x

Iklan

I. Mumajjad Muslih

Peminat cerita-cerita
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ngadeg, Ritus Perekat Masyarakat

Tulisan ini mencoba menyelami fungsi sosial "Ngadeg", ritual yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW oleh masyarakat kampung saya di pedalaman Majalengka

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal, selepas salat Zuhur, saya beserta segenap warga kampung berbondong-bondong menuju masjid jami. Mengenakan pakaian terbaik, kami membawa kitab Barzanji, air dalam teko, kepalan-kepalan nasi kuning yang lazim disebut sangu kabuli, tambang pengikat kerbau, alat-alat kosmetik, wadah korek api berisi padi, dan benda-benda pusaka seperti keris dan batu akik.

Kami akan menghadiri Ngadeg, sebuah ritus membaca doa, selawat, dan kitab Barzanji secara berjamaah yang dipimpin oleh Kiai Sepuh. Upacara ini diadakan setiap tahun untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Istilah lain yang biasa digunakan adalah Muludan, meski kata ini bermakna lebih umum karena merujuk pada setiap acara yang diselenggarakan untuk memperingati maulid nabi.

Ngadeg’ dalam bahasa Sunda secara harfiah mengandung arti ‘berdiri’. Sebagian besar prosesi ini memang dilakukan sambil berdiri. Selawat dikumandangkan bersama-sama, sementara Kiai Sepuh diiringi para kiai serta tokoh masyarakat berkeliling memotong rambut bayi-bayi yang diniatkan oleh orang tuanya untuk dicukuri pada hari itu. Acara ditutup dengan doa dan makan sangu kabuli bersama-sama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perekat Masyarakat

Sebagai sebuah ritus, Ngadeg mempunyai aspek religi-sosio-kultural yang terkait dengan kepercayaan, budaya, dan pola hubungan yang ada dalam sebuah masyarakat. Ngadeg dilandasi oleh kepercayaan terhadap Tuhan, dilakukan secara bersama-sama pada waktu tertentu, dan mempunyai tata urutan tertentu pula.

Selain sebagai manifestasi dari rasa cinta kepada Rasulullah, Masyarakat desa saya juga percaya bahwa Ngadeg bisa mendatangkan banyak berkah, yakni kebaikan yang berlipat-lipat. Karena itu, menghadirinya dianggap sebagai sebuah keharusan. Memang tak ada ancaman dosa bagi warga yang absen. Tapi siapa yang tidak hadir dianggap tidak kebagian limpahan berkah mulud dari Sang Pencipta.

Saya kira tuntutan untuk hadir ini tidak melulu terkait dengan religiositas dan spiritualitas seperti itu. Tetapi juga terkait dengan keberadaan masyarakat sebagai sebuah entitas sosial. Ngadeg merupakan ajang bagi warga untuk berkumpul. Pada momen itu segenap warga bisa bertemu, saling bertatap muka, pergi ke masjid bersama-sama, bercakap-cakap, bahkan bercengkerama. Melalui proses ini bisa dipupuk rasa kebersamaan, empati, kerja sama, dan lebih jauh rasa saling memiliki sebagai sesama anggota masyarakat.

Melalui proses interaksi sosial di dalamnya, Ngadeg berkontribusi dalam membentuk masyarakat yang guyub, mempunyai ikatan kuat secara personal, dan mengutamakan hubungan yang berorientasi kepada emosi bukan fungsi. Karakteristik ini dikenal sebagai ciri masyarakat pedesaan, tempat di mana tradisi seperti Ngadeg masih dilaksanakan. Ngadeg terbukti menjadi perekat sosial, setidaknya di desa saya.

Tentu aspek sosiologis ini tidak lantas menghilangkan kesakralan Ngadeg. Meski di masyarakat desa, canda dan keseriusan kerap tak berbatas tegas, ke-khusyuk-an tetap terbangun. Saya kira perpaduan aspek sosiologis dengan religiositas inilah kelebihan ritus seperti Ngadeg. Saat jemaah melantunkan selawat  bersama-sama, ada nuansa sakral yang meliputinya. Nuansa ini amat mudah menyentuh hati, membuat diri melesap ke dalam ‘gelombang perasaan’ yang dibangun oleh segenap yang hadir, bersama-sama berupaya menggapai Dia yang Maha Meliputi segala.

Selain berperan penting dalam membangun spiritualitas dan kekohesifan masyarakat, prosesi Ngadeg di bulan Mulud (Rabi’ul Awal) ini juga menjadi penanda bagi kesadaran seseorang dalam hidup bermasyarakat. Tak heran jika ada orang yang dianggap tidak mempunyai kesadaran itu, warga desa saya kerap menyebutnya ‘teu asup ka Rewah Mulud’. Maknanya kurang lebih tidak jelas asal-usul dan terlepas dari komunitas di mana dia berada. Dalam masyarakat desa, cap seperti ini sungguh mengerikan.

Tampaknya memang masih relevan bagi kita untuk membangun nilai-nilai kebersamaan dengan aneka cara. Masyarakat di desa saya melakukannya melalui Ngadeg. Menjadi anggota masyarakat dan berbagi dengan warga lain di dalamnya bisa jadi merupakan jalan untuk meraih kebahagiaan hakiki. Saya teringat Christopher ‘Alex Supertramp’ McCandless dalam film ‘In to The Wild’ garapan sutradara Sean Penn. Setelah pengembaraan panjangnya ‘menghindari’ masyarakat, saat sendirian dalam kondisi lemah di tengah hutan pinus Alaska sebelum dijemput maut, dengan tangan gemetar dia menulis, ‘happines only real when shared’. Semoga kita tidak telat menyadarinya. Salam.

Ikuti tulisan menarik I. Mumajjad Muslih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler