x

Cincin kawin George Clooney terlihat saat ia meninggalkan hotel Aman bersama istrinya Amal Alamuddin, di Venisia, Italia, 28 September 2014. AP/Andrew Medichini

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belis, Sebuah Novel (Part 4)

Sebuah kisah dilematis tentang cinta dan nilai-nilai tradisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lanjutan dari bagian 3

Cuaca cerah seperti biasa. Sinar matahari telah menyapu bersih embun pagi. Tak menyisakan sedikitpun. Udara segar hanya berembus sebentar. Hawa mulai terasa gerah di pagi yang masih tergolong belia. Penduduk Maumere tak pernah mempesoalkannya. Roda kehidupan tetap berputar seperti biasa. Jalanan mulai sibuk. Anak-anak sekolah berlari melewati pintu gerbang, berpacu dengan waktu sebelum bel berbunyi.

           Cosmas berjalan dari areal parkir menuju kantor guru. Langkahnya tidak terburu-buru. Wajahnya tampak segar. Dia minta tolong kepada salah seorang murid untuk memanggil Anna dari kantor guru. Dia menghidupkan rokok, menunggu Anna di samping kantor guru.     

 “Kenapa kau tidak mau membalas sms atau mengangkat telephon?”  tanya Cosmas begitu Anna keluar dari kantor guru. Dia sengaja mampir sejenak di SMA Thomas Morus, tempat Anna mengajar bahasa Inggris, sebelum pergi mengantar tamunya jalan-jalan.

Anna diam, berjalan di sisi kanan Cosmas, ke samping kantor.

        “Dek, ada yang salah, ya?”  Cosmas merayu. Suara dan tatapan matanya penuh pengertian.

        “Tanya dirimu sendiri” jawab Anna dengan ketus tanpa berpaling sedikitpun ke arah Cosmas. Matanya di arahkan ke jalan raya, menonton kesibukan lalu lintas.

        “Maksudmu?” Cosmas jadi bingung

        “Tak usah berbasa-basi deh. Siapa cewek yang kau kencani kemarin di pasar tingkat itu?”

        Cosmas tersentak. Tidak menduga bahwa Anna melihatnya kemarin.

“Oooo, itu tamu. Dia mau melancong di Flores, saya mendapat giliran sebagai pemandu” Cosmas menerangkan dengan tenang tanpa rasa bersalah.

“Satu hari ini saya akan temani dia jalan-jalan ke Bola”

“Terus, ngapain kau datang kemari. Kenapa tidak langsung saja ke sana, bermesraan dengan dia?” Anna menunjukkan muka masam. Cemburu hatinya belum reda. Bahkan meningkat saat mengetahui kekasihnya datang hanya untuk memberitahu bahwa dia ingin bepergian dengan gadis itu.

“Anna, kau sekarang tunanganku. Kemana saya mau pergi sebaiknya saya beritahu atau permisi dulu padamu” Cosmas mulai naik pitam. Tapi ia tetap berusaha tenang dan mencoba menjelaskan dengan baik. Berharap Anna mengerti. Tapi Anna tetap tak mengacuhkan niat baiknya. Anna terus menyerangnya dengan kata-kata ketus dan muka masam.

Takut pertengkaran mereka makin serius, Cosmas buru-buru berjalan ke arah tempat parkir. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan sekolah itu dengan perasaan galau. Dia merasa sekarang semua hal yang dilakukannya selalu salah di mata orang-orang yang dekat dengannya.

Anna berjalan kembali ke kantor guru mengambil tas dan buku-buku panduan mengajar. Dia ingin lekas-lekas melupakan kekesalan hatinya dengan mengajar. Harapan itu membuat langkahnya menuju ruang kelas agak terburu-buru.

“Selamat pagi, Bu” murid-murid serentak menyapa. Dia tidak menjawab. Kelas jadi hening. Dia menarik kursi dari bawah meja dengan kasar. Murid-muridnya heran, penasaran. 

“Sampai di mana pelajaran kemarin?”

Anna mengeluarkan buku paket dari tasnya.

“Kita belum berdoa, Bu”

“Ooooh. Maaf. Ibu lupa”

“Ibu sedang jatuh cinta ya makanya jadi pelupa?”  tanya Vanto, murid yang paling bandal di kelas itu. Teman-temannya tertawa, membuat kelas ribut. Wajah Anna memerah. Dia memukul meja dengan penghapus. Kelas hening lagi.

***

 

        Perjalanan ke Bola dari kota Maumere memakan waktu sekitar 2 jam. Jalan-jalan sempit. Sebagian besar tanjakan dan turunan dengan tingkungan-tikungan patah yang seram.

        Untunglah Butet sibuk dengan kamera hitamnya. Mengabadikan panorama alam di tengah cahaya matahari yang mulai trengginas membakar. Dia tidak banyak memprotes topografi jalan-jalan yang mereka lalui.

        Ketika memasuki wilayah Bola yang berada di pesisir pantai, Butet menyaksikan ombak yang bergulung-gulung, memecah ke pantai berlapis-lapis, memuntahkan busa-busa putih.

Anak-anak berlari riang menghindari serbuan ombak yang naik ke darat, kemudian berbaring di pasir, menunggu air membasahi dan menggeser tubuh mereka. Mereka tertawa cekekikan.

“Itu Watu Cruz atau salib batu yang saya ceritakan tadi” Cosmas menunjuk ke depan sambil mengurangi laju mobil. Butet mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Cosmas.

        “Bisa kita singgah sejenak di sini? Saya mau mengambil foto salib dan anak-anak yang bermain di pasir itu”

        Cosmas memarkir mobil di tepi pantai sekitar 50 meter dari Watu Cruz. Butet keluar. Berjalan mendekati anak-anak yang sedang bermain di pasir. Ia mengeluarkan permen dari kantongnya.

        Cosmas duduk di bibir pantai sambil memperhatikan Butet membagi-bagikan permen kepada anak-anak. Mereka mengelilingi Butet. Berebut. Seorang anak yang paling kecil merengek-rengek di belakang Butet. Mungkin dia belum mendapat satu permenpun. Butet berbalik, memberi permen kepada anak kecil itu dan menggendongnya.           

        Masalah apa yang sedang di hadapi gadis cantik ini?. Pertanyaan itu  melintas di pikiran Cosmas. Dia mencoba berpikir sedikit tentang Butet untuk mengalihkan beban pikiran yang makin berat setelah bertengkar dengan Anna tadi. Menurut tebakannya, Butet sedang menghadapi masalah di tempat kerja atau di rumahnya di Jakarta sana. Sejak awal ia sudah bertanya-tanya kenapa gadis secantik Butet berani berlibur sendirian dan meminta ditemani oleh seorang Guide cowok. Tapi ia tidak berani menanyakanya secara langsung karena menyangkut privasi tamu.

        Cosmas tersenyum melihat gaya anak-anak itu di depan kamera Butet. Ada yang membuat tanda v dengan jarinya, ada yang mengacungkan jari jempol. Masing-masing membuat gaya sendiri.

        “Horeeeeeee” anak-anak itu berteriak ketika terdengar bunyi “klik” dari kamera Butet.

         Butet  memanggil Cosmas untuk bergabung.

        “Mereka minta saya ikut berfoto bersama mereka” kata Butet sambil menyodorkan kamera  kepada Cosmas

        Anak-anak itu membentuk setengah lingkaran. Mereka berdiri mengelilingi Butet yang duduk sambil menggendong seorang anak yang paling kecil.

        “Siap? Satu, dua, tiga…….”

        Anak-anak itu tampak senang. Mereka segera berlari ke arah Cosmas. Berebut melihat layar kamera. Setelah puas, mereka minta berfoto bersama Cosmas.

Butet mengarahkan kameranya ke depan, menjepret Cosmas yang berdiri di belakang anak-anak. Latarnya adalah lautan lepas, pantai selatan yang terkenal dengan keganasan ombaknya.

        Anak-anak itu tampaknya belum puas. Mereka merengek-rengek, minta berfoto lagi bersama Cosmas dan Butet. Cosmas tidak setuju. Takut mengganggu rencana perjalanan tamunya.

        “Sudah yah, lanjutkan permainan kalian”

Cosmas berjalan di samping Butet meninggalkan kerumunan anak-anak itu. Menuju Watu Cruz.

        Di tengah hamparan samudara, Watu Cruz, salib batu setinggi 3 meter, berdiri kokoh. Tidak goyah oleh empasan ombak. Dalam perjalanan tadi Cosmas telah bercerita, Watu Cruz dibangun oleh dua misionaris asal Portugis pada tahun 60-an sebagai tanda bahwa misi mereka telah berhasil di Bola dan selanjutnya Bola dikenang sebagai wilayah yang menjadi tanda awal perkembangan Katolik di Flores.

        Butet mengamati salib itu. Memperhatikan warnanya yang telah menua. Suara ombak yang menghantam bagian belakang Watu Cruz membuat Butet membayangkan kerasnya perjuangan orang yang membangunnya.

 Ia melihat tembok penyanggah yang membentang 2 jalur. Mirip dermaga untuk kapal kecil.  Cosmas duduk di atas batu kecil. Membiarkan Butet berjalan mendekat ke Watu Cruz. Mencari posisi yang tepat untuk memotret.

Saat Butet sibuk memotret, Cosmas memutar tubuhnya,  menonton kembali anak-anak itu. Mereka mengadakan lomba lari di pantai dengan taruhan permen yang baru dibagikan Butet. Beberapa orang bertindak sebagai penonton, berteriak memberi semangat.

Anak-anak yang bahagia, kata Cosmas dalam hati. Dia ingin menjadi bagian  dari mereka. Mengecap kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang lahir dari kepolosan. Tanpa beban pikiran. Tanpa peduli pada kemiskinan dan tidak cemas akan masa depan. Benar-benar menikmati hidup dengan tawa dan teriakan gembira. Keceriaan yang asli dan murni. Bertolak belakang dengan dirinya. Kepedulian akan masa depan dan pikiran kritis terhadap adat telah menyeretnya jauh dari kebahagiaan dan keceriaan yang murni.

Kepalanya seakan berisi besi-besi tajam dan berat. Menusuk dan menindih rangka-rangka kepalanya. Bebannya makin berat dan hatinya miris karena Anna justru melahirkan masalah baru di saat dirinya membutuhkan pengertian dan teman bertukar pikiran. Pertengkaran tadi sungguh di luar dugaan Cosmas. Dia tidak mengira Anna berpikir sesempit itu.

***

 

           Daun-daun pohon ketapang beterbangan di depan rumah Anna. Beberapa hinggap di atap rumah. Kemudian angin menerbangkannya, menjatuhkannya ke halaman rumah. Matahari telah melewati garis vertikal, garis lurus antara langit dan bumi, beringsut ke arah barat. Namun panas teriknya belum mereda.

           Anna menemukan kesejukan di kaki lima rumahnya. Terlindung oleh pohon-pohon ketapang  dan angin dengan leluasa lalu lalang, mengelus tubuhnya.  Seragam mengajar masih melekat di tubuhnya.

            “Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Masa di saat-saat seperti inipun dia pergi kerja”

           Anna mencoba mencurahkan beban pikirannya kepada Firmus. Wajahnya cemberut. Di sekolah tadi sedikitpun dia tidak bisa berkonsentrasi mengajar. Setiap saat dia memeriksa hpnya. Berharap Cosmas menghubungi atau mengirim sms. Rasa cemburunya makin panas membayangkan kekasihnya berduaan bersama gadis lain hingga lupa menghubungi atau mengirim sms padanya.

        Firmus tidak memberi komentar. Di satu sisi, menurutnya Cosmas memang keterlaluan. Tapi di sisi lain dia juga tidak tega menyalahkan sahabatnya itu begitu saja.

        “Apa  tidak ada yang bisa gantikan dia jadi pemandu nona cantik itu?” mimik Anna begitu serius. Kata-tanya lebih cocok sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Firmus tahu kekahwatiran Anna lebih karena rasa cemburu.

        “Memang sih dia yang ditunjuk bos. Karena memang giliran dia sekarang memandu tamu. Tapi dia juga punya hak untuk menolak selagi ada alasan yang masuk akal”

        Firmus merasa bersalah mengucapkan kata-kata itu, seakan menghakimi sahabat baiknya. Dari tadi dia menahan diri untuk tidak mengatakan apapun menyangkut Cosmas. Biarlah Anna sendiri yang menyimpulkan. Begitu tadi pikirannya.

        Dari tadi dia ingin cepat-cepat pergi agar tidak ditanyai Anna terlalu banyak. Cosmas tadi mengirim sms, meminta dia menjemput Anna dari sekolah dan mengantarnya ke rumah. Tapi Anna  menahan dia di rumahnya hanya untuk mendengarkan unek-uneknya.

        “Huh, dasar laki-laki mata keranjang” Anna mengungkapkan kekesalannya. Dia membayangkan kekasihnya sedang bermesraan dengan Butet di pantai. Dalam benaknnya tergambar adegan antara Cosmas dan gadis itu. Cosmas pura-pura sibuk menerangkan segala hal tentang pantai, laut, sejarah tempat yang mereka lalui, budaya dan mata pencaharian penduduk setempat. Memamerkan pengetahuannya yang luas.

“Laki-laki sialan” umpat Anna lagi. Dia memencet tombol-tombol hpnya hendak menghubungi Cosmas. Memastikan apa yang sedang dilakukan Cosmas dengan gadis itu. Tapi gengsi sebagai wanita yang biasa menjadi pusat perhatian kekasihnya menahan jari-jarinya menuntaskan niat itu. Dia kembalikan lagi hp ke dalam kantongnya.

        “Ngomong-ngomong, nanti sore kamu ke mana?” tanya Anna mengalihkan kekesalan hatinya.

        “Bisa  temani saya ke Illi? Ke pesta sambut baru [1]sepupuku?”

        “Bisa. Jam berapa?”

        “Hmmm. Kira-kira jam empat”

        “Baik. Nanti saya jemput ke sini ya”

***

 

        Cosmas membawa Butet ke Pantai Doreng. Meninggalkan Watu Cruz. Mereka membentangkan tikar kecil di bawah pohon kedongdong. Butet duduk bersila memandangi hamparan pasir putih yang tersebar di sepanjang pantai.

Dia belum pernah melihat pantai yang masih perawan. Di Jakarta dia tidak pernah melihat pasir seputih itu dan air laut sejernih di pantai doreng. Pantai-pantai di Jakarta telah tercemar minyak kapal dan sampah.

        Cosmas mengeluarkan perlengkapan makan siang dari mobil dan membawanya ke tikar. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara deru ombak  terbawa angin. Bergemuruh, menambah suasana eksotik di pantai itu.

Seorang Bapak berjalan ke arah mereka dengan tatapan rasa ingin tahu. Ia menjinjing tas kumal. Memegang sebilah parang. Dia semakin dekat.

        “Baru pulang dari ladang, Moat?” tanya Cosmas

        “Ya Nong. Kalian dari mana?”

        “Dari Maumere Moat. Nona ini orang Jakarta”

 Butet tersenyum ramah. Gigi putihnya berjejer rapi.

        “Kami ingin makan siang, Moat. Mari bergabung”

Cosma terkejut mendengar ajakan Anna itu. Apalagi dia menyapa orang tua itu dengan Moat, sapaan khas Maumere.

        Cosmas membujuk orangtua itu untuk bergabung. Dia menolak dengan alasan ingin cepat pulang. Katanya, rumahnya jauh.

        “Bilang nanti kita antar dia” Butet berbisik kepada Cosmas.

        Orangtua itu akhirnya setuju setelah  Cosmas membujuknya lagi. Dia menggulung celana panjangnya hingga ke lutut kemudian duduk bersila di samping Cosmas. Mereka duduk menghadap ke Laut.

        “Lady’s first. Wanita duluan” kata Cosmas sambil memberikan piring dan sendok nasi kepada Butet.

        “Kasi Moat itu yang duluan. Kau tidak sopan kepada orang tua” ejek Butet.

        “Nona saja duluan” orangtua itu menyahut dengan malu-malu.

        “Oke deh, daripada kalian bertengkar biar saya yang duluan”  kata Cosmas

        Mereka tertawa bersama. Seakan sudah lama saling kenal. Cosmas menyendok nasi. Mengisi piring di tangannya. Kemudian menggeser panci berisi nasi ke kanan dan mempersilahkan orangtua itu.

        Selama makan Butet banyak bertanya tentang mata pencaharian penduduk setempat.

        “Rata-rata penduduk di sini bertani Nona, sedikit saja yang jadi nelayan. Karena ombak di sini  ganas. Pantai selatan terkenal dengan keganasan ombaknya” Orangtua itu menjawab pertanyaan Butet sambil mengunyah makanan.

        “Mengapa tidak dimaksimalkan potensi objek wisata yang indah ini? Kan bisa menambah penghasilan penduduk setempat”

           Orang tua itu diam. Tidak bisa menjawab. Topik yang diajukan Butet belum pernah terlintas dalam benaknya. Dia tidak tahu apa yang dimaksud dengan istilah pariwisata. Baginya, laut adalah tempat menangkap ikan secukupnya untuk kebutuhan keluarga. Ladang sebagai tempat menanam ubi, pisang dan berbagai macam tumbuhan untuk kebutuhan keluarga. Sesekali dia datang ke pantai untuk mengambil pasir dan batu sesuai kebutuhan. Anak-anaknya menikmati pantai sebagai tempat melepas penat.  Semua itu sudah cukup sebagai alasan baginya mengucap syukur pada Pencipta yang telah memberikan laut, ladang dan pantai secara gratis dalam hidupnya. Dia tidak pernah bepikir lebih jauh atau menginginkan lebih.

           “Bagaimana menurutmu?” Butet akhirnya meleparkan pertanyaan itu kepada Cosmas

        “Itu juga pertanyaan saya sejak dulu” Cosmas spontan menjawab.        “Wisatawan yang datang ke sini dalam setahun masih bisa dihitung dengan ibu jari. Bukan karena tempat ini tidak menarik atau kurang indah. Tapi karena tidak didukung dengan promosi dan fasilitas yang memadai. Kita kan sudah lihat di sepanjang jalan tadi. Tidak ada warung makan atau penginapan dan jalanpun sudah banyak lobangnya”

        Butet menggangguk. Sekarang dia tahu mengapa tadi Cosmas menyuruh pelayan hotel menyiapkan nasi dalam panci untuk makan siang mereka.

        Mereka bertiga beberapa saat larut dalam kenikmatan makan siang dan terbius angin sepoi yang membelai kulit mereka dengan lembut. Daun-daun pohon kedondong berisik karena ulah burung-burung kecil yang bermain-main bersama induk mereka.

***

 

        Firmus menepati janjinya. Pukul 4 sore dia sudah tiba di depan rumah Anna.

        “Cosmas ke mana Nong?” tanya Ibu Anna. Heran melihat bukan Cosmas, calon menantunya, yang datang menjemput putrinya.

        “Dia ada kerja Mama”

        “Oooo, jadi Nong mau jalan dengan Anna?’”

        “Ya, Mama”

        Anna keluar dari rumah. Mengenakan celana jeans abu-abu dan kemeja lengan pendek berwarna putih mengkilat, cerah, berbeda dengan wajahnya yang tetap tampak murung.

        “Jalan baik-baik ya” kata Ibu Anna

        “Ya Mama, daaa…..”

Ibu Anna sebenarnya merasa risih melihat putrinya pergi ke pesta bersama pria lain. Bukan dengan Cosmas. Ia memang tahu Firmus adalah sahabat Cosmas, tapi ia tetap merasa risih juga karena sebentar lagi putrinya akan menikah dengan Cosmas.

Ibu Anna mengikuti sepeda motor Firmus dengan tatapannya hingga menghilang dalam satu tikungan. Dia berharap tidak banyak tetangga yang melihat ketika Firmus dan Anna melintas. Dia kahwatir akan gosip yang dapat berembus dengan mudah di kampungnya. 

***

 

Cosmas berbaring telentang di atas pasir putih. Ia membentangkan tangannya bak orang yang tersalib. Ia kecapekan. Butet duduk di sampingnya dengan nafas terpotong-potong. Sesekali ia cekekikan sambil memegang perutnya. Tenaganya juga sudah hampir habis.

Setengah jam lebih mereka berdua berlari di sepanjang pantai mengejar anak burung yang ditinggal induknya.

Sebenarnya Cosmas sudah berhasil menangkap burung itu ketika mereka kembali lagi ke pantai setelah mengantar orangtua itu ke rumahnya. Tapi ia sengaja melepasnya karena mengira Butet bisa menangkapnya dengan mudah.

“Wah burung sialan itu berhasil mengelabui kita. Awalnya kelihatan jinak dan bodoh”

“Makanya jangan mengira semua yang tenang itu jinak dan bodoh” sahut Anna.

Mereka tertawa. Tertawa lepas. Hingga suara mereka bergaung, berbaur dengan suara ombak sebelum hilang ditelan kesunyiaan pantai.

Cuaca mulai mendung. Pasir putih di pantai itu tidak lagi mengkilat karena sinar mentari telah beranjak entah ke mana. Tapi mereka tidak sedikitpun risau atau cemas akan perubahan cuaca itu.

 Justru di saat senja telah menjelang Butet dan Cosmas mulai menikmati kebersamaan mereka. Sejak kemarin mereka selalu bersikap sebagai tamu dan guide. Tanpa ada niat untuk saling mengenal lebih dalam.

“Ngomong-ngomong, ketika pertama kali melihat saya datang sendirian apa yang terlintas di pikiranmu?”

Cosmas tidak menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut Butet. “Maksudmu?” tanya Cosmas dengan tatapan pura-pura bingung

“Kau tidak terkejut ketika tahu tamumu hanya satu orang cewek tanpa ditemani oleh siapapun. Padahal ia belum pernah datang ke sini sebelumnya?”

“Ya, benar…..” sahut Cosmas. Suaranya terpotong oleh rasa sungkan untuk berkata jujur. Seakan ada sebongkah batu mengganjal di paru-parunya.

“Yang pertama melintas di pikiranku adalah pertanyaan, masalah apa yang menimpa gadis cantik ini?” Cosmas melanjutkan dengan senyuman agar tidak tampak ia serius dengan kata-katanya.

Butet  tersenyum hambar.

“Dari mana kau tahu gadis cantik itu punya masalah?” pancing Butet lagi.

“Walaupun kau tampak ceria, ramah, pura-pura sibuk memotret di sana-sini, saya tetap bisa melihat pergulatan batin yang kau tutup-tutupi”

“Alaah…..kau sok pembaca isi hati”

Butet tertawa, mulutnya tebuka lebar. Dia berusaha membuat kata-kata Cosmas tadi terdengar lucu walau ia sendiri mengakui  kebenarannya. Cosmas juga tidak mau menegaskan bahwa ia berkata jujur. Dia tidak ingin Butet tersinggung.

“Memang benar, gadis cantik yang kau lihat itu sedang dilanda masalah. Hatinya sedang galau”

Butet menunjukkan suara dan mimik yang serius. Cosmas tidak menanggapi. Dia diam.

“Jujur, saya datang ke sini untuk menyegarkan pikiranku. Saya baru dihianati orang yang selama ini saya cintai dan saya sangka dia juga mencintai saya selama ini. Namanya Donald. Kami pacaran sudah dua tahun”

Cosmas tetap berbaring di sisi Butet. Menyimak tiap kata yang keluar dari mulut Butet.

“Semua orang sepertinya menyalahkan saya karena peristiwa itu. Donald pergi dengan gadis lain. Kata teman-temanku karena saya tidak mempedulikan dia. Keluargaku juga berpikiran seperti itu. Mereka terlanjur sayang pada Donald dan terlalu memujinya sehingga tidak mampu melihat sedikitpun kesalahan pada dirinya. Hanya saya sendiri yang tahu siapa dia sebenarnya. Sudah lama saya memendam rasa sakit dan menutupi semua tingkah buruknya”

Suara Butet bergetar menandakan keseriusan yang tulus. Tanpa kepura-puraan. Ia terus bercerita, menumpahkan segala hal yang menyesaki dadanya. Telah lama ia ingin menemukan sosok yang bisa mendengar keluh kesahnya.

“Kau pamit pada keluarga sebelum datang ke sini?” tanya Cosmas ketika Butet menyeka setetes air mata yang menempel di pipinya.

 “Mereka juga tidak tahu di mana saya sekarang. Saya datang ke sini dengan diam-diam tanpa memberi tahu siapapun. Saya ingin menyendiri, menyembuhkan hatiku yang sedang terluka. Toh tidak ada gunanya pamit karena mereka juga tidak akan mendukung atau mengerti perasaanku”

 “Jadi sampai kapan kau bersembunyi dari hadapan mereka?”

Butet diam. Melemparkan pandangannya ke hamparan samudra yang membiru. Dia tidak tahu sampai kapan bisa lari dari kenyataan hidupnya dan berpura-pura sebagai turis yang ceria dan sedang menikmati indahnya hidup.

Cosmas menarik kakinya dan menopang tubuhnya dengan tangan, duduk bersila, menunggu jawaban Butet.

“Saya tidak tahu hingga kapan. Mungkin hingga saya siap mendengar caci maki ayah dan ibuku dan siap melihat Donald hidup dengan gadis lain”

Cosmas memperhatikan mata Butet yang memerah. Tidak kelihatan lagi cahaya matanya yang memancar seperti tadi. Ada riak di wajahnya seperti gelombang kecil di air tenang.

           “Sudahlah. Memang ada kalanya harapan yang kita bangun berubah menjadi  malapetaka. Anggap saja itu pelajaran bagimu. Cepat atau lambat kau pasti menemukan solusinya. Yang penting, kau mesti menghadapi semuanya dengan tegar dan mantap”

       “Ya, Bang” Butet menganguk lemah. Dia melingkarkan kedua tangannya pada kakinya yang terlipat. Duduk menghadap menghadap ke laut. Di kejauhan dia melihat sekelompok burung layang-layang terbang bergerombol, membentuk busur di atas laut. Bermain-main menghabiskan sisa senja sebelum pulang ke sarang setelah seharian mengais-ais alam untuk menghidupi diri dan anak-anak mereka.

            Cosmas segera menyadari ada persamaan di antara mereka berdua. Sejak kemarin mereka sama-sama berpura-pura ceria, sama-sama menutupi beban pikiran. Dia mengerti sungguh-sungguh gadis di sampingnya amat tersiksa secara batin. Dia dapat merasakannya dari getaran suara Butet dan air mata yang menempel di pipinya. Cosmas bersimpati, naluri maskulinnya melahirkan niat untuk menghibur dan melindungi.

            “Hei, dari tadi kita bicara tentang kehidupanmu. Biar adil  sekarang saya yang cerita tentang hidupku, mau?”  Cosmas mencoba mengurangi kesedihan Butet dengan mengganti topik.

“Ya mau dong”

 “Tentang apa?”

“Terserah deh”

“Cerita pengalaman waktu dalam kandungan?”

“Ha ha haa haa. Sialan”

Cosmas bercerita mulai dari pengalamannya bersekolah sebagai calon Pastor di Pematangsiantar, Sumatra Utara. Dia menceritakan hal-hal lucu selama dalam asrama. Dia ingin Butet tertawa mendengar cerita konyolnya dan melupakan sejenak sakit hatinya.

     “…..pernah saya bertengkar dengan temanku gara-gara bola. Kami saling mendiamkan selama lebih 2 hari…..”

Cosmas diam sejenak. Memeriksa apakah pendengarnya masih menyimak atau tidak. Kemudian dia melanjutkan ceritanya setelah melihat Anna menyimak dengan serius.

“Lucunya, pada hari ketiga dia menulis pesan di papan pengumuman agar saya membangunkannya jam 5 pagi esok harinya. Karena jengkel, esok harinya saya bangun tepat jam 5 pagi dan langsung menuju papan pengumuman. Di sana saya tulis ‘sudah jam 5 teman, bangunlah’….”

“Haahah..ahahahhaa….”

Butet tertawa panjang.

“Dasar tolol” katanya dan terus melanjutkan gelak tawanya

 Butet sudah tampak ceria lagi. Riak di wajahnya telah hilang bak gelombang air yang berubah jadi tenang.

 Burung layang-layang itu mulai berpencar. Terbang sendiri-sendiri. Ada yang hinggap di batu karang. Ada yang menukik tajam seperti kilat hingga menyentuh air kemudian terbang tinggi mencari ancang-ancang untuk mengulagi aksinya. Butet menunggu Cosmas melanjutkan ceritanya. Tapi Cosmas juga asyik mengamati aksi burung-burung itu.

“Hei, kau curang. Masa ceritamu hanya sampai masa sekolah saja?” Butet menggugat.

“Terus, harus sampai di mana dong?”

“Awal kau kerja atau tentang pacarmu kalau sudah punya”

“Kalau belum?”

“Hmm…..mmm….” Butet bingung.

“Ceritakan dong kenapa belum punya pacar?” sambungnya lagi sambil merengek manja seperti anak kecil. Ia memegang bahu Cosmas dan mengguncangnya pelan.

  Cosmas merasa berat menceritakan pergulatannya. Sejak dulu ia sudah terbiasa menahan diri untuk tidak bercerita terlalu jauh tentang kehidupan pribadinya kepada tamu-tamunya.

Tapi sekarang situasinya lain. Di hadapannya seorang gadis manis yang dengan jujur dan tulus telah berbagi kisah dengannya, menunggu keterbukaannya. Butet jadi merasa bersalah, mengira terlalu memaksa.

“Aku tidak memaksa ya, jangan marah” Butet minta maaf. Dia memegang lengan Cosmas lagi. Ia dapat merasakan pengertian Butet. Dari suara dan pegangan tangannya.

“Saya sudah punya tunangan. Namanya Anna..….”

Cosmas terdiam lagi. Sekali lagi kerongkongannya seakan tersumbat. Sulit dilalui kata-kata yang hendak keluar dari hati dan pikirannya. Dia berusaha menyingkirkan hambatan itu. Dia mengambil aqua dari tas Butet dan meneguk isinya.

Cosmas meneruskan ceritanya dengan suara pelan.

     “Saya mengenal dan mencintainya sejak kami sama-sama duduk di bangku  SMP. Tapi…..”

     Cosmas terdiam lagi. Dia teringat akan pertengkaran dengan Anna tadi dan sikapnya yang mulai susah mengerti.

     “Akhir-akhir ini ada ketegangan kecil di antara kami. Saya mulai sadar dia wanita yang sulit mengerti….”

Ia menceritakan semuanya, termasuk tentang ketegangan yang mulai tercipta di rumah dengan orang tuanya.

Awan pelan-pelan menutupi pantai itu. Membuat air laut tampak samar-samar. Penduduk setempat mulai berdatangan ke pantai membawa lampu gas dan tombak. Mencari ikan yang terdampar dan tersesat di tepi pantai.

Cosmas dan Butet diam beberapa saat. Menonton orang-orang yang mencari ikan. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Cosmas teringat lagi saat mereka dikerumuni anak-anak tadi. Dia membayangkan keceriaan anak-anak itu. Seakan mengejek mereka berdua yang pura-pura ceria.

***

Gelas kecil itu kembali ke tangan Firmus untuk kelima kalinya. Warnanya merah tua berdiameter kira-kira 2 cm dan tinggi 10 cm. Pada putaran pertama hingga keempat Firmus meneguk habis cairan putih bening yang ada di dalamnya.

Kepalanya mulai pening. Alkohol dalam perutnya mulai bereaksi. Menjalar ke seluruh bagian tubuhnya, membawa panas melalui aliran darahnya. Dia menempelkan gelas kecil itu sejenak di dadanya, kemudian memberinya kepada seorang bapak di sebelah kanannya. Bapak itu mengerti isyarat yang dibuat Firmus. Itu adalah cara sopan untuk menyatakan cukup. Tidak sanggup lagi menambah minuman.

Pesta sambut baru itu telah memasuki acara bebas. Firmus bersama orang-orang yang dia kenal duduk membentuk lingkaran. Menikmati moke dan kuah daging yang disajikan tuan rumah sambil mengobrol tanpa topik yang jelas. Di belakangnya ada 3 kelompok lagi yang duduk melingkar dengan acara yang sama.

Anna mengobrol dengan teman-temannya di depan rumah. Satu meter dari kerumunan orang-oramg yang sedang bergoyang mengikuti irama musik.

“Cosmas di mana?” tanya seorang temannya dengan suara keras, mengimbangi suara musik.

“Kerja” jawab Anna singkat.

“Kau tidak ajak dia ke sini?”

“Kan sudah saya bilang dia kerja. Dia tidak punya waktu”

“Jadi kau ke sini dengan siapa?”

“Dengan Firmus”

Anna tidak memperhatikan Firmus datang mendekatinya. Menarik tanggannya. Anna mengerti maksud Firmus. Dia berdiri mengikuti Firmus. Bergabung dengan kerumunan orang-orang yang sedang dibius musik. Larut dalam histeria pesta.

Mereka berdiri berhadap-hadapan sambil mengoyang-goyangkan pinggul, kaki dan kepala. Tangan terangkat ke atas. Sesekali ia bergesekan dengan orang di sampingnya, yang juga berusaha mengikuti irama musik yang mengalun cepat. Tiba-tiba musik berhenti.  Semua orang berteriak,

 “Sambung……sambung…sambung”.

 

***

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar musik hip hop. Suara itu semakin jelas ketika Cosmas dan Butet bergerak pelan memasuki desa Illi.

 “Di sini sedang musim pesta sambut baru, di Sumatra atau di Jawa biasa dikenal dengan komuni pertama” Cosmas menerangkan. Matanya lurus ke depan. Ia mengurangi kecepatan mobil. Di sepanjang jalan puluhan sepeda motor diparkir sembarangan.

“Ayo kita mampir sebentar di pesta itu. Cuma melihat-lihat saja” kata Butet dengan suara merayu. Dia penasaran melihat kemeriahan pesta itu.

“Ah, kita kan baru pulang dari pantai. Masa kita ke pesta dengan baju kotor seperti ini?” Protes Cosmas

“Cuma lihat-lihat saja kok. Kita tidak usah masuk”

Cosmas menurut. Dia memarkir mobilnya di depan gedung sekolah dasar, sebelah bawah tempat pesta itu. Mereka berdua keluar dari mobil, berjalan ke arah pesta. Butet memegang tangan Cosmas, takut ditinggal sendiri dalam jalan yang gelap itu.

Butet memperhatikan tenda biru yang dipasang di depan dan di samping rumah yang berpesta. Disanggah dengan batang bambu.

 Mereka berhenti, menonton dari kejauhan. Butet heran melihat orang-orang tua yang juga ikut berjoget, tidak kalah lincah dengan anak-anak muda.

“Cosmas…..mari masuk”

Cosmas menoleh ke kiri mencari sumber suara itu. Seorang Ibu datang mendekat.

“Ah, kami di sini saja Mama, saya malu masuk, datang terlambat”

Sebelum Cosmas selesai mengucapkan kata-katanya ibu itu telah memegang tangan Cosmas dan menariknya ke arah pesta. Ia menurut dari belakang, diikuti Butet.

Ibu itu memberi isyarat kepada seksi tamu pesta itu agar datang menjemput Cosmas dan membawanya ke tempat makanan.

“Trimakasih ya Mama” kata Cosmas dengan wajah malu.

Cosmas ingin lari meninggalkan pesta itu. Semua mata tertuju kepada mereka. Ia merasa malu. Terutama ketika melewati kerumunan orang yang sedang duduk mengelompok dan yang lain berjoget ria. Menurut kebiasaan orang setempat, tamu harus member salam dan ucapan selamat terlebih dahulu kepada orang yang dipestakan.

Cosmas mengambil uang 20 ribuan dua lembar dari dopetnya. Satu dia beri kepada Butet.

“Nanti masukkan ke kotak yang telah disiapkan tuan rumah sebagai ucapan selamat pesta” bisik Cosmas. Butet mengangguk.

Anna terperangah ketika Cosmas dan Butet bersalaman dengan anak kecil yang dipestakan itu di teras rumah. Ia diam membisu.

Cosmas sempat melihatnya, “Itu tunanganku” katanya kepada Butet sambil menunjuk ke arah Anna. Tapi ketika Butet berpaling, melihat ke arah yang ditunjuk, Anna sudah menghilang, berlari ke jalan. Cosmas mengejarnya, meninggalkan Butet berdiri melongo, bingung.

Cosmas sampai di pinggir jalan, tapi Anna telah kabur bersama tukang objek yang mangkal dan mencari penumpang di situ. Firmus juga datang menyusulnya.

“Kau tadi yang bawa dia ke sini?”

“Ya, dia ajak saya tadi siang” jawab Firmus dengan rasa bersalah

“Tapi saya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba lari seperti dikejar hantu tanpa pamit”

“Dia sempat melihat saya tadi dengan Butet, mungkin dia cemburu. Tidak apa-apa. Dia memang masih kenak-kanakan”.

Firmus pamit pulang terlebih dahulu, menyusul Anna ke rumahnya. Dia jengkel karena dia yang mejemput Anna ke rumahnya, seharusnya dia juga yang mengantar pulang. Cosmas kembali ke pesta menemani Butet.

Butet  berada di samping meja kecil tempat makanan untuk para tamu. Ia memegang piring yang terbuat dari rotan dan ditengahnya ditempelkan kertas nasi. Kertas nasi itu digunting membentuk lingkaran dan pada pinggirnya dibuat lekukan-lekukan kecil sebagai hiasan.

“Ada apa tadi?” tanya Butet, melihat Cosmas berdiri di belakangnya, juga memegang piring rotan.

“Tidak apa-apa. Anna sakit perut. Dia sudah pulang”

        Suara Cosmas kedengaran kurang yakin. Butet bisa merasakan adanya keraguan dalam jawaban Cosmas itu. Dia berfirasat ada yang tidak beres ketika ia berlari mengejar Anna tadi.

        Butet mengamati beragam lauk yang dihidangkan di atas meja. Sup kambing, babi dan ayam yang dicampur dengan kacang merah. Masing-masing dalam panci besar. Daging sapi rendang, babi kecap dan sate kambing. Masih ada beberapa menu dari ikan. Butet tidak tahu apa nama masakan itu.

Ada juga mie kuning mirip indomie goreng dan aneka jenis sayuran. Butet heran melihat makanan yang melimpah itu. Berbeda jauh dengan hidangan pesta di kampung ayahnya, di Sumatra Utara, yang sangat sederhana dan ekonomis. Cosmas berbohong, kemarin dia mengatakan penduduk di sini miskin, katanya dalam hati.

        Butet juga memperhatikan keramahan orang-orang yang hadir di pesta itu. Semua melempar senyum padanya seakan berkata “Kami senang anda datang”. Sepertinya tidak seorangpun mempertanyakan kehadirannya dan tak seorangpun membuat dia merasa sebagai orang asing. Semuanya wellcome. Ia bersyukur mendapat kesempatan menghadiri pesta itu. Kesempatan yang langka dan sulit didapatkan, katanya dalam hati.

        Cosmas  sebaliknya. Dia mengunyah makanannya dengan pikiran yang kacau. Dalam hati dia mengumpat sikap kekanak-kanakan Anna. Makanan di mulutnya terasa hambar. Keresahan hati dan beban pikiran yang tadi sempat hilang kini menyerangnya kembali.

Di lain kesempatan pikirannya dipenuhi oleh rasa malu. Malu mempertontonkan kemeriahan pesta itu kepada Butet. Makanan melimpah, moke yang tidak pernah habis seakan mengalir dari keran air abadi. Musik yang mengalun cepat dari loudspeaker yang tersusun setinggi langit-langit rumah di sudut halaman mengiringi orang-orang yang tidak kenal kata capek berjoget.

Semua itu bertentangan dengan ceritanya tentang kemiskinan penduduk kampung halamannya.

        “odo api ‘aun kesa daha mo’a” kata seorang Ibu yang sejak tadi lalu lalang di depan Cosmas dan Butet, membawa daging dalam baskom kecil untuk mengisi piring-piring kosong di depan para tamu yang sedang minum moke.

        Wajah Cosmas memerah mendengar kata-kata itu. Artinya, “ajak pacarmu menambah nasinya Nak”. Ibu itu mengira Butet adalah pacar Cosmas.

        “Ibu itu bilang apa?”  tanya Butet. Cosmas kelabakan mengarang kata-kata.

        “Hmmmm. Tadi dia suruh kita tambah nasi”

***

 

     Anna menutup wajahnya dengan bantal. Meredam suara tangisnya agar tidak terdengar ayah dan ibunya. Hatinya hancur. Peristiwa di pesta sambut baru tadi membuat ketakutan dan kecemasannya selama ini seakan menjadi nyata.

Terasa amat pilu baginya membayangkan  Cosmas  berubah dan berhianat saat mereka bersiap untuk menikah. Dia menjadi korban perasaan dan prasangka berlebihan. Rasa cemburu yang tinggi telah membunuh rasionalitasnya. Dia menangis dan menangis tiada henti. Dia telah  memastikan sikap Cosmas yang  mulai dingin dan cetus akhir-akhir  ini semata-mata karena dia telah menemukan gadis lain.

Sesekali dia ragu akan kebenaran prasangkanya. Mencoba meyakinkan diri akan kebenaran kata-kata Firmus tadi ketika datang ke rumahnya dan menjelaskan bahwa prasangkanya terlalu berlebihan. Tapi rasa cemburunya kembali mengubur keraguaan itu dan memebunuh rasionalitasnya. Dia tidak mampu berpikir jernih lagi.

Saat matanya letih menangis dia duduk memandangi foto kenangan yang terpajang di dinding kamar. Dia turun dari tempat tidur, menurunkan foto itu. Dia ingin membantingnya ke lantai. Menhancurkannya dan membuang segala hal yang bisa mengungkit masa lalunya yang indah.

Tapi Anna bukanlah manusia yang terbuat dari baja. Dia tetap seorang gadis rapuh yang mudah diombang-ambing perasaan. Bahkan terlalu rapuh karena terbiasa dimanja keluarga dan kekasihnya. Dia tidak mempunyai kekuatan untuk menghancurkan foto itu dan segala kenangan tentang Cosmas.

Kalau suara sepeda motor terdengar dari kejauhan dia segera menajamkan pendengarannya. Berharap mendegar sepeda motor Cosmas datang mendekat ke rumahnya. Berharap Cosmas datang minta maaf dan merayunya lagi. Dia kembali menangis karena harapannya sia-sia. Cosmas tidak datang. Seakan tidak peduli lagi padanya.

Tak ada lagi suara motor terdengar. Hanya suara-suara jangkrik yang mengerik serak terbawa angin masuk melalui celah-celah kamarnya. Menambah suasana sunyi dan pilu dalam hati Anna. Dia menggigit bibirnya sambil memejamkan mata. Tangannya mencengkram kuat bingkai foto.

Angin bertiup kencang. Menghalau suara-suara jangkrik. Atap rumah berdentang denting karna tiupan angin. Daun-daun bergesekan di ranting-ranting pohon ketapang yang meliuk-liuk mengikuti arah tiupan angin. Beberapa saat kemudian semuanya diam. Berhenti mengusik perasaan Anna. Tapi suasana malah semakin sunyi mencekam baginya. Yang terdengar hanya suara jarum jam dinding. Bergerak teratur tiap detik, mengeluarkan suara yang mirip suara  gesekan cangkul petani dengan tanah berpasir saat membersihkan rumput di ladang.

***

 

Cosmas menemui Firmus di pasar senja yang buka hingga larut malam. Di pinggir sebuah sungai  atau lebih tepat disebut jurang kering karena sudah hampir dua bulan tidak dialiri air. Sejak 2 bulan  lalu setetes airpun tidak pernah turun dari langit ke bumi Maumere. Air bersih menjadi komoditas  menggiurkan bagi sebagian pengusaha, pemilik mobil tangki. Menambah derita sebagian besar masyarakat yang tiap hari dipusingkan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang selalu naik.

        “Kau sudah jumpai dia?”

        “Belum, dia tidak mau angkat telephon. Jadi saya pikir dia tidak mau ketemu saya lagi”

        “Eeeeh. Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Saya baru pulang dari rumahnya. Dia minta maaf karena telah merepotkan”

        Sate kambing yang mereka pesan datang. Diantar seorang anak laki-laki kurus. Berkulit hitam. Firmus menggeser satu porsi ke hadapan Cosmas.

        “Minum apa, Kaka?” tanya pelayan itu

        “Saya mau kopi. Kau Firmus?

        “Air jeruk hangat. Tak usah tambah gula ya”

        Pelayan itu kembali ke kereta dorong berbentuk warung kecil. Menyampaikan pesanan Firmus dan Cosmas kepada majikannya.

        “Kau memang keterlaluan Cos. Masa kau bawa Butet tadi ke pesta itu. Kau kan sudah tahu Anna ada di sana”

        Cosmas menambah cabe giling ke sambal satenya. Mengaduknya dengan sendok kecil.

        “Saya sebenarnya sudah merasa tidak enak tadi. Butet yang mengajak mampir di situ. Saya menolak. Dia bilang hanya melihat-lihat saja dari jauh. Tiba-tiba Mama Nedi menarik-narik saya hingga ke tengah”

        “Jangan-jangan kau sudah mulai kepincut sama si Butet?” Firmus berseloroh.

        “Bisa-bisa saja sih. Tapi main cantik dong. Jadi kayak tadi” sambung Firmus lagi.

        “Kepalamu”

       Minuman mereka datang. Firmus menggeser kopi ke samping piring Cosmas. Dia mencicipi air jeruknya.

        “Mantap, sesuai dengan seleraku bro”

        Pelayan itu tersenyum.

        “Cos, tadi saya merasa tidak enak juga waktu menjemput Anna ke rumahnya. Tatapan ibunya agak lain padaku”

        “Semua kau perhatikan. Itu tandanya kau punya karisma sehingga perlu ditatap dengan tatapan khusus”

        “Aku serius. Biasanya kan orang yang hendak menikah risih bepergiaan dengan pria lain, apalagi ke pesta seperti itu. Kecuali calonnya bepergian jauh”

        “Saya lagi bepergian. Kan tidak apa-apa kalau sahabat baikku yang menjemput calonku”

        Pembicaraan mereka santai. Tidak ada tanda-tanda mereka baru saja mengalami peristiwa yang menjengkelkan. Cosmas menyisakan 2 baris satenya. Tidak kuat lagi menghabiskan.

        “Anna tampaknya kurang senang  kalau kau kerja selama masa persiapan perkawinan kalian ini. Apalagi kau mendampingi seorang cewek dan pergi hingga malam”

        “Ah. Saya sudah mulai malas melihat sikapnya yang ke kanak-kanakan itu”

        Cosmas mengambil sapu tangan dari saku, membersihkan sisa bumbu di bibirnya.

        “Lebih baik saya akhiri saja”

        Firmus memelototi muka Cosmas. Memastikan sahabatnya itu tidak mabuk. Kata-kata yang diucapkan Cosmas barusan lebih cocok sebagai ungkapan kegilaan ditelinga Firmus.

        “Kau tidak mabuk kan?”

        Cosmas berdiri. Mencabut uang 50 ribu dari dompet. Membayar makanan dan minuman yang baru mereka nikmati.

        “Kita tidur di rumahku atau di rumahmu?”

        “Tunggu dulu. Kau serius dengan kata-katamu tadi?”

        “Nantilah kita bahas itu. Kepalaku sudah pening lagi. Tadi sudah agak baikan”

        Mereka berdua pergi  ke Krokowolon. Ke rumah Firmus. Orang tua Firmus sudah tidur. Rumah mereka sepi.

        Firmus masih penasaran dengan kata-kata Cosmas tadi. Dia tidak percaya kalau sahabatnya itu serius ingin mengakhiri hubungannya dengan Anna. Tidak mungkin dia senaif itu. Hanya masalah kecil kok, pikirnya.

        “Cos, tadi kau tidak serius kan?”

        “Maksudmu?”

        “Waktu bilang mau mengakhiri tadi”

        “Aku serius, kenapa kau terlalu merisaukannya. Jangan-jangan kau sudah jatuh cinta sama si Anna. Ambil saja”

        Cosmas memukul-mukul bantal dengan tangan kanannya sebelum meletakkan kepalanya ke atas bantal itu. Berbaring. Pinggangnya seperti mau patah. Terlalu capek.

        Firmus mengambil sarung bantal dari lemari kecil di sudut kamar. Dia menciumnya. Wangi. Kemudian melemparkannya ke wajah Cosmas.

        “Ganti sarung bantalmu. Sudah lebih satu bulan tidak diganti”

        Cosmas bangun. Menuruti perintah Firmus.

        “Kau makin aneh saya lihat. Tadi saya serius. Kau main-main saja” Firmus kembali pada topik pembicaraan.

        “Kau sudah tidak mencintai Anna, ya?”

        Cosmas berbaring lagi. Meletakkan kepalanya di atas bantal. Tatapannya ke atas.

        “Akupun sudah tidak tahu apa artinya cinta, bro”

        “Ha? Masa pujangga tak bisa memahami kata cinta?”

        Mereka tertawa pelan. Menahan suara di perut agar tidak terlalu ribut. Takut menggangu tidur orang tua Firmus. Cosmas sering digelari pujangga. Karena kata-katanya selalu puitis saat menggangu anak-anak kuliah yang praktek di kantor mereka. Membuat teman-teman dan bahkan direktur mereka tertawa.

        “Seriuslah, jangan main gila lagi” Cosmas sok tegas.

        Cosmas mengatupkan bibirnya. Memejamkan mata sejenak. Kedua telapak tangannya ditempelkan di belakang kepala.

        “Kalau saya memutuskan hubunganku dengan Anna, apa kira-kira yang terjadi?”

        “Yang penting bukan apa yang akan terjadi, kawan. Tetapi alasanmu apa? Sudah tidak cinta lagi? Kenapa tidak bilang dari dulu? Sekarang kita sudah melangkah jauh. Adat telah berjalan”

Kata-kata keluar dari mulut Firmus dengan lancar tanpa hambatan apapun. Dia meniru gaya Cosmas. Berbaring dengan tatapan ke atas. Telapak tangan di belakang kepala.

        “Saya ingin membuat gebrakan. Penting Anna tahu. Tak seorangpun di dunia ini yang bisa menghambat kebebasanku. Saya bisa bergaul dan berteman dengan siapapun. Kebebasan adalah harta termahal yang dimiliki manusia”

        “Terangkan saja sama dia. Pasti dia mengerti. Tidak usah bertindak gila”

        “Itu juga akan kugunakan sebagai alasan menunda perkawinan kami. Saya sudah kehabisan amunisi menghadapi orang tuaku. Mereka bersikeras agar saya menikah secepatnya. Peristiwa tadi memberiku kekuatan baru untuk menunda”

Firmus tidak memahami arah pikiran Cosmas. Beberapa kali Cosmas telah menceritakan pergulatannya. Firmus menggapnya terlalu mengada-ada.

“Aku tak mengerti. Mengapa kau selalu ingin menunda. Kau tidak lihat semangat dan keceriaan Moat dan Mama di rumah? Bersyukurlah, kawan, punya orangtua yang bertanggungjawab. Kaulah harta mereka satu-satunya”

“Ah. Kau tidak mengerti. Persoalannya tidak segampang itu. Percuma kau pernah kuliah”

Telinga Firmus panas. Merasa Cosmas keterlaluan.

“Apa maksudmu?”

“Saya bukan mau membuat orang tuaku bersedih. Saya hanya ingin menunjukkan kepada mereka, ada hal yang lebih penting dalam hidup ini. Masa depan”

“Masa depan apa? Justru mereka memikirkan masa depanmu. Kalau tidak, mereka sudah duduk santai sambil menikmati hari tua. Tidak perlu banting tulang untuk mempersiapkan acara perkawinanmu”

Cosmas semakin menyadari perbedaan sudut pandang dan pola pikir di antara mereka berdua.

“Jadi menurutmu, cara mempersiapkan masa depan cukup dengan mempersiapkan pesta nikah yang meriah dan belis yang mahal?”

Firmus tidak menjawab. Dia berpikir. Berusaha memahami maksud Cosmas.

“Sejak saya pulang ke Flores ini, orang tuaku belum pernah berdiskusi dengan saya tentang peluang usaha atau pekerjaan yang lebih baik untuk masa depan saya kelak. Di pikiran mereka hanya ada rencana pernikahan. Seakan-akan itu akan menjamin kehidupan yang lebih baik. Saya tidak memungkiri makna adat dan tradisi kita. Namun sudah saatnya menurut saya untuk berpikir jernih akan apa yang lebih penting hari ini dan hari esok”

Firmus bangun. Duduk dengan kaki bersila, menopang kepala dengan kedua tangannya. Tapi tetap diam. Membiarkan Cosmas meneruskan pidato kebudayaannya.

“Kita tidak hidup di zaman kerajaan yang menuntut kepatuhan buta. Adat dan segala tradisi hanya bisa bertahan selama berkontribusi terhadap perkembangan kesejahteraan masyarakat. Pelan-pelan orang-orang akan menyadari bahwa mereka tidak hidup dari adat. Di zaman ini bukan ketaatan terhadap adat yang menentukan keberhasilan hidup. Orang-orang yang hanya berkutat dengan masalah adat di zaman yang serba cepat dan keras ini, bagaikan orang-orang yang tetap sibuk bermain musik saat kota Roma terbakar”.

“Saya tidak tahu apa yang harus kukatakan padamu, Cos. Makin lama, kau semakin aneh. Tidak mungkin orangtuamu merencanakan dan mengatur seluruh masa depanmu. Itu kan tugasmu. Mereka hanya bisa membantu”

Nafsu tidur Cosmas telah hilang. Obrolan mereka semakin menarik. Dia juga bangun. Duduk bersandar di dinding kamar.

“Justru karena itu kawan. Mereka tidak berhak memaksa saya untuk menikah selama saya belum siap”

“Kenapa kau bilang belum siap?”

“Saya belum siap untuk menghidupi sebuah keluarga baru. Saya masih butuh waktu untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik”

“Ala..aaaah. Kau terlalu mengada-ada, Cos. Kita sudah saling kenal sejak lama. Mengapa kau ragu? Banyak orang yang jauh lebih miskin dari kau. Mereka menikah dan terbukti tidak mati kelaparan kok”.

Cosmas kecewa dengan jawaban Firmus itu. Tiba-tiba semangatnya untuk berdiskusi lenyap sama sekali. Baginya, Firmus masih sama dengan kebanyakan orang di lingkungannya.

***

 

Ibu Cosmas bangun jam 5 pagi. Dia sedang tidak enak badan. Matanya susah terpejam semalam. Cosmas tidak pulang ke rumah. Membuatnya kahwatir. Dia selalu terbangun ketika mendengar suara sepeda motor. Berharap sepeda motor itu berhenti di samping rumahnya. Tapi semuanya berlalu. Cosmas tidak datang.

        Dia menyakan api. Memasak air untuk membuat kopi. Suaminya hanya membutuhkan kopi untuk mengisi perut pada pagi hari. Ditemani rokok. Suara ayam mengepak-epakkan sayap dan sesekali berkokok di belakang rumah.

        “Cosmas tidak pulang, ya?”

Ibu Cosmas terkejut. Suaminya sudah bangun.

        “Tidak. Mungkin dia di rumah Firmus”

        Ayah Cosmas mengambil ranting yang terbakar di tungku. Menyalakan rokok. Asapnya mengepul ke atas.

        “Air belum masak”

        Ayah Cosmas tidak menanggapi kata-kata istrinya. Dia keluar dari pintu belakang. Membawa parang dan tali. Dia pergi mencari rumput. Bergegas karena dia sudah berjanji kepada toke mengantar kopra jam 6 pagi. Uang telah dia terima 3 hari yang lalu.

        Matahari muncul dari ufuk timur. Memancarkan sinar perdana surya. Membawa secercah kehangatan. Ibu Firmus memberi makan ayam di kandang. Melemparkan jangung kering yang telah ditumbuk halus. Ayam-ayam itu berebutan.

        Kekahwatiran ibu Cosmas belum reda. Matanya selalu menoleh ke depan rumah tiap kali ada motor yang melintas. Dia takut sesuatu terjadi pada putranya.

 Cosmas memang biasa tidak pulang ke rumah. Dia sering menginap di hotel bersama tamu-tamunya atau di rumah Firmus. Tapi ibunya tetap kahwatir terutama karena acara perkawinannya sudah dekat.

        Ayah Cosmas datang membawa rumput. Satu ikatan besar. Dia pikul di atas bahu. Tak mempedulikan rasa gatal yang menjalari  tubunya akibat gesekan rumput-rumput itu.

        “Sudah masak airnya?”

        “Sudah”

        Ibu Cosmas bergegas ke dapur membuat kopi. Ayah Cosmas membuka tali pengikat rumput agar cepat kering di atas tanah. Kata dokter hewan, rumput yang basah karena embun tidak bagus untuk ternak. Bisa menyebabkan penyakit mulut.

           Ayah Cosmas menghabiskan satu kopi gelas hanya dengan dua tegukan. Perutnya terasa panas. Dia mencabut satu batang rokok dari bungkusnya. Dia bakar menggunakan korek api yang terletak di atas meja.

           Suara klakson mobil terdengar dari depan rumah. Berulang-ulang. Menunjukkan bahwa supirnya sedang menunggu seseorang dengan tidak sabar. Ayah Cosmas berlari ke depan meminta sang supir bersabar. Seorang anak muda datang membantu ayah Cosmas mengangkat 3 karung kopra kering dari teras rumah. Ibu Cosmas membuka pintu depan. Menyaksikan suaminya dan kernek menaikkan karung kopra ke atas mobil. Kemudian mereka berangkat ke pasar. Ayah Cosmas menggantung di pintu mobil bersama kernek karna di dalam sudah penuh.

           Ibu Cosmas kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya. Dia mengambil talenan dan pisau kecil untuk mengiris sayur. Dia meletakkan mulut pisau kecil itu di atas daun sayur manis berwarna hijau. Dia tekan pelan, kemudian dia menarik pisau. Proses itu dia ulangi beberapa kali hingga batang-batang dan daun-daun sayur itu berubah menjadi potongan-potongan kecil.

           Suara seorang anak perempuan terdengar dari belakang memanggil-manggil.

           “Mama…Mama….saya ambil air, ya!”

           Ibu Cosmas menjulurkan kepalanya dari jendela. Dia melihat Vincensia, anak tetangganya berdiri di dekat sumur. Memegang ember hitam. Talinya terbuat dari kulit kayu. Di samping 3 jerigen air berjejer.

           “Ah kau rupanya, Vin. Aku kira tadi siapa. ” kata Ibu Cosmas. Dia tersenyum ramah. Vincensia membalas  dengan senyuman.

           “Ambil air saja pake permisi. Seperti orang lain saja”

           Beberapa saat kemudian terdengar suara motor. Ibu Cosmas berjalan ke depan membukakan pintu. Cosmas sedang membuka helm  ketika ibunya muncul dari pintu.

“Tidur di mana semalam?” tanya ibunya

          “Di rumah Firmus, Ma”

        “Kau tidak pergi mengantar Anna ke sekolah?”

        “Mungkin dia tidak mengajar hari ini, Ma. Dia tidak sms saya minta diantar.”

        Cosmas tidak menceritakan kejadian semalam. Dia tidak ingin orang tuanya tahu persoalan-persoalan orang muda.

        “Kenapa kau tidak pernah lagi bawa dia ke sini? Sudah lebih dua minggu dia tidak ke sini”

           Ibu Cosmas tiba-tiba dihinggapi rasa rindu. Sudah lebih 2 minggu dia tidak melihat wajah Anna yang riang dan candanya yang selalu membuat rumah mereka ribut dalam setiap kunjungannya.

        Cosmas masuk ke dalam rumah. Tidak menghiraukan pertanyaan ibunya. Dia berjalan ke dapur terus keluar dari pintu samping hendak mengambil handuk yang tergantung di dekat sumur. Dia melihat Vincensia sedang menarik tali dari dalam sumur dengan susah payah. Cosmas mengejutkannya.

           “Ha! Ka Cosmassss….!” teriak Vincensia. Saking terkejut, tali penarik air itu lepas dari tangannya.

           “Kenapa kau sendirian? Mana Kakakmu?”

           “Pergi ke pasar” Jawab Vincensia. Cosmas meraih pangkal tali yang tersangkut di katrol di atas mulut sumur. Dia menarik tali tersebut menggangkat air dari dalam sumur. Dia tuangkan ke ember milik Vincensia.

           “Kau isi saja jerigen itu. Biar saya yang menimba air” kata Cosmas.

           “Ya, Ka. Terimakasih”

           Cosmas melemparkan timba air itu kembali ke dalam sumur. Dia menunggu beberapa detik sebelum menariknya.

           Setelah ketiga Jerigen milik Vincensia penuh, Cosmas membantunya mengantar ke rumah. Vincensia menutup mulut jerigen-jerigen itu satu per satu dengan plastik diikat karet. Cosmas membantunya menaikkan satu jerigen  ke atas kepalanya. Tangan kirinya menahan jerigen itu agar tidak jatuh, sementara tangan kanannya menenteng satu ember berisi air. Dia berjalan di depan. Cosmas mengikuti sambil menenteng 2 jerigen, satu di kiri, satu di kanan.

           Cosmas mengamati tubuh Vincensia yang kurus saat berjalan menuju rumahnya. Urat-urat lehernya menyembul karna ditekan beban berat di atas kepalanya. Jalannya tertatih-tatih. Semakin menyadarkan Cosmas betapa sulitnya mendapatkan air di kampung halamannya.

           Di kampungnya, hanya sedikit keluarga yang mempunyai sumur. Biaya untuk membuat sebuah sumur sangat mahal bagi sebagian besar penduduk. Mata air susah ditemukan. Cosmas masih ingat ketika orang tuanya menggali sumur yang mereka gunakan sampai sekarang. Waktu itu dia masih SD. Lebih dari sepuluh orang membantu ayahnya setiap hari selama satu bulan untuk membuat sumur itu. Mereka menggali sedalam 15 meter lebih untuk menemukan mata air. Butuh waktu lama, kesabaran, energi dan biaya yang tidak sedikit untuk menggali tanah sedalam itu. Proses penggalian memakan waktu lama karna tanah di daerah itu adalah tanah berbatu. Semakin dalam digali, semakin banyak batu-batu besar ditemukan dan  semakin sulit mengangkat batu-batu itu ke atas agar tidak menghalangi proses penggalian. Setelah proses penggalian selesai, mereka dengan susah payah melapisi dinding sumur itu dengan semen  agar tanahnya tidak longsor.

           Hal itu membuat Cosmas paham mengapa penduduk kampung halamannya terus menerus berkutat dengan kemiskinan. Hanya untuk memenuhi kebutuhan minum saja terutama pada musim kemarau mereka harus mengeluarkan energi bahkan biaya tinggi karena sebagian masyarkat harus membeli air dari para pemilik tangki kalau di dekat rumah mereka tidak ada pemilik sumur.

           Cosmas meletakkan kedua jerigen yang ditentengnya di depan pintu. Vincensia mengajaknya singgah untuk minum. Cosmas menolak dengan sopan karena dia ingin berangkat kerja.

           “Trimakasih ya, Kaka” kata Vincensia sebelum Cosmas pergi.

           “Sama-sama, Dek”  balas Cosmas. Dia berbalik menuju ke rumahnya. Baru beberapa beranjak, Vincensia menyusulnya dengan pandangan penuh tanya.

           “Tadi malam Kaka dari pesta sambut baru di Ili, ya?”

           “Ya, kenapa?”

           “Katanya Kaka bertengkar dengan Ka Anna”

           “Ha? Siapa bilang?”

           “Tadi malam kan, kakakku ikut juga di pesta itu. Dia yang cerita. Katanya karena Kakak bawa pacar baru ke sana dan ketemu dengan Kak Anna”

           “Ah itu gosip. Ga usah percaya,  Dek” kata Cosmas. Dia berusaha membuat suaranya santai. Seakan tidak terjadi apa-apa. Dia meneruskan langkahnya. Tapi hatinya tambah kesal dan jengkel mengingat ulah Anna tadi malam.Beginilah hidup di kampung, gosip dengan gampang tercipta dan tersebar, katanya dalam hati dengan kesal dan jengkel.

           Cosmas mengambil handuk, berjalan ke kamar mandi melewati ibunya yang sedang mencuci piring.        

           “Cos, hari ini kau tidak kerja kan?”

        “Kerja Ma. Tamuku kan belum pulang. Memang dia tidak pesiar-pesiar hari ini. Tapi tetap harus saya temani”  Cosmas menjawab sambil terus berjalan ke kamar mandi.

           Ibunya kecewa. Dia tadi berharap Cosmas dapat menemaninya ke pasar  membeli baju untuk Anna sebagai persiapan untuk acara mereka yang akan tiba sebentar lagi yakni hari keempat pertunangan Cosmas dan Anna, terhitung sejak tercapainya besar belis 2 hari yang lalu. Sesuai ketentuan adat, pada hari keempat keluarganya akan mengantar makanan ke rumah Anna yang disebut acara Tung-Wa’a sekalian membayar sebagian dari belis yang telah disepakati. Pada kesempatan itu juga orang tua Cosmas akan menyerahkan beberapa perlengkapan wanita untuk Anna.

           Cosmas mengguyur tubuhnya dengan air. Terasa segar. Semalam dia tidak mandi. Membuat tubuhnya gerah dan terasa berat. Ditambah lagi oleh beban pikiran akibat ulah Anna. Dia tak habis mengerti mengapa Anna akhir-akhir ini jadi kekanak-kanakan. Cosmas berniat memberinya pelajaran, mengingatkannya agar bersikap lebih dewasa. Tapi dia teringat ada lagi acara penting yang harus mereka laksanakan dalam waktu dekat. Lagi-lagi acara adat, bagian dari acara perkawinan mereka.

           Sambil melumuri tubuhnya dengan busa sabun, Cosmas memikirkan tindakan yang harus dia buat. Dia terombang-ambing antara perasaan kesal, geram mau membentak dan perasaan was-was kalau ketegangan hubungan mereka tercium oleh orang tuanya dan orang tua Anna. Perasaan was-was muncul semata-mata karena proses adat yang telah berjalan. Segera terlintas dalam bayangannya jerih payah orang tua dan sanak keluarganya untuk mempersiapkan semua acara-acara adat itu.

           Busa sabun menempel lebat di rambut kepala Cosmas. Saat dia membungkuk untuk menggosok kaki, sebagian busa itu turun ke kening kemudian menutup kedua matanya. Perih. Dia siram dengan air. Perlahan-lahan rasa perih itu hilang. Dia mengerdip-erdipkan matanya. Mengusir perih yang masih tersisa. Kejadian kecil itu membuatnya berhenti sejenak berpikir dan bergelut dalam hati.

           Beban pikiran Cosmas yang sempat hilang, muncul lagi saat dia berganti pakaian di kamar. Saat matanya bertemu dengan foto Anna, dia teringat kembali pertanyaan yang tadi belum sempat dijawabnya di kamar mandi.  Apa yang harus saya lakukan?, dia bertanya dalam hati. Di samping foto Anna dia memajang sebuah lukisan seekor ayam jantan yang berkokok sambil membentangkan sayap. Ayam itu bertengger di dahan pohon pinus. Kepalanya diarahkan ke atas dengan patok terbuka. Seakan berseru penuh kemenangan.

           Lukisan itu karya salah seorang temannya ketika masih tinggal di asrama beberapa tahun yang lalu. Lukisan itu dihadiahkan padanya secara tiba-tiba dan diam-diam, tanpa dia duga sama sekali. Kata pelukisnya itu hadiah untuknya sebagai symbol kepribadiannya. Hingga sekarang dia belum mengerti maksud pelukis amatir itu.

           Kesan antara dua gambar yang dia amati itu sungguh kontras. Foto Anna dengan wajah sendunya mengungkapkan kesan feminis yang lembut dan mohon pengertian. Lukisan di sampingnya menggambarkan keberanian dan kegagahan.

           Cosmas kembali pada pertanyaan pribadinya. Apa yang harus saya lakukan?. Sekali lagi dia pelototi foto Anna beberapa menit. Dia menimbang-nimbang dalam hati. Baiklah, saya akan mencoba bicara baik-baik dengannya, semoga dia mengerti, katanya dalam hati.

           Ayah Cosmas duduk di atas karung berisi kopra kering dalam sebuah gudang besar. Di samping dan di belakangnya ratusan karung kopra ditumpuk, mengeluarkan aroma yang khas. Mirip aroma kelapa kering yang dibakar. Aroma itu begitu khas dan ayah Cosmas suka menciumnya. Baginya aroma itu identik dengan aroma sumber uang.  Setiap kali dia datang ke gudang itu, selalu berurusan dengan uang. Beberapa bulan lalu, dia selalu datang ke sana untuk mengambil uang yang akan menjadi miliknya sendiri. Hasil penjualan kopra. Tapi dalam 3 kunjungan terakhirnya, dia selalu datang untuk menghitung sisa hutangnya.

           Dia membaca dengan teliti buku bon yang baru diterimanya. Dia menghitung angka-angka yang tertera di sana. Seorang laki-laki tua datang mendekat. Wajahnya bulat, perutnya buncit. Jalannya agak diseret. Dialah toke langganan ayah Cosmas.

           “Bapa Toto, apa masih saya masih bisa menambah hutang?” tanya ayah Cosmas kepada laki-laki tua itu. Toke tua itu member isyarat agar buku bon itu diberikan padanya. Dia membacanya sebentar. Kemudian dia menggeleng.

           “Sekarang belum bisa. Kalau kau minggu depan bisa menyetor 200 Kg lagi, kau bisa membuat hutang baru” katanya. Dia mengembalikan buku bon itu. Ayah Cosmas sungguh kecewa. Dia mulai berpikir mencari pinjaman ke tempat lain.

           “Kenapa kau akhir-akhir ini jadi sering meminjam” tanya toke itu menyelidiki.

           “Pernikahan anakku sebentar lagi akan tiba”

***

 

Anna tidak punya semangat mengajar. Dia menyuruh seorang muridnya mencatat bahan pelajaran di papan tulis. Yang lain mencatat di buku tulis masing-masing. Matanya kelihatan bengkak karena menangis samalaman dan kurang tidur.

        “Bu, difoto copy saja bahannya. Buat apa capek-capek mencatatnya?” Vanto memprotes.

        “Siapa yang tidak setuju mencatat. Angkat tangan” suara Anna mengancam. Tidak seorangpun mengangkat tangan. Dia memanggil Vanto ke depan.

        “Kenapa banyak sekali protesmu selama ini. Karena saya jarang marah, ya?”  Anna membentak.

        “Bukan, Bu” Vanto menundukkan kepalanya. Mengiba.

        “Jadi kenapa?” Anna memukul meja sambil berdiri. Murid-murid yang lain jadi takut. Belum pernah ibu guru mereka semarah itu.

        “Ayo jawab”

        “Karena Ibu cantik”

        Sebagian murid tertawa. Sebagian lagi mencubit perut menahan gelak tawa. Takut jadi sasaran amarah Anna.

        Anna berlari ke kantor. Pamit kepada Kepala sekolah dengan alasan  sakit kepala. Tidak tahan menghadapi murid-muridnya.

        Anna naik ojek ke pasar. Menenangkan diri dengan melihat-lihat baju baru. Dia pura-pura menawar sebuah sweater loreng-loreng. Di dompetnya hanya ada uang 15 ribu.

        “Berapa ini, Om?”

        “130 ribu, Nona”

        “Hmmm. Mahal sekali” Dia mengembalikan baju itu ke gantungannya.

        “Itu cocok untuk kau, An”

        Suara itu datang dari samping Anna. Membuatnya terkejut. Ibu Cosmas tersenyum padanya.

        “Mama..!”. Mereka berpelukan. Erat sekali. Melepas rindu.

        “Tidak mengajar?”

        “Kami pulang cepat hari ini Mama. Ada rapat dengan orang tua murid” Anna berbohong sambil menutupi keterkejutannya.

        “Kau tidak ikut?”

        “Tidak Mama. Hanya guru-guru senior saja”

        “Baju tadi cocok untukmu”

        “Tidak, Ma. Terlalu mahal”

        “Biar Mama yang belikan”

        “Tidak usah, Ma. Saya hanya melihat-lihat saja tadi”

        Ibu Cosmas menurunkan sweater itu dari gantungannya. Menyuruh penjaga kios  membungkusnya. Anna tidak bisa menolak lagi.

          “Mama mau belanja, ya. Biar saya temani ya. Saya malas pulang cepat ke rumah”

          Ibu Cosmas dengan senang hati mengiyakan tawaran Anna. Mereka berjalan sambil mengorbrol dengan akrab. Bagaikan seorang ibu dengan anaknya sendiri.

        “Mama mau beli ikan tuna itu?”

         Anna menunjuk ke seekor ikan besar. Tergeletak di atas papan panjang di pasar ikan. Seorang laki-laki setengah bawa mengibas-ibaskan plastik hitam di atas ikan itu. Mengusir lalat.

           “Coba tanya berapa satu kilo, Nak”

           Anna berjalan mendekati penjual ikan.

           “Berapa satu kilo, Om?”

           “Dua puluh ribu Nona”

           Anna berpaling ke Ibu Cosmas. Minta pendapatnya.

           “Sudah, beli saja 2 kilo”

           Penjual ikan itu mengambil parang. Memotong ikan dan menimbangnya.

         “Mama, anak gadismu cantik ya” penjual ikan itu berseloroh ketika menerima uang dari ibu Cosmas.

         “Saya calon menantunya, Om” Anna menerangkan.

         Penjulan ikan itu memelototi mereka bergantian.

          Anna menemani Ibu Cosmas berbelanja hampir sepanjang hari. Berpura-pura segalanya baik-baik saja. Anna tidak menyinggung tentang Cosmas sedikitpun. Mereka makan bakso setelah selesai belanja.

        Di rumah ibu Cosmas tidak menceritakan pertemuannya dengan Anna kepada suaminya. Dia takut dimarahi karena bertindak berlebihan. Karena Anna belum menjadi menantunya secara sah.        

***

 

Butet membiarkan dirinya terombang-ambing di atas ban di kolam renang Wailiti. Cosmas berenang di sampingnya dengan satu tangan.Tangan kanannya menyeret ban tempat Butet berbaring.

"Kau sudah lapar, Bang?"

Cosmas menggeleng. Bersandar di pinggir Kolam.

"Aku mau turun. Tolong pegangin bannya, Bang"

Butet turun kemudian membuka pembungkus rambutnya. Memutar-mutarkan kepala. Membiarkan rambutnya terutai ke bawah. Mereka berdua duduk di bibir kolam.

"Setelah dari sini, rencanamu langsung balik ke Jakarta?"

"Tidak tahu"

"Kok ga tau sih?"

Butet mengelus-elus rambut panjangnya sambil memikirkan pertanyaan Cosmas.

"Sebaiknya kau kabari saja orang tuamu, Dek. Kasihan mereka terlalu lama mencemaskanmu"

Butet belum menjawab. Wajahnya ditutupi dengan rambutnya yang lebat.

"Dek, kau marah ya?"

"Nggak, Bang"

"Kok diam aja"

"Saya lagi pusing. Tidak tahu mau ke mana lagi setelah dari sini"

Cosmas jadi prihatin. Dia makin sadar gadis di sampingnya benar-benar menghadapi persoalan yang pelik.

"Butet, maaf ya kalau saya terlalu mencampuri urusanmu"

"Nggak apa-apa kok, Bang. Malah saya senang ada yang peduli dan bisa mengerti"

"Menurut saya, tidak baik kalau kau terlalu lama bersembunyi seperti ini. Masalahnya tidak akan selesai. Justru kau akan semakin cemas dari hari ke hari"

           Cosmas membuat gelembung-gelembung kecil di air kolam dengan tangannya. Berusaha tetap santai.

"Benar juga sih, Bang. Tapi saya belum siap"

           Cosmas menahan diri bicara. Takut dianggap terlalu menggurui. Dia mencari cara lain untuk menyampaikan nasehatnya.

"Ngomong-ngomong, kau suka baca puisi ya?"

"Kok tahu?"

"Aku lihat kau suka bawa buku catatan ke mana-mana. Biasanya orang seperti itu suka kata-kata puitis"

Butet belum mengerti apa maksud Cosmas.

"Terus, apa hubungannya?"

"Kau masih ingat puisinya Chairil Anwar?"

"Judulnya aku?"

"ya"

"Ingat dong. Itu kan puisi wajib dihafal waktu sekolah. Terus apa hubungannya?

           Butet makin tidak sabar. Penasaran. Tapi membuatnya jadi tampak lebih bersemangat.

"Kalau betul kamu ingat, cobalah dulu lafalkan kata-katanya"

Butet diam sejenak. Menjernihkan ingatannya.

"Kalau tiba waktuku. Kumau tak seorangpun merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap berlari menerjang. Berlari dan berlari hingga perih dan pedih hilang. Aku mau hidup seribu tahun lagi"

Butet mengucapkan isi puisi itu dengan lengkap. Dia menunggu reaksi Cosmas.

"Masa kayak ngomong di hp. Datar-datar saja. Nggak ada tekanan"

"Loh, ini kan bukan lomba baca puisi. Nggak ada juri, nggak ada hadiah"

Cosmas tertawa. Butet menyiramnya dengan air.

"Terus, apa hubungannya, Bang, dengan topik kita?" Butet terus mendesak.

"Puisi itu sebenarnya ejekan"

"Maksudmu?"

"Dia bilang, akan tidak peduli terhadap apapun. Bahkan jika peluru menembus kulitnya, dia akan tetap menerjang. Tapi dengan syarat: kalau waktunya telah tiba"

"Maksudnya?" Butet belum mengerti.

Cosmas tidak serta merta menjawab. Dia membiarkan Buter berusaha menangkap maksudnya. Butet menyerah.

"Chairil Anwar sebenarnya mengejek kita. Kita seringkali membuat niat akan seperti ini, akan seperti itu. Tak peduli apa yang terjadi, maksud dan niat akan kita laksanakan. Tapi dengan syarat kalau waktunya telah tiba. Kapan waktunya tiba? tak seorangpun tahu. Kita harus mulai dari sekarang" terang Cosmas dengan suara beribawa

Butet melongo kepada Cosmas. Dia insyaf dirinyalah yang dimaksud. Cosmas membalas tatapannya dengan penuh pengertian.

“Kau benar Bang. Saya tak perlu menunggu terlalu lama untuk menghadapi kenyataan hidupku”

Serombongan anak sekolah masuk ke kolam. Berteriak-teriak kegirangan. Mengalihkan perhatian Cosmas dan Butet. Mereka melompat ramai-ramai. Membuat air kolam keluar. Membahasi Cosmas dan Butet. Mereka bergeser ke sebuah meja beberapa meter dari ruang ganti. Mereka memesan makan siang.

......Lanjut ke bagian 5

[1] Komuni Pertama, Menerima Sakramen Tubuh dan Darah Kristus dalam Gereja Katolik

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB