x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melihat Semua Kemungkinan

Di antara siang dan malam ada warna jingga yang membias kala senja, warna perpaduan merah dan kuning menjadi oranye.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Novel Vivian Zen

Kisah sebelumnya: Selendang Mama

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Sudah selesai. Kamu boleh pergi,” Bu Jono memasukkan formulirku ke dalam map biru.

“Apakah saya bisa dapat pekerjaan secepatnya?”

“Berdoa saja. Nanti kalau ada yang membutuhkan, kami hubungi kamu.”

“Terimakasih,” aku keluar tapi bukan untuk pergi, tapi menyelinap masuk ke kamar penampungan yang berada di sayap kiri.

Kamar itu berupa satu ruangan yang luas dengan banyak kasur yang digelar di lantai.

Banyak perempuan duduk lesehan di lantai. Mungkin calon tenaga kerja yang akan disalurkan agen ini. Aku membaur saja seolah-olah bagian dari mereka.

Beberapa dari mereka memperhatikanku, beberapa yang lain tak peduli dengan kedatanganku. Mereka itu ada yang wajahnya masih anak-anak, mungkin usianya baru belasan tahun. Ada juga yang setengah tua dan sudah tua.

“Aku baru melihatmu?” seorang ibu menyapaku.

“Saya saudaranya Suster Margi. Saya kehilangan kontaknya. Terakhir saya dengar ia bekerja lewat agen ini. Apa ibu mengenal Suster Margi?”

Ibu itu menggeleng.

“Pernah dengar nama Suster Margi?”

Ibu itu kembali menggeleng dan buru-buru pergi menjauh dariku.

Apa ada perintah untuk tutup mulut di sini?

Aku berjalan sewajarnya ke arah dapur. Suasananya sepi, tak ada orang. Aku menyelinap ke dalam ruang kerja Susanti. Kubuka lemari arsip dan mencari data pegawai di situ.

Suara pintu dibuka, cepat-cepat aku bersembunyi di belakang lemari besar. Sepertinya orang itu mengambil gelas yang ada di meja dan entah apa lagi. Dia keluar dan mematikan lampu.

Kunyalakan lampu dan meneruskan pencarianku. Kubongkar file-file yang ada. Data pegawai tahun ini. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah map dengan nama Sumargi tertera di sampulnya. Dan ya benar, ada foto Suster Margi di bagian dalam. Dan kudapatkan alamatnya, sebuah desa di Sukabumi.

Kurapikan file dan menutup lemari. Aku berjalan keluar dan bertabrakan dengan Bu Narti.

“Maaf saya kesasar. Saya cari toilet,” kataku cepat.

“Kamu kan yang siang tadi?” wajah Bu Narti penuh curiga.

“Iya. Saya mencari Suster Margi. Apakah Bu Narti tahu di mana dia sekarang?”

“Saya nggak tahu. Bukankah sudah kubilang tadi siang?’

“Oh saya lupa. Saya perlu sekali dengannya.”

Bu Narti membuka ponselnya, “Coba kamu hubungi Pak Marwan. Dia itu yang mengantar Margi ke sini,” Bu Narti menyebutkan sederet nomor telepon.

Aku mencatatnya dengan penuh harapan. “Terimakasih. Ini sangat berarti buat saya.”

Aku pergi dan sempat melihat wajah Bu Narti yang penuh tanda tanya. Saat melewati satpam yang duduk di depan gardunya, aku mengangguk dan tersenyum.

Di dalam mobil, kutekan nomor telepon Pak Marwan. Kukatakan siapa diriku dan meminta alamatnya. Pak Marwan tahu tentang mamaku dan mau memberikan alamatnya. Aku langsung meluncur ke alamat yang dia sebutkan itu.

Saat menyetir, ponselku bergetar, panggilan masuk dari Fedy.

“Kamu di mana jam segini? Zakia nanyain kamu terus.”

“Aku di Cawang, mau ketemu seseorang. Titip Zakia ya, Fedy. Kamu lagi di rumah ya?” = “Baru pulang dari studio. Siapa seseorang itu?”

“Nanti di rumah kuceritakan. Sudah ya, aku lagi nyetir.”

Sudah lewat jam delapan malam, jalanan masih padat merayap. Aku sampai di rumah Pak Marwan, hampir jam sepuluh.

Rumah Pak Marwan berada di perkampungan padat. Setelah bertanya beberapa kali pada orang-orang yang kutemui, aku bisa menemukan rumahnya. Rumah kecil di dalam gang sempit. Aku harus berjalan jauh setelah memarkirkan mobil di lapangan sepakbola.

“Sumargi itu saya nggak habis pikir. Dia langsung menghilang setelah tidak bekerja lagi di rumah Bu Mayang. Dua kali dia menelepon dan mengatakan takut, tapi tidak mau menyebutkan kenapa takut. Tidak mau cerita ada apa,” Pak Marwan membuang puntung rokok ke dalam asbak.

“Keluarganya di mana, Pak? Anak dan suaminya?”

“Mereka juga mencari-cari Sumargi.”

Jalan buntu.

Dengan lesu, aku pulang ke rumah Fedy untuk menjemput Zakia.

“Zakia udah tidur. Jangan dibangunin,” Fedy mencegahku.

“Duh Zakia gimana ya. Besok-besok kayaknya aku bakal sibuk banget dengan jam pulang tidak menentu,” aku mengeluh dan merebahkan badanku yang lelah di samping Zakia.

Fedy berdiri memandangku. “Kalau kamu belum ngantuk, aku pengin ngajak kamu ngobrol di teras. Tapi, sepertinya kamu capek banget ya.”

“Iya. Aku capek banget dan sedang bingung mikirin Zakia.”

“Biar dia tinggal di sini. Pak Yono yang antar jemput dia.”

“Mama gimana?”

“Biar Pak Yono yang atur. Kan gak tiap hari mama pergi.”

“Berarti satu masalah terpecahkan. Sekarang aku bisa konsentrasi dengan pekerjaanku.”

“Ya udah kamu tidur. Aku mau pergi.”

“Jam segini? Udah jam sebelas lebih. Mau ke mana?”

“Peter menunggu di kafe. Ada yang mau diomongin.”

“Apa nggak bisa besok?”

“Dia lagi berat kayaknya. Kasihan. Sebentar saja kok,” Fedy memakai jaket yang sejak tadi dipegangnya.

Aku melepasnya dengan berat.

Tapi, aku merasa nyaman tinggal di rumah Fedy. Baru kali ini aku menginap di rumahnya. Paviliun ini disiapkan untukku dan Fedy setelah menikah nanti. Dan sekarang aku sudah menempatinya.

Aku mau mandi supaya segar, sholat kemudian tidur. Usai sholat, aku mengirim doa untuk papa dan mama. Sebenarnya setiap saat begitu aku ingat mereka, aku otomatis mendoakannya. Dan berdoa untuk mereka usai sholat, terasa lebih khusus dan khusyuk. Ya Tuhan, berikan tempat terbaik untuk papa dan mama di sana. Kuatkan aku untuk bisa hidup tanpa mereka. Terimakasih Engkau telah beri kesempatan, kami bersama selama ini. Walaupun dalam perjalanannya kadang ada kerikil-kerikil kecil, pada akhirnya hanya kebaikan papa dan mama yang aku bisa ingat.

Setelah berdoa, aku merasa damai. Oh ya Tuhan, terimakasih telah melindungi Zakia. Hingga walaupun dia menjadi korban penculikan, dia tidak mengalami trauma yang mengharuskannya berhubungan dengan psikolog. Kupikir Zakia lebih kuat dari yang kukira. Mungkin trauma terberat Zakia adalah ketika orangua dan kakaknya digulung tsunami. Setelah melewati masa kritis itu, Zakia menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

***

Aku, Akbar dan Romi bertemu di sebuah kafe. Kami membicarakan skenario film yang berantakan dan bagaimana cara memperbaikinya. Segala hal terkait teknis pekerjaan.

“Maaf kemarin pertemuan batal, karena harus ada yang kulakukan,” aku membuka pembicaraan.

“Kamu sudah menjelaskannya di telepon,” Akbar menyela.

“Aku merasa perlu untuk mengulanginya lagi. Dan, khusus pada Akbar, aku minta maaf atas sedikit kesalahpahaman kemarin.”

“Jangan dipikirkan. Aku sudah melupakannya,” suara Akbar melunak, tidak seperti waktu itu.

“Salah paham apa? Aku ketinggalan informasi rupanya,” Romi tampak sangat ingin tahu.

Lalu kujelaskan apa yang terjadi. Semuanya. Aku merasa harus terbuka dengan mereka. Tim ini harus solid. Dan kutekankan skenario tidak boleh melenceng dari outline yang sudah dibuat di awal. Outline yang sudah disetujui Pak Jimmy.

“Vivian, kamu terlalu kaku. Kita perlu melakukan improvisasi,” Akbar mencoba mempengaruhiku.

“Improvasi harus membuat skenario lebih bagus, bukan lebih buruk dan terkesan asal-asalan.”

“Kamu memang kaku.”

“Simpan pendapat pribadimu, Akbar,” kubuka file di laptop, “Oh ya Romi, habis ini aku ke Sukabumi, kamu bisa ikut?”

“Bisa,” Romi menjawab cepat.

“Thanks, Rom.”

Kubagi tugas dalam tiga bagian. Romi melakukan riset di bursa efek, Akbar di perbankan, dan aku di advertising.

Kujelaskan apa yang aku kerjakan. Dan mereka menjelaskan apa yang akan mereka kerjakan.

Meeting selesai. Aku dan Romi meluncur ke Sukabumi.

Sepanjang jalan Romi bercerita tentang murid-muridnya di kampus, juga situasi politik terkini. Juga tentang kegagalannya dalam pemilihan umum. Dia merasa tidak harus frustasi karena gagal jadi anggota DPR.

Romi memang tidak terlalu berambisi. Karena dorongan teman-teman yang melihat potensinya untuk menjadi wakil rakyat, dia mau maju mencalonkan diri. Tapi Romi kalah populer dan tidak memiliki banyak dana. Ia bercerita banyak calon anggota legislatif mengeluarkan uang dalam jumlah gila-gilaan untuk menyuap sana-sini.

Tapi kupikir, dalam pemilihan umum secara langsung, rakyat pada umumnya sudah pintar. Dan satu lagi, menurut dugaanku, orang kebanyakan tidak mengenal betul siapa yang akan dipilihnya, jadi kebanyakan memilih lambang partai politik saja. Sementara Romi bernaung di partai politik kecil yang dari pemilu ke pemilu cuma mendapatkan suara sedikit.

“Kamu mau maju lagi lima tahun depan?” aku penasaran.

“Aku sih dibawa santai. Kalau ada kesempatan ya ayo, kalau enggak ya tetap di kampus. Habitatku ya di kampus. Untuk berbuat sesuatu buat masyarakat, DPR bukan satu-satunya jalan.”

“Kamu benar-benar berniat untuk berbuat sesuatu buat masyarakat?”

“Ya itu niat. Motif lain, gaji anggota DPR kan besar dibanding pendapatan dari kampus.”

“dBanyak orang kecewa dengan kinerja anggota DPR. Sekarang justru pemerintah yang jadi bintang dan kelihatan kerjanya. DPR malah kesannya hanya mengganggu. Cari-cari kesalahan agar tampak sedang bekerja.”

“Hahaha… ya gitu lah.”

“Beruntung kamu gak terpilih. Kalau terpilih, mungkin kamu jadi sasaran caci-maki juga.”

“Hahaha…,” Romi yang sedang menyetir, terbahak-bahak sampai badannya terguncang-guncang.

“Kita bikin perusahaan yuk. Kita bertiga, aku, kamu dan Akbar.”

“Hayuk aja.”

“Nanti kubuat konsepnya.”

“Siippp.”

Setelah melalui jalan panjang, kemudian memasuki kawasan pedesaan yang berliku, dan mendaki jalanan tanjakan, kami sampai di desa Sumargi. Rumahnya berada di pegunungan. Jalannya sempit dan tidak bisa dilalui mobil. Kami naik ojek untuk mencapai rumahnya.

Beruntung, suami Margi yang bernama Anto sedang ada di rumah. Anto memakai sarung dan menggendong anak balitanya yang sedang demam. Dengan sabar, Anto menyuapkan bubur pada anaknya itu.

“Kalau lagi sakit, rewel, terus, maunya digendong,” cerita Anto tentang anaknya itu.

Di depan rumahnya, banyak anak kecil sedang bermain kelereng.

Anto menikahi Sumargi yang janda dengan dua anak. Dengan Anto ini, Sumargi punya satu anak usia tiga tahun, namanya Talita. Dia menangis dan tidak mau makan.

Rumah Anto terbuat dari papan kayu. Kursinya dibuat dari bambu.

Anto menidurkan Talita di atas tempat tidur yang dilapisi tikar. Talita berhenti menangis.

“Saya sudah bertemu dengan Pak Marwan. Katanya Pak Anto juga mencari-cari Suster Margi. Tapi saya penasaran, itulah mengapa saya tetap saja ke sini,” ucapku.

“Margi berada di suatu tempat yang saya tidak bisa ceritakan.”

“Tolonglah, Pak. Demi ibu saya.”

“Kalau saya menolong kamu, Margi bisa terancam jiwanya.”

“Ada orang yang sudah dipenjara karena dituduh membunuh mama saya. Suster Margi saksi kunci. Saya kenal polisi baik. Suster Margi akan dilindungi.”

“Margi masih di Jakarta. Dia mengirim uang yang cukup lumayan, berkali lipat dari gajinya sebagai suster. Margi sudah menerima pemberian orang yang menyuapnya untuk tutup mulut. Posisi saya serba salah.”

“Saya menghargai kejujuran Pak Anto.”

“Sebenarnya saya dalam keadaan gelisah. Sangat mengkhawatirkan Margi. Dia pasti punya alasan kenapa harus bersembunyi.”

“Margi cerita apa saja, Pak?”

“Dia ada di rumah Bu Mayang waktu pembunuhan itu terjadi. Seseorang memberinya uang dan menyuruhnya pergi. Katanya, jangan sampai polisi menemukannya.”

“Beri tahu di mana Suster Margi. Tolong saya,” aku memohon.

Setelah diam cukup lama, Anto memberikan sebuah alamat padaku.

“Terimakasih, Pak Anto. Ini sangat berarti buat saya.”

Aku dan Romi pamit dan langsung kembali ke Jakarta.

“Mudah. Terlalu mudah,” kata Romi saat berjalan menuju tukang ojek yang menunggu kami.

“Maksudmu?”

“Kalau benar cerita Anto, kenapa pembunuh itu dengan mudahnya melepas Margi, dan bahkan memberinya uang? Tidak masuk akal. Coba pikirkan. Kalau aku pembunuhnya, aku akan habisi Margi sekalian. Karena dia saksi kunci.”

“Kita akan tahu jawabannya setelah bertemu Suster Margi.”

“Dan kamu pikir polisi bodoh? Kurasa polisi sudah menginterogasinya. Apa kamu sudah benar-benar mempelajari kasus ini, Vivian? Kemarin kamu benar-benar tidak mau tahu kasus ini, dan tiba-tiba seperti ini. Bisa jadi kita buang-buang waktu saja.”

“Aku tidak bisa menghindar. Aku harus terlibat dalam pengungkapan kasus ini.”

“Aku tidak yakin.”

“Kamu boleh meragukanku, tapi tak bisa menghentikanku.”

“Kenapa kamu tidak bicara dengan polisi?”

“Kapten Swasono dipindahtugaskan. Aku tidak percaya pada polisi yang menangani kasus mama ini.”

“Apa kamu mengambil keuntungan dari pengungkapan kasus ini untuk skenario film?”

“Kalau kamu melihat dari sudut pandang itu, ya itulah yang kamu dapatkan. Kuberi tahu, ini panggilan dari dalam. Seberapa kuat aku menghindar kenyataannya inilah yang aku harus hadapi. Aku tidak bisa diam melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada.”

“Kemana pun kamu pergi untuk kasus ini, beri tahu aku.”

“Benar Romi? Kamu kan harus mengajar?’

“Aku akan cuti.”

“Aku merasa sangat beruntung.”

“Ini menyangkut mamamu. Kupikir kamu sedang emosional walaupun kamu tidak mau mengakuinya.”

“Bagaimana aku harus berterima kasih?”

“Tak perlu berterimakasih. Ini panggilan dari dalam.”

“Hahaha…,” aku merasa lega.

Dua tukang ojek menyalakan mesin motor saat kami sudah dekat.

Dalam hati aku berharap, ucapan Anto adalah benar, sehingga aku bisa bertemu Suster Margi dan secepatnya mendapat jawaban atas pertanyaan yang mengganggu pikiran.

Ponselku bergetar, panggilan masuk dari Gathan.

“Vivian, Fedy sudah bercerita. Kuucapkan terimakasih banyak Sungguh aku berterimakasih padamu.”

“Semoga Gathan. Kita cari kebenaran dengan cara kita masing-masing.”

“Aku bersedia menemanimu untuk mengungkap kasus ini.”

“Maaf, aku belum percaya sepenuhnya padamu. Aku perlu menjaga jarak dengan kamu, juga ayahmu. Berada di luar akan membantuku untuk obyektif. Aku harus melihat semua kemungkinan.”

“Oke. Aku bisa mengerti.”

“Semoga memang bukan ayahmu yang melakukannya.”

“Minggu depan ayahku sidang. Apa kamu akan datang?”

“Belum tahu. Lihat nanti aja.”

“Sekali lagi terimakasih Vivian. Aku bersedia sembah sujud di hadapanmu agar kamu mempercayai ayahku.”

“Kamu tidak perlu melakukan itu.”

***

Foto ilustrasi: http://www.tsu.co/dailypicts

Bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler