Luka yang datang hampir bersamaan itu membekas sepertinya, sehingga saat diajak mengingat, Ishak Idris selalu memulai dengan cerita parang. “Sebelum tangan ini diborgol, parang ini akan lebih dulu melukai kalian!” ancam Ishak Idris atau Yahwa. Itu kalimatnya tiga puluh tahun lalu kira-kira, kental amarah. Yahwa terjaring patroli kawasan cagar gara-gara memancing ikan di laut di depan rumahnya, yang termasuk pelanggaran waktu itu. Era ‘80 menjadi masa sulit penduduk Sabang, lebih-lebih nelayan wilayah pantai Utara-Barat, seperti Yahwa.
Lima belas tahun, Sabang kota pelabuhan, bahkan lebih lama dari itu jika jaman pra merdeka masuk perhitungan. Kehidupan tergolong gampang, sampai 1985 pelabuhan bebas internasional Sabang ditutup tiba-tiba. Para pencari nafkah, berbagai sektor, di pelabuhan dagang berstatus bebas bea dan pajak skala internasional itu, seketika pindah. Sabang ditinggalkan, pamor Sabang meredup, ekonomi Sabang hampir lumpuh.
Beriringan dengan eksodus besar, suatu wilayah bagian Barat Laut ditetapkan menjadi kawasan cagar diikuti larangan mengambil hasil laut secara total. Warga tidak bisa lagi mengambil hasil laut meskipun itu jelas pekarangan mereka. “Seperti dipenjara,” ungkap Yahwa juga banyak nelayan tentang perasaan mereka awal penetapan cagar. Perjalanan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Rubiah, kawasan cagar laut pertama di Sabang, yang saya ceritakan baru saja, dimulai perlawanan.
Orang-orang Iboih tidak terima, lalu mereka, yang berani, melawan dengan tetap mengambil hasil laut di dalam cagar. Benturan-benturan terjadi antara petugas TWAL pelaksana patroli kawasan dengan masyarakat lokal atau nelayan Gampoeng Iboih. Yahwa sebagai Panglima Laot Iboih masa itu akhirnya menjadi tokoh sentral. Panglima Laot adalah pemimpin atau tetua para nelayan di adat pesisir. Dalam kehidupan Aceh, yang dekat adat, tatanan ini masih berlaku.
Tapi, episode kelam itu dulu. Seiring waktu, larangan total pengambilan hasil laut di kawasan TWAL Rubiah melunak. Ilmu pengelolaan sumber daya alam berkembang. Perkembangan itu akhirnya memungkinkan masyarakat adat, seperti Yahwa, berada dalam sistem kawasan cagar. Kesempatan terlibat sekaligus berarti pengakuan identitas sehingga tidak saja bisa mengambil hasil laut kembali, tetapi istiadat juga berjalan. Hari ini, di beberapa tempat, keduanya saling menguatkan. Sabang sudah punya dua kawasan cagar laut sekarang. Selain TWAL Rubiah, ada KKLD atau Kawasan Konservasi Laut Daerah di pantai bagian Timur.
Sumber foto : wexphotographic.com
Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.