x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepotong Sore, Setangkup Roti, dan Secangkir Kopi Es

Pengunjung kedai Roti Gempol datang dari generasi yang berbeda-beda. Datang silih berganti, berbagi menikmati sore.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gempol adalah sepotong tempat yang agak tersembunyi di tengah kota Bandung. Tidak jauh dari kantor gubernur Jawa Barat, kita bisa mencapai Gempol lewat jalan sedikit memutar. Kendati ada sebutan Gempol Kulon dan Gempol Wetan, area keramaian kuliner di tempat ini hanyalah sebuah gang yang membentuk lingkaran. Keterbasan lebar jalan membuat arus lalu-lintas dibuat satu arah dan mesti perlahan, sebab banyak anak-anak bermain di jalan.

Meski begitu, Gempol menawarkan daya tarik tersendiri—kuliner, khususnya, yang mengundang orang untuk datang ke sana. Setidaknya ada dua jenis kuliner yang menjadi magnet, yakni kupat tahu di Gempol Kulon dan roti bakar di Gempol Wetan.

Ketika sore hari melintasi jalan dekat Gedung Sate, kantor gubernur, saya teringat Gempol dan memilih salah satu dari pilihan tadi, yakni roti bakar. Saya bayangkan, menyantap roti bakar di sore hari akan menyisipkan sesuatu yang enak ke dalam perut. Bahkan, bukan hanya perut, tapi juga memori.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah memasuki ‘pintu gerbang’ Gempol dan memutar jalan setengah melingkar satu arah, sampailah ke sebuah kedai kecil—inilah kedai Roti Gempol yang mashur itu dan sudah berdiri sejak 1958 (woww, kebayang capeknya berdiri bertahun-tahun).

Kedai ini tak begitu besar, kira-kira berukuran 4x5 meter persegi, dan karena itu tak sanggup menampung lebih dari sepuluh pengunjung secara bersamaan tanpa terasa sumpek. Ada lemari roti dan selai, kulkas, tempat pembakaran roti, sampai meja kasir dan mesinnya yang juga memerlukan tempat.

Kursi jadul ditata berjajar merapat ke dinding dengan meja bulat berukuran kecil. Kursi dan meja itu terlihat sudah berusia, tapi barangkali di situ tersimpan sejarah kedai ini. Pengunjungnya datang dari generasi yang berbeda-beda. Datang silih berganti, berbagi menikmati sore.

Saya memesan roti gandum bakar komplit perseorangan—sebab ada pilihan ‘ririungan’ (buat bareng-bareng). Roti bakar ini berisi daging sapi asap, telor dadar, dan keju. Ada pula pilihan isi selai—stroberi, kacang, cokelat. Saya juga memesan secangkir kopi es untuk mendinginkan sore yang masih terasa hangat di musim kemarau ini.

Sore itu,  sebenarnya saya ingin merasakan nikmatnya roti havermut, tapi sudah habis. “Kami hanya membuat sedikit,” ujar penjaga kedai. “Jika datang agak siang, mungkin masih kebagian.” Namun sepotong roti gandum itu rupanya sudah cukup untuk mengisi ruang kosong di perut ini--apresiasi pula bagi 'orang dapur' yang telah menciptakan roti yang sanggup memanjakan lidah. Sore yang hangat terasa lebih sejuk karena siraman kopi es yang diseduh tanpa mesin espresso.

Dalam satu kali gigitan sudah terasa, roti bakar gandum ini renyah di luar dan lembut di dalam—apakah ini yang membedakannya dari roti bakar di tempat-tempat lain, yang memikat banyak orang untuk bertandang kemari. Atau mungkin pula karena Roti Gempol mengusung sejarah masa lampau ke sore ini. Atau, bagi saya, mungkin pula karena sejarah masa lampau diri saya mengalir kembali lewat kedai ini. Kadang-kadang kita memang membutuhkan suatu waktu dan suatu tempat untuk menemukan kembali masa lampau kita. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB