x

Cincin kawin George Clooney terlihat saat ia meninggalkan hotel Aman bersama istrinya Amal Alamuddin, di Venisia, Italia, 28 September 2014. AP/Andrew Medichini

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belis, Sebuah Novel (Part 1)

Sebuah kisah dilematis tentang cinta dan nilai-nilai tradisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Angin  bertiup pelan dari arah Kota Maumere. Membawa debu yang membuat mata perih. Musim kemarau berkepanjangan telah membuat tiap jengkal tanah di pinggir jalan Kewapante mengering dan menaburi jalanan dengan debu hitam. Daun serta batang rumput dan ilalang yang masih mampu bertahan tampak menguning.

        Cosmas tidak menghiraukan debu, daun-daun mengering dan angin barat itu. Di bawah pohon ketapang, persis di sudut kanan halaman rumahnya ia menumpuk ribuan buah kelapa kering yang sudah dibelah dua. Ia sengaja mencari tempat yang teduh, bebas dari sengatan matahari, agar dapat duduk lama sambil menikmati pekerjaannya.

        Dia mengambil buah kelapa yang sudah terbelah itu satu per satu, mencungkil isinya dengan besi kecil seukuran ibu jari dengan panjang 20 cm. Bagian ujungnya agak lebar dan tipis. Tangan kanan Cosmas tampak lebih berotot dari pada tangan kiri. Mungkin karena terlalu sering mencungkil isi buah kelapa untuk dibuat jadi kopra. Tangan kiri hanya berfungsi untuk menahan buah kelapa tersebut agar tidak miring ketika tangan kanannya  menghujamkan besi kecil itu sekuat tenaga.

        Dari arah utara terdengar suara sepeda motor jenis GL – Pro. Ia menoleh sejenak ke belakang karena merasa mengenal sepeda motor itu. Motor itu milik Firmus, teman kerjanya di Gratia Tour.

        Dugaannya tepat, Firmus muncul dengan kaca mata hitam dan memarkir sepeda motornya persis di depan rumah. Cosmas berdiri dengan rasa ingin tahu.

        “Kawan, besok ada Job untukmu”  Firmus memandang ke arah Cosmas begitu turun dari motor  sambil membuka kaca mata hitamnya.

        “Job di mana? Di kantor atau di Cafe Bintang?” Cosmas menanggapi dengan seloroh. Mereka tertawa bersama. Cosmas sengaja melemparkan pertanyaan itu sebagai guyonan. Ia tahu Firmus baru pulang dari Labuan Bajo mendampingi empat orang bule yang berlibur di pulau Komodo. Biasanya, sehabis mendampingi bule atau tamu yang tergolong berduit, mereka akan mentraktir teman-teman seprofesi.

        “Aku serius Cos. Besok ada tamu dari Jakarta. Mau jalan-jalan di Maumere. Pak Mansu minta kau yang pandu. Kau bisa, tidak?”

Cosmas mengusap kumis tipisnya. Dia tidak langsung menjawab. Kerut di keningnya menandakan ia sedang berpikir. Mempertimbangkan apakah dia punya waktu luang besok. Dia tahu, besok dia hanya butuh waktu sekitar dua jam melayani tamu itu. Menjemput dari bandara, membawa jalan-jalan sebentar keliling kota Maumere. Setelah itu biasanya mereka akan minta diantar ke hotel untuk beristirahat. Jadi baru pada esok harinya dia butuh waktu satu harian untuk menemani mereka.

        Tapi masalahnya adalah apakah etis meninggalkan rumah ketika ada hajatan penting. Besok mereka akan memberangkatkan delegasi ke rumah Anna, kekasihnya, untuk membicarakan besar belis[1] yang mesti dibayar keluarganya sebagai tanda sah hubungan mereka secara adat.

        “Baik. Bilang saja sama Pak Mans saya bisa” jawab Cosmas. Intonasi suaranya mengandung keraguan. Wajahnya muram. Dia berhadapan dengan 2 pilihan sulit. Dia insaf hajatan di rumahnya dan di rumah Anna besok sangat penting dan sebaiknya dia tidak pergi ke mana-mana. Tapi dia juga tidak kuasa menolak rejeki sekecil apapun sekarang karena dia sangat butuh uang.

Cosmas sudah berkali-kali membujuk orangtuanya agar menunda acara pertunangan dan pernikahannya hingga tahun depan. Beragam alasan dia buat untuk meluluhkan hati orang tuanya. Tapi justru mereka yang berhasil meluluhkan hati Cosmas.

Terbayang lagi dalam benaknya mimik kedua orang tuanya yang memelas dan nada suara mereka yang memohon-mohon ketika menerangkan bahwa mereka sudah tua dan sudah waktunya punya menantu dan cucu.  Cosmas tak kuasa menolak. Dia tidak punya pilihan. Terpaksa menurut dengan hati yang sangat berat.

 Kedua orangtuanya sepertinya tidak paham atau bahkan tidak peduli dengan kecemasannya. Ia tidak sudi kalau akhirnya orangtuanya punya hutang di sana-sini hanya untuk menutupi biaya perkawinannya mulai dari acara pertunangan hingga pesta pernikahan nanti.

Pada prinsipnya, dia mau menikah  kalau sudah siap secara finansial dan yakin dapat menghidupi keluarga barunya tanpa tergantung pada orang tua.

Firmus berjalan ke arah kaki lima. Membiarkan Cosmas berdiri melongo, larut dalam lamunan sambil memegang topi koboinya. Ia membuka pintu depan dan berjalan ke ruang tamu sambil berteriak.

“Mama….a….a, lagi ngapain di rumah siang-siang begini?”

Di dapur ibu Cosmas mengdongkak dan melongok ke arah ruang tamu. Mencari tahu siapa yang memanggilnya. Tiba-tiba Firmus sudah di depannya.

“Firmus….! Sudah lama datang?” ibu Cosmas tampak senang dengan kehadiran Firmus. Ia menepuk bahu Firmus, tanda sayang dan rindu sebab teman dekat anaknya itu sudah lebih dua minggu tidak pernah muncul.

“Sudah ketemu dengan Cosmas?” ibu Cosmas bertanya sambil membetulkan kayu bakar di tungku.

“Sudah Ma. Dia di halaman. Dia sedang melamun atau mungkin sedang berdoa agar besok acara di rumah Anna dapat berjalan dengan baik”

Jawaban Firmus itu membuat wajah ibu Cosmas berseri-seri. Matanya bersinar bangga. Ia membayangkan hari paling bahagia dalam hidupnya sebentar lagi akan tiba. Sebagai seorang ibu, harapan dan doanya yang paling dalam adalah dapat mengantarkan putra tunggalnya ke pelaminan. Tak peduli berapa mahal biaya yang mesti mereka tanggung untuk memenuhi detail-detail adat sebagaimana diwariskan oleh para leluhur.

Ia yakin, kalau mereka mengikuti aturan-aturan adat perkawinan yang sah, perkawinan putranya akan direstui Sang Khalik dan leluhur mereka. Berkah yang akan didapat putranya jauh lebih besar daripada biaya adat itu.

“Ya, kita semua mesti berdoa demi kelancaran acara kita itu mulai dari awal hingga akhir. Begitu kan?” kata ibu Cosmas. Tetap dengan wajah ceria.

Firmus mengiyakan dengan menunduk-nundukkan kepala. Ia  dapat merasakan nuansa ceria dalam rumah itu. Tadi dia sempat memperhatikan gorden pembatas dapur dan ruang tamu sudah diganti dengan kain baru yang berwarna-warni.  Di atas meja di ruang tamu ada bunga-bunga segar dalam pot berwarna hijau. Lantai rumah juga tampak lebih mengkilat.

“Mana Moat[2] ?” Firmus baru sadar belum ketemu dengan Ayah Cosmas.

“Itu di belakang. Memberi makan kuda” ibu Cosmas begerak beberapa langkah ke pintu dapur dan menunjuk ke kandang kuda yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah.

Firmus segera keluar dari dapur. Berjalan mendekati Ayah Cosmas yang sedang memegang pisau kecil, memotong tali pengikat rumput.

“Moat, berapa satu ekor? Saya mau meminang seorang nona[3] dari Adonara. Orangtuanya minta sepuluh ekor kuda” Firmus bercanda lagi.

Ayah Cosmas menegakkan tubuhnya dan mengarahkan tatapannya pada Firmus. Dia  tertawa mendengar pertanyaan Firmus itu.

“Untukmu gratis saja Nong[4]. Asal benar kau bisa kau dapat nona dari Adonara itu”

Ayah Cosmas  tidak pernah kalah kalau diajak bercanda, terutama dengan Firmus. Keakraban mereka akan membuat orang mengira bahwa Firmus adalah anak kandungnya sendiri. Firmus  sudah seperti anggota keluarga Cosmas. Kalau di rumahnya kebetulan makanan  habis ketika ia pulang kerja, ia akan lari ke rumah Cosmas dan makan sendiri di dapur. Kedekatan itu sudah terbina sejak dia dan Cosmas sama-sama bersekolah di SDK Geliting.

“Tunggu saja di situ Nong. Sebentar lagi ini selesai” Ayah Cosmas menghentikan langkah Firmus. Dia berdiri sambil menonton ayah Cosmas membagi-bagikan rumput ke empat ekor kuda dalam kandang.

Sepuluh menit kemudian mereka duduk di beranda belakang rumah sambil menikmati kopi panas yang baru saja diantar ibu Cosmas. Cosmas meninggalkan pekerjaannya dan ikut bergabung.

“Siapa delegasi kita besok ke rumah Anna, Moat?” tanya Firmus sambil mengeluarkan rokok dari kantong celananya. Dia meletakkan rokok surya  di atas meja kecil, di samping gelas kopi. Kemudian dia duduk, menunggu jawaban dari Ayah Cosmas.

“Nanti malam baru kita tentukan. Kami sudah mengundang keluarga-keluarga dekat kita dan pengetua kampung untuk rapat nanti malam di rumah kita. Memilih delegasi sekalian membahas butir-butir kesepakatan yang akan kita tawarkan kepada pihak keluarga calon menantuku itu” jawab ayah Cosmas seraya memegang sebatang rokok yang hendak ia isap.

Cosmas duduk di samping kiri Firmus. Diam. Wajahnya tampak sangat serius. Kulit di keningnya agak bergelombang. Pikirannya kembali melayang. Di hadapannya seakan terbentang hal-hal yang mesti disiapkan sebagai modal membentuk sebuah keluarga baru: emas, gading, kuda, …..dan masih banyak lagi yang mesti ia sediakan.

 Ia mencoba mengkalkulasi harga nominalnya. Sekitar 70 juta. Mahal. Terlalu mahal, pikirnya.  Bukankah uang sebesar itu bisa didepositokan atau dijadikan modal usaha demi masa depan?. Dia tak habis mengerti, mengapa leluhurnya dulu menciptakan tradisi yang mahal itu. Seakan masyarakat di kampungnya adalah golongan berpunya yang tak lagi dipusingkan oleh urusan kebutuhan-kebutuhan dasariah sehari-hari. Tapi Cosmas cukup mengenal daerah tempatnya lahir dan dibesarkan: tergolong daerah tertinggal, daerah miskin dalam peta ekonomi Indonesia. Dia semakin tidak mengerti mengapa tradisi itu hidup sampai sekarang.

Angin segar berembus pelan mengelus panas di keningnya. Cosmas sekonyong-konyong sadar akan kesalahan pemikirannya. Logika adat bukanlah logika bisnis.  Setidaknya kesimpulan itu pernah hinggap diotaknya ketika pertama kali mendengar keterangan tentang makna adat dari seorang pengetua adat. Kau anggap itu mahal karena kau  kaji dari aspek ekonomi, begitu kata pengetua adat waktu itu.  Acara perkawinan bukanlah transaksi ekonomi atau bisnis. Kita mesti memusatkan pikiran pada nilai yang hendak dicapai. Sejenak dia mengerti.

Tapi sejurus kemudian pikirannya memberontak lagi. Nilai? tanyanya dalam hati. Nilai apa? Martabat wanita? Jaminan kesetiaan suami kepada istri? Tidakkah cukup cinta menjamin semua itu? Dia sadar tidak akan pernah mengerti dan memahami semuanya. Atau mungkin dia paham, tapi merasa sulit menerimanya.

“Mari minum Bapa” kata Firmus sambil menganggakat gelasnya.

 “Mari” ayah Cosmas meletakkan rokoknya kemudian mengangkat gelas.

Cosmas juga mengangkat gelasnya. Tanpa menjawab ajakan sopan Firmus dengan kata-kata, dia langsung menyeruput kopi dari gelasnya. Pertanyaan-pertanyaan terus menyerang otaknya. Silih berganti, berkecamuk dan mengacaukan sebagian kesadarannya hingga lupa bersopan santun yang sudah menjadi kebiasaan harian mereka.

Getaran kecil disertai alunan lagu Barat dari dalam kantong celana Cosmas menyusun kembali kesadarannya. Mengembalikannya ke bumi untuk terlibat dalam tiap penggal peristiwa di sekitarnya. Dia merogoh kantong, mengeluarkan hp.

“Sayang, tolong jemput saya sekarang ya. Kami pulang cepat hari ini”

“Ya. Tunggu saja di situ”

Cosmas menjawab singkat dan datar. Kemudian mengembalikan hp ke kantong celana. Buru-buru menghabiskan kopinya. Pamit kepada Firmus dan ayahnya hendak menjemput Anna dari sekolah.

“Kau mau ke mana Cos?” tanya ibunya ketika ia mengambil kunci dan helm dari rumah.

“Mau menjemput Anna, Ma”

“Ini kan masih jam 11”

“Katanya mereka cepat pulang hari ini, Ma”

 

            Anna menunggu di pintu gerbang sekolah. Guru-guru lain sudah pulang. Dia berdiri sendirian mengenakan rok abu-abu dan kemeja putih. Matanya mengamati pengendara sepeda motor yang lalu lalang di jalan. Hatinya girang melihat Cosmas datang.

            “Lama bangat sih, Bang” protes Anna sebelum naik.

Cosmas tidak menanggapi. Dia  menjalankan sepeda motornya ke arah rumah Anna.

            “Bang, besok kau sibuk ya?”

            “Kenapa?”

            “Bantu saya dong periksa kertas ujian harian anak-anak ”

            “Wah saya nggak bisa, Dek. Firmus tadi datang ke rumah. Katanya besok ada kerja dari kantor”

            Anna diam. Jengkel. Tidak biasa permintaannya ditolak. Kemudia menahan diri untuk bicara sepanjang jalan. Diam. Menarik tangannya yang sempat menempel di sisi paha Cosmas. Mencoba menunjukkan kekecewaannya seraya berharap Cosmas segera meralat jawabannya sebagaimana sering terjadi sebelumnya.

            Cosmas tidak peduli. Tidak menghiraukan aksi merajuk Anna hingga sampai di tujuan. Anna akhirnya menyerah dan mencoba mencari tahu mengapa kali ini triknya tidak berhasil.

            “Sayang, beberapa hari ini kenapa kamu tampak murung dan sikapmu agak dingin?” tanya Anna di depan rumahnya sebelum Cosmas memutar sepeda motornya pulang ke rumah.

            “Ah biasa saja kok” Cosmas menanggapi dengan datar dan segera menghilang dari hadapan Anna yang berdiri kecewa. Wajahnya cemberut. Dia yakin ada yang tidak beres dalam diri kekasihnya itu……Berlanjut ke bagian 2



[1] Emas Kawin (Bahasa Sikka)

[2] Panggilan hormat pada seorang Bapak (Bahasa Sikka)

[3] Panggilan umum untuk anak perempuan di Maumere

[4] Panggilan sayang untuk anak laki-laki (B. Sikka)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB