/kota), Pemerintahan Provinsi, bahkan sepertinya Pemerintahan pusat yang saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo menyempatkan untuk membaca buku ini. Bukankah dalam Program Nawa Cita yang menjadi andalan Jokowi-JK, desa merupakan prioritas utama juga ?

Semoga. ***

Judul Buku     : Revolusi Dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Penulis            : DR. Yansen TP., M.Si

Penerbit         : PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB