Gajah Mada: Mengunyah Fiksi Berbalut Fakta Sejarah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBelajar tentang sejarah apalagi sejarah negeri sendiri semestinya menjadi hal yang menyenangkan, namun banyaknya literatur yang terlalu serius menjadikan orang menjadi mundur teratur. hadirnya novel berlatar belakang sejarah menjadi sebuah angin segar bag
Membaca fiksi yang berbalut dengan fakta sejarah adalah hal yang menyenangkan bagi saya, setidaknya hal seperti ini membuat otak saya yang loadingnya lama menjadi lebih bisa menyerap dan mengerti tentang kisah yang sudah terjadi di masa lampau. Demikian pula yang saya rasakan ketika mengunyah novel demi novel tentang perjalanan hidup Gajah Mada, sang Mahapatih dari kerajaan besar yang pernah berdiri di bumi nusantara. Dengan rata-rata tiga sampai enam ratus halaman per bukunya nyatanya Langit Kresna Hariadi sang penulis mampu membuat saya bertahan untuk bisa menikmati lakon yang dikisahkan dari lembar ke lembar sampai tuntas tak bersisa. Hal yang sangat mengagumkan tentunya bagi pembaca sekaliber saya yang terkenal pemalas dan tidak telaten.
Novel Gajah Mada ditulis oleh LKH sebanyak lima seri dan masing-masing serinya menitikberatkan pada sebuah cerita perjalanan Gajah Mada dari awal mula dia menjadi prajurit berpangkat bekel hingga menjadi seorang Mahapatih yang terkenal dengan sumpah palapanya untuk menyatukan bumi nusantara di bawah satu kesatuan komando kerajaan Majapahit. Yach jika saja saya sudah membaca novel ini saat jaman sekolah dulu, tentunya nilai sejarah saya di setiap ulangan akan lebih baik ya hahaha, ah sudahlah.
***
Seri pertama novel ini diberi judul Makar Dharmaputra yang mengisahkan bagaimana Gajah Mada muda yang kala itu masih berpangkat bekel memimpin sebuah pasukan elite majapahit yang bernama pasukan Bhayangkara. Berbekal kepandaian, ketrampilan dan ketepatan mengambil keputusan, akhirnya Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara berhasil menyelamatkan raja Jayanegara dari pembunuhan sekaligus menggagalkan usaha kudeta yang dilakukan oleh Ra Kuti dan kawan kawan.
Cerita perjuangan yang seru di seri perdana ini juga dibumbui dengan kisah-kisah pengkhianatan yang terjadi baik di tubuh kerajaan maupun di tubuh Bhayangkara sendiri, ditambah dengan konflik percintaan dari seorang sekar kedaton kepada salah satu Dharmaputra pemberontak. Apalagi kehadiran sosok misterius yang selalu membantu Gajah Mada dalam keadaaan yang terdesak semakin membuat cerita ssemakin menarik.
***
Seri kedua Tahta dan Angkara merujuk pasca raja Jayanegara mangkat setelah diracun oleh Ra Tanca. Tahta yang kosong sepeninggal raja harus segera diisi dan dicarikan penggantinya. Jayanegara memiliki dua orang adik perempuan yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Keduanya adalah calon yang memiliki hak untuk bertahta menjadi ratu, namun sayang gemerlap dampar keprabon mampu menyilaukan mata siapa saja untuk berkuasa, selalu saja ada pihak yang mengambil keuntungan disini, dengan memanfaatkan Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sebagai tunangan masing-masing calon ratu. Agar kejadian buruk tidak menimpa Majapahit, Gayatri sang ibu suri yang sudah menjadi biksuni kala itu memutuskan untuk menerima saran Gajah Mada agar mau bertahta sementara hingga penyelidikan atas keterlibatan para calon suami calon ratu membuktikan mereka tidak bersalah.
Buku kedua ini cerita semakin seru dengan hal-hal yang tidak terduga. Bagaimana telik sandi Bhayangkara lincah menggali informasi dan kenyataan yang tidak terduga bahwa Raden Kudamerta ternyata telah memilki anak istri dan bagaimana istri Ra Tanca sang pembunuh Raja jayanegara ikut ambil bagian dalam pusaran perebutan kekuasaan.
***
Seri ketiga memegang rekor paling tebal hingga lebih dari 600 halaman. Dengan mengusung judul Sumpah di Manguntur. Selaras dengan banyaknya halaman, seri ini mengusung lebih dari satu konflik. Dari hilangnya dua pusaka kerajaan yang sangat penting bagi kerajaan Majapahit, kedatangan kapal Adityawarman dari kerajaan Darmasraya yang dikhawatirkan menuntut haknya atas tahta kerajaan yang akhirnya dimiliki bersama oleh dua bersaudari Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat, hingga adanya laporan telik sandi yang melihat adanya upaya pemberontakan di wilayah Sadeng dan Keta.
Lagi-lagi Gajah Mada yang kala itu telah menjadi Patih dengan sumpah palapanya mampu mengatasai segala hal yang terjadi dan mengancam keutuhan kerajaan Majapahit. Dengan banyaknya konflik yang terjadi, sekali lagi saya harus mengakui kehebatan LKH yang begitu mahir menjalin cerita-cerita yang sepintas tidak berhubungan menjadi nikmat dikunyah dan tak terasa buku tebal yang cukup membuat pingsan jika dilemparkan ke kepala para koruptor itupun sudah mencapai halaman terakhir.
***
Buku keempat juga adalah seri yang menarik karena mengangkat tentang perang bubat yang kejadiannya lumayan kontroversial tergantung dari sudut pandang kita. Mengambil judul Sanga Turangga Paksowani mengisahkan tentang Gajah Mada yang sekarang sudah menjadi mahapatih bergelar Sang Mahamantrimukya Rakryan Ma Patih Mpu Mada yang sangat terobsesi untuk bisa menyatukan seluruh kerajaan dibumi Nusantara dibawah kerajaan Majapahit, selain membuat wilayah Majapahit menjadi lebih besar hal itu juga diharapkan akan mampu membendung kedatangan kerajaan tartar yang berniat menguasai nusantara.
Di lain sisi sang Raja saat itu Hayam Wuruk yang berniat mencari seorang permaisuri benar-benar jatuh cinta dengan kecaantikan putri raja Sunda Galuh bernama Dyah Pitaloka. Sunda Galuh sendiri adalah kerajaan yang menolak bergabung dengan Majapahit dan hal itu membuat Gajah Mada gusar karena Sang Raja malah berniat memperistri sekar kedatonnya. Dengan keculasan pihak-pihak tertentu maka terjadilah perang bubat yang menewaskan semua utusan kerajaan Sunda Galuh tak terkecuali raja, ratu dan Dyah pitaloka sendiri yang memili untuk lampus. Gajah Mada pun menjadi pihak yang disalahkan dan untuk mempertangungjawabkan semuanya dia dicopot dari jabatannya sebagai Mahapatih.
***
Seri terakhir diberi nama Madakaripura Hamukti Moksa. Gajah Mada yang mengasingkan diri disebuah tempat terpencil menghabiskan waktu menjadi orang biasa. Namun seiring waktu berlalu ternyata Majapahit kembali memerlukannya. Dengan tidak adanya Gajah Mada sebagai Mahapatih ternyata berpengaruh terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah kekuasaannya. Banyak yang ingin memisahkan diri karena menganggap Majapahit tanpa Gajah Mada seperrti ayam jago tanpa taji. Atas dasar rasa cinta terhadap negaranya, Gajah Mada pun kembali hingga akhir hayatnya.
***
Membaca seluruh rangkaian cerita perjalanan Gajah Mada membuat saya serasa masuk ke dalam lorong waktunya doraemon. Cara bertutur LKH yang runut dan rinci dengan catatan kaki yang sangat membantu membuat saya menjadi lebih nyaman dalam membaca. LKH juga adalah seorang penulis yang selalu ingin belajar. Mengetahui ada kesalahan sejarah di buku pertamanya membuat ia semakin berhati hati dan mendalami literature serta mencari referensi yang lebih terpercaya. Dari seri ketiga gaya penulisannya juga mengalami banyak variasi sehingga tidak banyak lagi pengulangan-pengulangan yang tidak perlu seperti di dua buku sebelumya.
Mengunyah fiksi berbalut fakta sejarah memang mengasyikkan, selain mendapat cerita kita juga bisa belajar kembali. Saya sangat menghargai imajinasi yang dikembangkan oleh sang pengarang untuk membuat sejarah yang monoton menjadi lebih hidup dan berwarna. Namun akan lebih baik lagi jika kita juga membaca sejarah sebenarnya agar bisa memilih dan memilah agar tidak keliru fiksi dan fakta. Bagi para orang tua mungkin keren juga jika sesekali mendongengkan putra putri anda tentang sejarah negeri sendiri yang sebenarnya sangat kaya ini. Nilai-nilai kebaikan yang ditanam sedari kecil tentu akan sangat berharga bagi mereka di kemudia hari.
Apapun yang terjadi Gajah Mada adalah pahlawan, seluruh tindakan yang dilakukan adalah demi kejayaan negaranya, seluruh nafasnya, hidupnya. dari beberapa referensi disebutkan bahwa sang mahapatih ini tidak memiliki garwa agar dia bisa mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk Majapahit yang dia cintai. Masih adakah seorang negarawan seperti Gajah Mada di era sekarang, yang tidak sekedar gemar berebut jabatan, pangkat dan kekuasaan dengan cara apapun. Ah saya jadi ingat kutipan LKH di buku terakhirnya tentang sang Mahapatih
“Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa asal-usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui dimana kuburnya, tak diketahui anak turunannya. Biarlah Gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara”
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGalaumu itu Lebay Dék
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler