x

Iklan

I. Mumajjad Muslih

Peminat cerita-cerita
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nyipuh, Diri, dan Hari Kelahiran Sang Nabi

Nyipuh merupakan peristiwa kultural-religius yang terkait erat dengan makna kelahiran. Selain ngalap berkah, nyipuh juga menjadi sarana untuk mengkaji diri agar lahir diri yang baru, bersih, dan penuh kebaikan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap menjelang tanggal 12 Rabi’ul Awal, saya kerap teringat Abah Idir. Lelaki sepuh yang kini telah tiada itu (semoga Allah merahmatinya) selalu membawa golok panjang ke masjid jami saat prosesi ngadeg, salah satu bentuk muludan di kampung kami. Golok panjang itu lantas ia sandarkan pada salah satu tiang masjid. Kehadirannya tampak menonjol di antara teko-teko berisi air, tambang ijuk pengikat kerbau, bungkusan-bungkusan padi, alat-alat kosmetik, baskom berisi nasi kabuli, serta aneka benda lain yang dibawa warga kampung.

Abah Idir membawa golok panjangnya ke masjid bukan tanpa maksud. Begitu juga warga-warga lain yang membawa beragam benda itu. Masyarakat kampung saya  berupaya untuk  ngalap berkah, berharap memperoleh banyak kebaikan dalam benda-benda yang dimiliki. Prosesi membaca selawat dan kitab Barzanji berjamaah saat ngadeg, diyakini dapat mendatangkan banyak keberkahan. Maka momen tersebut dimanfaatkan untuk nyipuh bermacam benda dengan membawanya ke masjid. Bahkan menghadiri ritus ini dianggap sebagai upaya nyipuh diri sendiri.

Nyipuh Diri, Mengaji Diri

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam bahasa Sunda, kata “nyipuh” berasal dari “sipuh”, yakni “sarupa cai atawa puyer (emas atawa perak) paranti ngalusan rupa logam -sejenis air atau puyer yang biasa digunakan untuk memperbagus bermacam logam”-. Adapun “nyipuh”, mengandung arti “ngalusan rupa logam ku sipuh –memperbagus bermacam logam menggunakan sipuh-“. Kata ini juga mengandung makna konotatif yaitu “tambah alus atawa tambah ajénaneun –bertambah bagus atau makin patut dihargai”- (Satjadibrata, 2005: 362). Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, “menyepuh” antara lain mempunyai makna “menuakan warna emas dengan campuran sendawa, tawas, dsb.; menyadur (dengan emas, perak, nikel, dsb.); dan mengeraskan pisau, sabit, dan sebagainya, dengan cara dibakar lalu dicelupkan ke dalam air” (KBBI offline, 2010-2011).

Arti-arti dari kamus tersebut bisa dijadikan titik berangkat bagi kita untuk meninjau nyipuh sebagai peristiwa kultural-religius. Terkait dengan benda-benda yang dibawa saat prosesi ngadeg, hal yang diharapkan adalah benda-benda tersebut diliputi oleh berkah berupa kebaikan dan manfaat yang berlimpah. Allah-lah pemilik segenap berkah dan ngadeg merupakan momen yang tepat untuk meraihnya. Ngadeg diyakini sebagai peristiwa sakral karena menyangkut kelahiran kekasih Allah, Muhammad Sang Rasul. Karenanya, Allah akan melimpahi prosesi ini dengan berkah yang bisa dialap oleh segenap yang hadir dan tak mustahil meresap ke dalam benda-benda yang ada di situ.

Begitu juga dengan diri. Manusia dari detik ke detik menempuh jalan hidup sejak dilahirkan hingga sampai ke pintu maut. Jalan itu milik Allah semata, juga diri yang menempuhnya. Manusia memang diberi daya dan kehendak, namun selalu ada kekuatan Adikodrati yang mengaturnya sehingga apa yang terjadi kerap berupa misteri. Dalam kondisi begini, apalagi yang bisa diharapkan selain keberkahan? Pada titik inilah nyipuh bisa dimaknai sebagai upaya agar diri diliputi oleh berkah dan rahmat dari Sang Maha Pengatur itu.

Makna berbeda bisa juga ditelusuri dari nyipuh diri. Dalam proses nyipuh secara harfiah, benda yang akan disepuh tentu akan dibersihkan terlebih dahulu sebelum dilapisi dengan sepuh yang baru. Debu dan kotoran dihilangkan, kejelekan diukur, dan kerusakan dikenali lebih dalam. Hal ini mestinya berlaku juga bagi diri. Sebelum dilapisi dengan hal-hal yang lebih baik sehingga tambah ajénaneun, mesti ditinjau ulang sejauh mana diri dikuasai kejelekan.

Setelah jujur mengukur sejauh mana kejelekan diri, barulah bersiap untuk melangkah menuju arah yang lebih cerah. Arah yang diliputi upaya perbaikan diri, mencari perkenan Sang Pencipta. Tentu ini bukan jalan yang lurus tanpa gangguan melainkan berkelok dan rawan godaan. Tapi selalu ada pertolongan jika niat baik sudah terpancang. Jadi sejatinya, nyipuh bukanlah menutupi kejelekan diri dengan hal-hal baik agar dipuji, tapi jujur melihat diri lalu berupaya meraih kebaikan-kebaikan agar diri makin mempunyai ajén terutama di hadapan-Nya.

Kelahiran Baru

Sebagaimana kita tahu, tanggal 12 Rabi’ul Awal adalah hari lahir Nabi Muhammad SAW. Peristiwa memperingatinya lazim disebut maulidan, mauludan, atau muludan. Kata “maulid” merujuk kepada hari kelahiran, sementara kata “maulud” merujuk kepada yang dilahirkan. Kedua-duanya jelas tak bisa dilepaskan dari proses “kelahiran”.

Proses kelahiran menggambarkan situasi asal yang fitrah, murni, belum terkotori. Nyipuh diri bisa dimaknai sebagai upaya untuk menuju titik itu. Mungkin itu sebabnya, setidaknya di kampung saya, nyipuh dilakukan dalam acara muludan yang terkait dengan proses kelahiran. Mengaji diri lalu berupaya untuk meningkatkan kebaikan saya kira adalah makna nyipuh yang relevan untuk dikembangkan di zaman yang defisit spiritulitas seperti saat ini.

 

Wallahu a’lam bishshowaab…

Ikuti tulisan menarik I. Mumajjad Muslih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu