x

Cincin kawin George Clooney terlihat saat ia meninggalkan hotel Aman bersama istrinya Amal Alamuddin, di Venisia, Italia, 28 September 2014. AP/Andrew Medichini

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belis, Sebuah Novel (Part 3)

Sebuah kisah dilematis tentang cinta dan nilai-nilai tradisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Lanjutan dari bagian 2

Di teras rumah Anna,  Moat Talimasu berdiri sambil memegang sebuah wadah berbentuk kaleng susu berisi sirih, pinang dan rokok. Di sampingnya,  Moat Parera memegang dua botol warna biru tua. Kedua ujung botol itu diikat. Botol itu diisi dengan moke[1] terbaik yang sengaja dipesan orang tua Cosmas dari pembuat moke terbaik di Kabupaten Sikka.

 Di belakang Moat Talimasu, Moat Klea memegang satu ekor ayam jantan. Ayam itu tampak tenang, tidak berisik, seakan tahu bahwa ia diikat untuk sebuah tujuan mulia. Seakan bangga bahwa dirinya terpilih menjadi bagian persembahan adat dalam rangka merintis sebuah keluarga baru sesuai tradisi tuannya yang telah dihidupi selama ratusan tahun.

        Mendengar langkah orang yang bergerak mendekat ke pintu dari dalam rumah, Moat Talimasu melayangkan sebuah syair pembuka:

“Ina ata dulak bua,

Ngarong beli uhe die

Ama ata Lorang Gae

Hagong Ami Lema Lepo”

Wahai Ibu yang Melahirkan,

Ijinkan pintu terbuka

Wahai Ayah  yang membesarkan

Restui kami  memasuki rumah.

Hening sejenak. Tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Ayah dan Ibu Anna menyambut mereka dengan senyum ramah.  Ayah Anna berkata:

“Emai Ebawo,

Uhe Reta Die Bui,

Uneng Bou Mora Noweng,

Seka Ami Meluk Mawang”

Mari Kemari Masuklah

Pintu Rumah Terbuka Menanti

Datang Demi Satu Urusan

Balai Kami Siapkan

Kemudian rombongan itu masuk. Di ruang tengah Anna telah menunggu. Ia kelihatan agak murung, namun tetap cantik. Ia mempersilahkan tamunya duduk di tikar yang telah ia bentangkan lebih dari 2 jam yang lalu. Ia segera menyusul ibunya ke dapur mengambil gelas, botol moke, pisang bakar, sayur tumis dan ikan bakar yang sudah mereka persiapkan di atas meja di dapur.

Rombongan Moat Talimasu sibuk saling memberi salam dan berkenalan dengan bapak-bapak yang sudah duluan sampai dan menunggu mereka sejak satu jam yang lalu di ruang tengah itu. Mereka adalah keluarga Anna dari pihak ayah dan ibu. Anna muncul dari dapur bersama gelas-gelas dan botol tuak di atas sebuah nampan besar.

Dia  melemparkan senyum kepada setiap tamunya. Dia bergerak pelan dan melayani tamu-tamu dengan ramah.  Semua tampak akrab dan bersahabat. Menikmati percakapan satu sama lain sambil menikmati minuman dan makanan yang disuguhkan tuan rumah.

Pihak keluarga Anna menunggu hingga semua tamu selesai makan dan minum. Mereka tidak tergesa-gesa untuk masuk ke acara inti. Memberin kesan bahwa acara yang hendak mereka selenggarakan adalah acara kekeluargaan bukan acara tawar-menawar  sebagaimana sering diplesetkan orang.

Dari luar terdengar suara tokek sahut menyahut. Seakan menjadi musik alam yang nyaring. Sesekali terhenti, digantikan suara-suara jangkrik yang mengerik serak dan terputus-putus. Tak satupun peduli dengan suara-suara itu. Semua sibuk berbasa-basi mengulur-ulur waktu. Ibu-ibu di dapur kelihatan tidak sabar, ingin cepat-cepat tahu hasil pertemuan itu.

Melihat semua tamu sudah berhenti makan dan minum dan piring-piring serta gelas sudah dibereskan  kaum ibu, Moat Martinus, mewakili keluarga Anna menyampaikan sebuah syair kepada para tamunya:

“Mai Ba’a Mora Noweng

Uneng Bo’u Mora Naruk

Plage Geke Giling Ba’a

Plowar Beli Naruk Lalang”

Datang dengan maksud

Untuk sesuatu urusan

Duduk sila berhadapan

Katakanlah maksud kedatangan

Moat Talimasu, mewakili rombongan keluarga Cosmas, membalas:

“Ami Bo’u Mora Naruk

Noweng Lerong Wutung Ba’a

Babong Reta Seka Tedang

Hu’er Ling Kula Weling”

Kami datang dengan tujuan

Karena telah tiba saatnya

Musyawarah dibalai adat

Acara penentuan emas kawin

        Pihak keluarga dan sanak famili Anna kemudian mempersilahkan tamu mereka untuk menyampaikan hal-hal yang hendak disampaikan. Moat Talimasu melanjutkan syairnya:

“Hagong Ina Dulak Bua’

Neni Amang Lorang Gae

Dueng Lopa Bai Berat

Hoat Lopa Sape Lewak”

Delegasi dari sang pemuda

Memohon kiranya emas kawin

Agar tidak membebankan

Keluarga sang pemuda

Semua menunduk-nundukkan kepala. Setuju akan apa yang disampaikan Moat Talimasu. Salah seorang dari keluarga Anna menyampaikan tanda setuju itu dengan sebuah syair,

Ling Ei Nora Dueng

Dueng Ola Nora Hoat

Adat Ola Hagong Beta

Dua Naha Nora Ling

Emas kawin dengan ketentuan

Yang bisa disepakati

Adat hanya berpesan

Martabat kaum perempuan patut dihargai

Kemudian rapat itu dimulai. Diawali dengan penentuan Tada Kila atau tanda cincin, yakni satu cincin emas untuk Anna. Kemudian Kila Ling atau bahar ling berupa  uang 3 juta, gading dengan panjang setengah tangan orang dewasa, 1 ekor  kuda dan emas 5 gram. Satu ekor kuda tunggang untuk saudara laki-laki Anna, yang biasa disebut jarang sakang.

Satu gading besar atau kuda dan sejumlah uang untuk ibu Anna, yang biasa disebut Inat Rakong atau tempat sirih pinang. Satu gading biasa dan sejumlah uang bagi Nenek Anna yang biasa oleh adat disebut Bala Tubung atau tumbuk Sirih-Pinang.

        Kesepakatan akan besarnya Tada Kila itu berjalan lancar dan cepat. Semua permintaan keluarga Anna sesuai dengan yang sudah dibahas atau direncanakan keluarga Cosmas.

Acara selanjutnya adalah penentuan Ling Gete atau Belis Besar yang diajukan oleh pihak keluarga Anna berupa 25 ekor kuda, gading sepanjang tangan orang dewasa, emas 25 gram, pisang kepok 30 tandan dan uang 30 juta.

 Suasana hening sejenak. Delegasi keluarga Cosmas berbisik-bisik pelan satu sama lain. Moat Talimasu mencoba melobi delegasi keluarga Anna yang dipimpin Moat Martinus agar menurunkan tawaran mereka. Dia mencoba menerangkan keadaan keluarga Cosmas.

“Kami bukan keluarga berpunya. Kami hanya kaya iman dan itikad baik……”

 Diam sejenak. Dia mencoba memperhatikan reaksi pihak keluarga Anna. Mereka menyimak dengan baik.

“Jadi kami hanya mampu memberi 15 ekor kuda, gading setengah panjang tangan orang dewasa, pisang kepok 20 tandan, emas 10 gram dan 10 juta uang” sambung Moat Talimasu.

Semua mata tertuju kepada orang tua Anna dan delegasi mereka. Semua orang ingin mengetahui tanggapan mereka.

Moat Martinus minta waktu sejenak untuk berpikir sebelum menjawab. Dia mengundang semua delegasi keluarga Anna berkumpul sebentar di dapur. Mendiskusikan jawaban mereka.

Anna duduk di samping ibunya. Menonton setiap adegan dengan seksama. Dia membayangkan sebentar lagi dia akan menjadi milik orang lain. Milik Comas, calon suaminya, dan keluarganya.

Anna teringat akan teman-temannya yang sudah lebih dahulu menikah. Mereka dengan bangga menceritakan besar belis yang didapat keluarga mereka. Anna malah merasa sedih. Ia tidak begitu peduli berapa besar belis yang akan didapat orang tuanya.

Bahkan ia merasa sedih karena sepertinya semua orang di rumahnya sekarang lebih peduli pada besar belisnya daripada kecemasannya. Kejadian tadi siang sungguh membuatnya kahwatir bahwa Cosmas sebenarnya telah beralih ke lain hati. Ia takut berbagi cinta dengan wanita lain.

Apa boleh buat, sekarang semuanya telah berjalan dan saya tidak berhak untuk menghentikan atau menundanya. Ini sudah takdirku sebagai perempuan,tangisnya dalam hati. Dia berusaha membuat wajahnya tampak ceria. Menutupi kegalauan hatinya agar tidak mengundang pertanyaan dalam hati orang-orang yang ada di ruangan itu.

Moat Martinus berbatuk pelan, memberi isyarat bahwa mereka telah siap menjawab tawaran delegasi keluarga Cosmas tadi. Dengan tenang mereka kembali ke ruang rapat. Moat Talimasu dan rombongan juga kembali ke tempat semula.

“Kami sungguh merasa terhormat dengan tawaran yang telah Moat sampaikan……” Moat Martinus memulai jawabannya, suaranya  bersahabat.

“Kami anggap itu sebagai wujud nyata keseriusan calon menantu kami beserta keluarga untuk membangun tali kekeluargaan dengan keluarga kami melalui pernikahan mulia. Kami juga merasa bahwa putri kami dianggap sangat berharga. Tapi…..” Moat Martinus berhenti. Menarik nafas. Membuat semua pendengarnya penasaran.

“Kami juga mengenal dengan baik keluarga calon menantu kami dan tahu kemampuan mereka. Maka, agar tali kekeluargaan yang hendak kita jalin semakin kokoh dan kuat, menurut kami layaklah kalau kuda ditambah 5 ekor menjadi 20 dan emas ditambah 10 gram menjadi 20” Moat Martinus menundukkan kepalanya sebagai tanda bahwa yang disampaikannya itu bukan perintah, melainkan negosiasi adat.

Moat Talimasu dan rombongannya berbisik-bisik pelan. Tampak gurat-gurat tanda bingung di wajah mereka. Sama sekali tidak menduga bahwa keluarga Anna akan meminta belis sebanyak itu. Jauh melampaui perkiraan mereka.

Moat Talimasu mencoba melobi keluarga Anna agar tawaran itu diturunkan. Ia berterusterang bahwa tadi malam ayah dan ibu Cosmas telah membeberkan semua yang mereka miliki. Mereka tidak akan mampu membayar belis sebesar yang diminta Moat Martinus tadi.

Moat Martinus  tetap bersikukuh pada pendiriannya. Membuat proses tawar-menawar itu berjalan alot. Seakan tidak ada ujungnya. Semua delegasi keluarga Cosmas telah angkat bicara, memamerkan kemampuan lobi mereka. Tapi semuanya dimentahkan oleh Moat Martinus dan teman-temannya dengan mengutip kata-kata adat.

Jarum pendek jam dinding yang tergantung di atas kepala Anna telah menunjuk angka delapan. Suasana tampak tegang. Kata sepakat tidak kunjung didapat. Cukup lama keheningan bertahta di ruangan itu. Semua orang menahan diri untuk bicara. Semua larut dalam pikiran masing-masing, mencoba menemukan solusi terbaik.

Ibu-ibu yang duduk dekat dapur agak cemas. Sepertinya mereka takut, kalau-kalau semua rencana baik yang telah dibuat gagal hanya karena kata sepakat yang tak kunjung datang. Tanpa ada yang mengkomando mereka melantunkan sebuah syair secara serentak.

“Babong Plolo Molo

Uneng Ma Toma Duen

Nong Mitang Nona Heret

Ganu Belang Tawa Plebi”

Musyawarah dengan damai

Untuk mencapai mufakat

Sang Pemuda dan Sang Gadis

Bagai bambu tumbuh serumpun

Syair itu terdengar syahdu dengan suara feminis yang lembut dan merayu. Tapi karena diucapkan di saat bapak-bapak telah kehabisan kata-kata untuk membangun kesepakatan, syair itu jadi bagaikan sambaran petir. Para negosiator itu diingatkan bahwa inti dari ikatan perkawinan bukanlah ikatan material walau itu perlu.

         Acara tawar-menawar dilanjutkan lagi, tapi dengan suasana yang lebih hangat.  Pihak keluarga Anna akhirnya mengalah. Tawaran mereka diturunkan menjadi 16 ekor kuda dan 12 gram emas. Yang lainnya sesuai dengan tawaran dari pihak keluarga Cosmas. Kata sepakat dicapai yang biasa disebut Ai Batu Tali Beta.

           Delegasi berjabatan tangan, suasana kembali gembira. Terdengar orang-orang di dapur dan di belakang rumah mulai sibuk mempersiapkan makan malam. 

             Di luar, tokek-tokek memainkan musik mereka makin nyaring. Sahut menyahut bak sebuah orkestra. Orang-orang tetap tidak peduli dengan mereka. Semua hanyut dalam suasana gembira dan bahagia. Suara erangan babi yang dipotong di belakang rumah tidak terdengar pilu, melainkan lantang dan tegas sebagai warta akan hadirnya keluarga baru. Makin lama suara itu makin lemah hingga akhirnya hilang tak berbekas.

        Setelah musyawarah mencapai mufakat tentang besarnya belis, maka mulai saat itu menurut adat Ana sudah sah menjadi anak orang tua Cosmas. Delegasi pihak keluarga Cosmas menyerahkan sebagian dari belis itu kepada pihak keluarga Anna. Sisanya akan diserahkan menjelang pesta pernikahan.

        Pada penghujung acara keluarga Anna menyerahkan kepada delegasi keluarga Cosmas oleh-oleh untuk orang tua Cosmas yang tidak turut hadir berupa satu lembar kain lipa tenunan adat, beras 50 Kg, satu ekor babi besar yang biasa disebut wai ireng, moke satu guci kecil, satu ekor kambing besar  bagi tamu di rumah Cosmas yang tidak bisa  makan daging babi, biasa disebut lurang pireng, sarung adat perempuan 1 lembar dan kain cita meteran ukuran 1 baju adat perempuan yang oleh adat disebut heba duha, atau penutup makanan agar tidak dihinggapi lalat.

Selain itu diserahkan juga, makanan untuk Cosmas berupa nasi yang dimasak dalam satu periuk kecil, dengan sayur dan daging.

Acara serah terima itu berjalan dengan suasana ceria. Tapi Moat Talimasu dapat membaca kepura-puraan Anna. Ada kerut di wajah manisnya ketika ia ikut tertawa atau tersenyum. Moat Talimasu yakin ia sedang berpura-pura. Adakah yang tidak beres dalam hubungan orang ini? pikirnya.

Kerut itu semakin kentara ketika Anna berjalan ke arah tempat duduk Moat Talimasu, memegang tiga helai selendang yang dilipat rapi.

“Trimakasih kami ucapkan kepada Moat bertiga karena telah sudi datang ke rumah ini untuk mempererat tali kekeluargaan yang hendak kami jalin dengan keluarga baru kami, keluarga calon suami saya Cosmas. Sebagai tanda terima kasih kami, sudilah menerima tanda mata yang kami berikan dengan tulus dan iklas ini” Anna sepertinya sudah menghafal kata-kata itu sebelumnya.

Dia membagikan selendang itu satu per satu kepada semua delegasi keluarga Cosmas. Kemudian dia menyuguhkan sirih pinang dan rokok dalam piring ke hadapan mereka.

Moat  Talimasu mengambil  sirih dan menyalakan rokok. Kemudian menggerser piring itu ke hadapan Moat Parera. Sebagai balas ucapan terimakasih  mereka merogoh kantong dan memasukkan uang 20 ribuan ke tempat sirih dan rokok itu.

.....Lanjut ke bagian 4

[1] Minuman tradisional Maumere. Berwarna bening seperti air bersih. Terbuat dari air sadapan  pohon lontar atau enau yang dimasak priuk tanah dan uapnya di dijebak ke dalam pipa dan dialirkan ke sebuah wadah penampung. Kadar alkoholnya kira-kira 40-60 %. 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB