x

Seorang pembeli mencoba cincin emas di dalam toko perhiasan Lukfook, di Macau, Cina, Selasa 26 Agustus 2014. Brent Lewin/Bloomberg via Getty Images

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belis, Sebuah Novel (Part 9)

Sebuah kisah dilematis tentang cinta dan nilai-nilai tradisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lanjutan dari bagian 8

Hari-hari berlari kencang tapi hujan masih belum turun. Kekeringan masih menjadi bagian hidup sehari-hari. Debu hitam masih ada di mana-mana. Belum ada yang berubah.

 Satu-satunya perubahan hanya terjadi di rumah Cosmas. Geliat kehidupan di sana mulai berubah karena hari pernikahannya sudah makin dekat.

            Beberapa keluarga dekat Cosmas tinggal di rumahnya. Membantu membuat persiapan-persiapan yang dibutuhkan. Dimulai dengan acara bersih-bersih pekarangan. Cosmas membersihkan rumput di samping rumahnya. Firmus datang membantu. Dia memanjat pohon ketapang dan ansono. Memotong sebagian dahan dan ranting-ranting yang mengganggu tenda yang akan dipasang.

            Ayah Cosmas dan beberapa anak tetangga  memindahkan sebuah pondok kecil dari samping rumah mereka agar tempat itu bisa menjadi tempat parkir pada saat acara pesta berlangsung. Ibu Cosmas bersama dua orang gadis keponakannya sibuk di dapur membuat snack dan menyiapkan makan siang. Semua sibuk dan menikmati suasana ceria. Sambil bekerja musik dengan suara keras keluar dari dalam rumah.

            Cosmas berulangkali bertanya dalam hati mengapa dirinya tidak bisa menikmati suasana itu. Selalu dia merasa aneh dan ada yang kurang dalam hatinya. Dia berusaha konsentrasi dengan cangkul di tangannya. Dia ayunkan cangkul itu sekuat yang dibutuhkan untuk membersihkan rumput-rumput yang tersisa di atas tanah.

            Firmus turun dari atas pohon setelah menyelesaikan tugasnya. Dia berjalan ke arah Cosmas. Sebilah pisau panjang masih lengket di tangannya.

            “Cos, agak semangat sedikit. Kau tampak cemberut. Apa yang kau pikirkan?”  Firmus mencoba mengusik.

            “Ah kau. Mentang-mentang pekerjaanmu sudah selesai. Di belakang masih ada satu cangkul lagi” sambil tertawa Cosmas membalas.

            “Masa untuk pekerjaan sekecil ini saja kau minta bantuan? Sebentar lagi kau menjadi Bapak keluarga. Mana tanggung jawabmu?”

            Firmus tertawa senang dan merasa menang. Cosmas berhenti. Mereka mengobrol.

            “Pikiranku semakin sulit berkonsentrasi, ada apa ya?” Cosmas berterus terang. Bertukar pikiran dengan sahabatnya.

            “Memangnya apa yang kau pikirkan?”

            “Saya selalu bertanya dalam hati, mengapa kita terlalu sibuk, capek dan mengeluarkan begitu banyak biaya hanya untuk sebuah acara pernikahan?”

            “Ah, penyakitmu kambuh lagi, Cos. Apa sih maksudmu?”

            “Tidak bisakah kita buat acara yang lebih sederhana? Toh maknanya akan sama”

            “Ah kau memang pemimpi, Cos”

            Firmus berjalan ke dapur, meninggalkan Cosmas. Dia muak, bosan mendengar keluhan-keluhan Cosmas yang baginya tak perlu itu.

Pemimpi. Kata-kata itu bergiang di telinga Cosmas. Wajahnya memerah. Dia tersinggung mendengar kata-kata itu. Benarkah aku pemimpi?, tanya Cosmas dalam hati. Memang ada benarnya, saya adalah pemimpi. Saya adalah orang gila di antara orang-orang waras ini. Cosmas memperhatikan semua orang yang bekerja dengan serius membersihkan pekarangan rumahnya. Dia ingat lagi acara-acara yang telah mereka selenggarakan.           

Satu minggu lalu mereka menyelenggarakan acara Tung Wa’a yang sempat tertunda itu. Berjalan dengan meriah. Rumahnya mirip pasar malam selama beberapa hari. Semua keluarga dekatnya datang membawa sumbangan dan membantu mempersiapkan acara itu. Rombongan keluarganya yang berangkat ke rumah Anna juga besar. Mereka menyewa tiga mobil.

            Jauh lebih meriah lagi acara Tadang Kila atau pemberian Tanda Cincin kepada Anna sekaligus membayar sebagian  belis yang telah disepakati. Acara itu berlangsung 2 hari lalu. Jalan di Kewapante sempat macet ketika rombongan keluarganya melintas menuju rumah Anna. Semua teman-temannya dari kantor ikut dalam rombongan. Mengiringi sebuah truk berisi 3 ekor kuda, 20 tandan pisang, jangung kering 6 sokal, padi 10 sokal dan ayam 16 ekor. Di depan truk itu sebuah mobil pick up berjalan pelan membawa bapak-bapak yang memainkan alat musik tradisional sepanjang perjalanan. Di belakang truk rombongan keluarga inti Cosmas mengikuti dengan 4 mobil kijang yang dirental Firmus sebagai bentuk partisipasinya. Ada ratusan sepeda motor mengikuti dari belakang, membuat suasana tambah meriah. Acara di rumah Anna berlangsung hingga malam.  Sungguh menguras tenaga. Nam….

            Parade adat itu membuat Cosmas teringat akan pernikahan para pangeran kerajaan yang sering dia tonton di televisi. Sedikitpun tidak ada kebanggaan dalam hatinya saat menyaksikan semua kemeriahan itu. Bahkan ia merasa malu pada dirinya sendiri karena tidak mampu membujuk orang tuanya untuk membuat acara sederhana. Seakan dirinya membiarkan begitu saja sebuah tarian suka cita dimainkan di tengah jerit kemiskinan.

            Masih ada acara yang akan mereka selenggarakan sebelum memasuki acara puncak. Semua telah disiapkan keluarganya dengan penuh antusias. Tapi Cosmas merasa frustasi dan kesepian di tengah keceriaan yang sedang melanda keluarganya. 

            Dia tidak mempunyai  teman untuk bertukar  pikiran.  Anna sama sekali tidak bisa diajak berdiskusi tentang hal-hal yang tidak biasa dia lihat atau alami. Menurutnya, Anna adalah tipe wanita yang tidak suka repot. Cenderung mencari jalan aman saja.

            Tiap kali Cosmas mengungkapkan pergulatannya pada Anna, dia hanya berkomentar “Aduh……. untuk apa kita bicarakan apa yang tidak perlu kita bicarakan? Kan Mama dan Bapa di rumah sudah bilang bahwa mereka sanggup membayar belis itu. Kok Abang terlalu kahwatir sih?”.

            Firmus juga telah berubah. Dia tidak lagi sahabat yang siap bertukar pikiran dengannya.  Dia bahkan kini menuduhnya sebagai pemimpi. Siapakah pemimpi, saya atau orang ini semua? Tanya Cosmas dalam hati, dia diam beberapa saat. Merasa kesepian di tengah keriuhan. Dia mengayunkan cangkulnya lagi, berharap cangkul itu bisa mengusir kesepiannya.

            Saat malam tiba, hujan akhirnya turun dari langit, Cosmas duduk termenung di dalam kamarnya. Dia terus menerus mengepulkan asap rokok. Asbak di atas meja telah penuh dengan puntung rokok surya 12. Dia berpikir keras, mencari solusi atas kemelutnya. Di kamar sebelah orang tuanya telah tertidur pulas bersama mimpi-mimpi hari tua mereka yang bahagia.

            Kata-kata Firmus tadi siang masih bergiang di telinganya. Pemimpi. Apakah saya pemimpi? Pengkhayal? Tanyanya dalam hati. Ada perasaan malu dalam hatinya. Malu pada dirinya sendiri. Dia teringat diskusi-diskusinya di ruang kuliah ketika masih mahasiswa. Ide-ide briliannya. Semua itu hanya omong kosong, katanya dalam hati. Nyatanya sekarang saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Matanya sedikitpun tidak merasa mengantuk. Dia mencoba mengalihkan perhatian pada koran-koran yang dia beli tadi siang ketika menjemput Anna dari sekolah. Tidak ada berita baru. Semua telah dia baca.

            Dia berdiri. Berjalan ke arah rak kecil berisi buku-buku. Dia cek satu per satu buku-buku itu. Berharap dapat menemukan satu atau dua buku yang menarik untuk dibaca ulang. Sebab semua sudah pernah dibacanya. Dia mengambil satu buku, membolak-balik beberapa lembar dan membaca sekilas. Dia kembalikan lagi ke tempatnya. Dia tarik buku lain dan segera mengembalikannya. Tak satupun menarik perhatiannya.

            Apakah saya pemimpi? Pertanyaan itu muncul lagi. Dengan tegas dia mengatakan bahwa dirinya bukan pemimpi. Merekalah pemimpi karena hidup di dunia ilusi, tidak melihat kenyataan hidup sehari-hari, katanya lagi dalam hati dia bergerak ke arah jendela. Dia membukanya, membiarkan angin masuk mendinginkan panas kepalanya.

Pandangan Cosmas terbentur pada kabut malam yang telah menutupi dunia di luar kamarya.  Matanya tak bisa menangkap apapun selain bintik-bintik air hujan di bawah jendela kamarnya. Selebihnya adalah kegelapan. Tapi pikirannya mulai jernih. Mulai menangkap secercah cahaya.

Saya terlalu lemah. Terlalu takut. Padahal saya tidak berhadapan dengan pembunuh atau penguasa yang otoriter. Saya hanya berhadapan dengan perasaan dan hatiku sendiri. Saya menjadi pengecut selama ini. Cosmas mencoba mengevaluasi kelemahan dan pendiriannya yang kurang konsisten. Takkan kubiarkan diriku seperti ini terus, katanya dengan mantap.

Cosmas kembali ke kursi kesayangannya, membiarkan jendela terbuka. Dengan tenang dia membuat rencana yang lebih matang.

Aroma tanah yang baru dibahasi hujan terbawa angin ke dalam kamarnya. Aroma itu mengingatkannya bahwa sebentar lagi pucuk-pucuk baru akan tumbuh di ladang yang selama ini kering kerontang. Sebentar lagi warga kampungnya akan berbondong-bondong ke ladang karna musim menanam telah tiba. Beberapa saat akan tumbuh keceriaan hidup seiring tumbuhnya tunas baru di ladang. Tapi itu hanyalah penyambung hidup sesaat. Daun-daun akan layu lagi oleh musim kemarau. Para petani miskin di kampungnya hanya sempat memanen secukupnya untuk bertahan hidup. Tak pernah lebih. 

Sambung ke bagian 10

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB