Pada berbagai kesempatan melihat dari dekat kehidupan masyarakat lokal Bunggu di Kab. Mamuju Utara di berbagai pemukiman seperti di Desa Pakava, Desa Wulai, Dusun Saluraya, Desa Ngovi di batas Sulawesi Barat - Sulawesi Tengah. Rupanya telah terjadi loncatan besar dalam pola kehidupan mereka. Semula orang-orang Bunggu dikenal sebagai manusia pohon, suka membuat rumah di pohon-pohon tinggi dan bersifat nomaden berdasarkan tingkat kebutuhan mereka pada alam. Ternyata sudah mampu bermukim tetap, berkebun tetap dan mampu memiliki sawit yang bisa dijual ke perusahaan besar sawit di sekitarnya.
Selain mampu merubah hidupnya ke arah yang lebih baik, masyarakat lokal bunggu juga bisa mengikuti gaya hidup masyarakat modern dengan memasuki dunia ekonomi dengan melibatkan diri pada kegiatan perdagangan, masuki ke dunia kerja dengan menjadi tukan batu atau menjadi buruh di perusahaan perkebunan sawit. Bahkan mereka mampu juga untuk mencapai posisi-posisi jabatan politik seperti kepala desa dan perangkat desa.
Meskipun telah memasuki dunia maju, masyarakat lokal Bunggu memiliki kecenderungan untuk tetap menggantungkan hidupnya pada alam. Lidah mereka masih doyan makan talas dan ketela pohon, walaupun nasi telah menjadi makanan utamanya. Dan pada satu sisi masyarakat lokal yang disebut-sebut sebagai bagian dari suku Kaili ini, masih ada kecenderungan untuk menempatkan dirinya sebagai orang-orang terbelakang dan perlu untuk dibantu oleh pemerintah maupun oleh pihak perusahan perkebunan sawit.
Pemikiran sebagai masyarakat terbelakang dan perlu dibantu ini menjadikan masyarakat lokal Bunggu alat eksploitasi yang empuk. Itu bisa dilakukan dalam lingkungan kelompoknya sendiri, atau oleh orang luar yang memanfaatkan “kemarginalan” itu untuk mencari keuntungan. Karena disebut-disebut sebagai kelompok orang-orang yang terpinggirkan, akibat perkembangan perkebunan besar sawit di Mamuju Utara. Menjadikan masyarakat lokal Bunggu memiliki nilai tawar yang kuat bagi orang-orang untuk melakukan upaya-upaya, “menjual,” mengatasnamakan, meminta konvensasi dan sebagainya, pada pihak perusahaan sawit.
Karena pihak perusahaan sawit tidak memiliki cara yang tepat untuk memahami masyarakat lokal Bunggu dan cenderung mencari aman sebab memang telah menjadi faktor penting hilangnya “habitat” Bunggu. Maka situasi ini berlansung terus menerus. Bunggu bisa menjadi senjata siap picu pelatuknya untuk menyerang pihak-pihak perkebunan besar sawit. Tentu dengan model, perampasan lahan, kemiskinan dan semacamnya.
Karena itu perlu memang catatan bahwa masyarakat Lokal Bunggu adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki ciri dan karakternya tersendiri. Bukan suku terasing, karena tidak teriosolir lagi sebab mampu berinteraksi dengan dunia luar. Karena itu bisa dijadikan alat propaganda dan ekspoloitasi, pihak-pihak luar. . Masyarakat lokal Bunggu juga mudah terpengaruh dan dibentuk opininya, sehingga mungkin diekploitasi dengan mudahnya.
Pada masa lalunya, masyarakat lokal Bunggu adalah masyarakat endemik -- hanya mampu hidup nyaman pada lingkungan dan ekosistemnya sendiri. Sehingga tidak bisa secara spontan "dipaksakan" menyerap program-program yang menggunakan teknologi, apalagi pola hidupnya -- hidup dari hasil hutan -- dirubah secara drastis.
Kehadiran perkebunan dengan HGU di seputaran lingkungan dan ekosistem masyarakat lokal Bunggu, hingga kini masih dianggap oleh mereka sebagai "perampasan" atas hak-hak mereka. Ini adalah pekerjaan rumah untuk merubah pola pikirnya, dengan mengembalikan gaya hidupnya. Juga perlu pemetaan dan demografi secara sosial bagi masyarakat lokal Bunggu, khususnya di lingkar HGU. Untuk menentukan model pembinaan dan pemberdayaan bagi mereka
Ikuti tulisan menarik Taufik AAS P lainnya di sini.