x

Iklan

Ni Wayan Idayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menimbang Ulang Kho Ping Hoo

Kho Ping Hoo yang merupakan keturunan Tionghoa bahkan dianggap mampu menjembatani transisi serta lahirnya penulis-penulis modern era berikutnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menimbang Ulang Kho Ping Hoo

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia boleh jadi nama Kho Ping Hoo tidaklah setenar sastrawan-sastrawan angkatan Balai Pustaka atau angkatan lainnya, namun sumbangsihnya bagi perkembangan penulis-penulis modern tak dapat ditepiskan adanya. Melalui gaya bertutur yang sederhana, komunikatif, dengan bahasa Melayu Pasar, karya-karya Kho Ping Hoo justru mampu masuk serta merasuk ke ruang-ruang pembaca yang lebih luas.

Di saat yang sama, Kho Ping Hoo boleh jadi tengah melakukan perlawanan terhadap dominasi bahasa Melayu Tinggi yang biasa dipergunakan dalam terbitan-terbitan Balai Pustaka, yang notabene masih merupakan produk kolonial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan upayanya “melawan” dominasi bahasa tersebut, Kho Ping Hoo yang merupakan keturunan Tionghoa bahkan dianggap mampu menjembatani transisi serta lahirnya penulis-penulis modern era berikutnya yang juga berasal dari turunan Tionghoa, seperti Marga T, Mira W. dan sebagainya.

Sosok Kho Ping Hoo –yang bernama lengkap Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, bagi banyak orang, terutama generasi era 1960-an lebih dikenal dengan cerita-cerita silat atau cersilnya. Ia bahkan dianggap sebagai penulis cersil Indonesia yang paling produktif sepanjang 30 tahun masa berkaryanya.

Pembaca buku-buku Kho Ping Hoo pada masanya pastilah tak asing dengan Bu Kek Siansu, Suling Naga, Dewi Sungai Kuning, Sepasang Rajawali,  Pedang Kayu Harum, Pendekar Sakti, dan lain sebagainya.

Namun, tak jarang pula yang salah menerka, mengira Asmaraman Kho Ping Hoo ini adalah seorang komikus atau penulis cerita komik. Padahal, Kho Ping Hoo adalah penulis novel atau cerita-cerita lepas. Oleh ilustrator-ilustrator komik seperti Yanes, Sriwidjono, dan lain-lain, sering kali cerita-ceritanya yang kebanyakan tentang dunia persilatan tersebut diadaptasi ke dalam bentuk komik.

Lahir di Sragen, 17 Agustus 1926, dari keluarga turunan Tionghoa-Jawa, Kho Ping Hoo boleh dikata menjalani masa muda yang keras. Mengandaikan hidupnya tanpa cita-cita, ia yang hanya tamatan HIS itu telah mengenyam berbagai pengalaman pahit getir, melakoni berbagai pekerjaan, buruh pabrik rokok, hingga tukang becak, sebelum akhirnya mulai menulis pertama kali pada tahun 1952. Maka dapatlah dikatakan bahwa muasal awal ia menjadi penulis, tak lain karena tuntutan hidup. Mulanya ia hanya menulis kisah-kisah roman biasa, kemudian lagi-lagi karena keterpaksaan ia mau tak mau harus mengarang cerita silat. Cerita silat pertamanya berjudul Pedang Pusaka Naga Putih.

Semenjak itu mulailah novel-novel silatnya bermunculan dan mengalir bak air. Tercatat hingga kini, Kho Ping Hoo telah menulis tak kurang dari 400 judul, masing-masing judul terdiri dari puluhan jilid dan seri.

Kho Ping Hoo, kendati bukan termasuk jajaran sastrawan Indonesia yang dikenalkan dalam buku-buku sekolah, atau yang dianggap mewakili dunia susastra Indonesia, namun cerita-cerita silatnya yang bergenre sastra pada dasawarsa 50-an ketika itu seakan mengisi kekosongan sastra pribumi yang cenderung serius. Kisah-kisah silat yang sebagian besar mengambil setting di negeri China daratan tersebut, selain lihai memainkan jurus  dan petuah kata filsafat, juga memuat roman percintaaan yang kuasa merangsang imajinasi pembaca.  Bahkan, tak hanya golongan awam yang menjadi penggemar cersil Kho Ping Hoo, tokoh-toko seperti BJ. Habibie, novelis Ashadi Siregar, hingga Emha Ainun Najib adalah penikmat karangannya.

Maka, tak terelakkan pula bila Kho Ping Hoo sedikit banyak turut memberi pengaruh dalam perkembangan alam pikir, bahkan mungkin juga orientasi hidup generasi muda Indonesia pada itu.

Bila menyimak garis waktunya dan totalitas Kho Ping Hoo dalam berkarya, maka laiklah penulis peranakan Tionghoa-Jawa ini disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan besar Indonesia lainnya. Terlebih melihat capaian kreatifnya yang terbukti dengan banyaknya penggemar cerita-cerita silat Kho Ping Hoo yang berasal dari berbagai kalangan dan masih terus berlangsung hingga kini.

Kho Ping Hoo, dengan kehadiran karya-karyanya telah menjadi fanatisme dan legenda tersendiri bagi penggemarnya. Kisahan-kisahannya senantiasa hidup dalam imaji dan benak pembacanya, bahkan hingga belasan tahun kemudian pasca kepulangannya pada 22 Juli 1994.

Sebagai penulis cerita silat, Kho Ping Hoo terbukti mampu menumbuhkan budaya baca yang baik dan membumi bagi generasi-generasi jaman itu. Di samping capaian karyanya yang dinikmati khalayak luas, tulisan-tulisan Kho Ping Hoo adalah yang terbilang orisinil, dibandingkan penulis-penulis cersil lain yang kebanyakan sebatas menerjemahkan cerita-cerita asli dari negeri Tiongkok. Kho Ping Hoo, kendati pun belum pernah mengalami sendiri petualangan di daratan China tersebut, namun kuasa mengkonstruksi peristiwa-peristiwa dunia persilatan Tiongkok, yang seolah tak berjarak dengan imaji pembaca di tanah Jawa. Lebih-lebih dengan bumbu-bumbu percintaan dan erotisme yang seakan-akan telah menjadi ciri serta daya tarik tersendiri dalam cerita-ceritanya.

Maka, pentinglah bagi generasi kini untuk menimbang ulang peran dan sosok Kho Ping Hoo, dan lebih jauh lagi masyarakat peranakan Tionghoa dalam sejarah serta dinamika ke-Indonesia-an kita.  

Ikuti tulisan menarik Ni Wayan Idayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB