x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Puntung Rokok dan Destinasi Wisata Pantai

Puntung Rokok adalah salah satu masalah utama wisata pantai di Indonesia. Ia membuat kotor, menjijikkan, dan meracuni biota pantai dan laut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh menyenangkan bisa mendatangi lokasi destinasi wisata yang relatif baru. Apalagi bila sebelum menjadi destinasi wisata kita sempat mengunjungi tempat itu, dan yakin bahwa keindahan alam di sana suatu saat akan membuatnya menjadi destinasi wisata yang berpotensi berkembang pesat.

Begitulah yang saya alami di akhir minggu lalu. Saya berkesempatan untuk mendatangi kembali Pantai Pulau Merah di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Lebih dari 5 tahun yang lampau, saya sendirian menyusuri pantai itu, selama beberapa jam mengagumi pasir yang bersih, air yang jernih, dan deburan ombak mendatangi pantai. Ombaknya yang lumayan tinggi membuat saya berpikir bahwa suatu saat pantai ini tentu bisa menjadi tempat para peselancar berkumpul.

Jadi, ketika terbaca di depan gerbang masuk area itu: “International Surfing Championship 25-27 September 2015,” senyum benar-benar tak tertahankan. Benar! Tempat yang beberapa tahun lalu bisa dikatakan tak dikenal sama sekali, akhir bulan ini akan menjadi lokasi pertandingan para peselancar mancanegara. Sebuah kemajuan yang patut disyukuri, terutama karena masyarakat setempat tampak jelas telah mendapatkan manfaat kesejahteraan dari kunjungan wisatawan domestik maupun asing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi, senyum itu segera surut begitu saya tiba di bibir pantai. Di tempat pertemuan air laut dengan daratan itu jelas sekali terlihat bakal masalah yang selama ini menghantui destinasi wisata pantai di negeri ini: puntung rokok, juga sampah (kebanyakan) plastik. Pantai  yang dahulu membuat saya kegirangan selama berjam-jam menyusurinya, kini terancam kehilangan pesonanya.

Tentu, sebagai destinasi baru tempat itu belum sekotor Pantai Sawarna di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pantai ini saya kunjungi beberapa bulan lalu, dan hanya 'asbak raksasa' yang pantas jadi deskripsinya. Tentu, sampah plastik juga banyak terlihat, namun lantaran jauh lebuh mudah dibersihkan, sampah-sampah itu terlihat dikumpulkan di beberapa tempat untuk kemudian (sayangnya) dibakar. Sementara, puntung-puntung rokok benar-benar teraduk dengan pasir yang sebetulnya sangat indah. Putih-bersihnya Pantai Sawarna telah terkenal bahkan sebelum negeri kita merdeka.

Puntung rokok datang kebanyakan dari para wisatawan domestik, terutama lelaki. Dua dari tiga lelaki Indonesia dewasa adalah perokok, dan mereka punya masalah yang akut: mereka membuang (abu dan) puntung rokok selalu secara instan, begitu api rokok mereka telah hampir membakar filternya atau jari mereka. Gerakan mereka sedemikian otomatisnya, sehingga hampir tak pernah kita lihat perokok yang celingukan mencari tempat sampah atau tempat khusus puntung. Kecuali minoritas perokok yang memang sengaja merokok di tempat-tempat yang disediakan khusus, majoritas perokok memang memperlakukan dunia sebagai asbak raksasa.

Masalah ini bukan saja terjadi di Indonesia, tentu saja. Menurut perkirakan terakhir, dari 6 triliun rokok yang dikonsumsi, sejumlah 4,5 triliun dibuang sembarangan dan berakhir meracuni alam (Gould, 2014). Itu berarti 75% dari seluruh puntung rokok! Masalahnya, selulosa asetat yang menjadi bahan utama pembuatan filter rokok itu tidaklah biodegradable, dan kandungan racunnya tetaplah sangat tinggi. Penelitian saksama telah membuktikan bahwa kandungan racun dalam satu filter rokok yang diencerkan dalam satu liter air bisa membunuh ikan air tawar maupun laut (Slaughter, et al., 2014).

Sementara, karena sifat filter yang tidak biodegradable tersebut, maka puntung rokok akan terus saja berada di alam hingga waktu yg sangat lama, kecuali kalau kemudian dengan sengaja diambil. Berapa lama? Tergantung paparan terhadap cahaya matahari, karena sifatnya yang photodegradable. Kalau terpapar cahaya, bisa terurai menjadi microplastics dan microfibre yang tampak tidak seperti puntung lagi tapi tetap menjadi pencemar. Bila tidak terkena cahaya matahari secara optimal, maka puntung akan terus menjadi seperti bentuknya hingga waktu yang sangat lama.

Puntung rokok yang mengotori pantai-pantai destinasi wisata sangatlah mencemaskan. Lembaga Ocean Conservancy yang memiliki International Coastal Cleanup Initiative mencatat bahwa puntung rokok adalah sampah yang paling banyak dikumpulkan di pantai-pantai seluruh dunia. Laporan lembaga tersebut (Ocean Conservancy, 2012) menyatakan bahwa puntung merupakan 19% dari total item sampah yang dikumpulkan, diikuti oleh bungkus makanan dan botol plastik (masing-masing 10%), lalu kantung plastik (9%).

Ketika saya berada di Pantai Sawarna, sepasang bule dengan logat Australia yang kental berdialog dengan wajah yang masam. Mereka tidak sedang bertengkar, melainkan marah dengan kondisi pantai yang jorok. ''Ombaknya memang bagus, tapi pantainya menjijikkan,'' begitu kata-kata si perempuan yang saya ingat betul. Sementara si lelaki memegang erat tangannya, menunjukkan wajah kesal dan menyesal. Mungkin ia yang empunya ide untuk berwisata ke situ. Jelas, mereka tak akan menghabiskan waktu yang lama di situ. Mungkin juga mereka langsung balik badan dan tak pernah akan kembali lagi.

Pantai Pulau Merah memang belum separah Sawarna. Masih jauh. Namun tanda-tandanya jelas terlihat bahwa pantai itu akan mengalami masalah serupa. Ketika saya menyempatkan lagi menikmati air laut di keesokan paginya, sampah-sampah yang terbawa arus tampak di bibir pantai. Tentu, banyak juga puntung di situ. Saya berpikir, apakah ini pemandangan yang akan disaksikan para peselancar mancanegara yang akan berdatangan ke situ di akhir bulan ini?

Novotny dan Slaughter (2014) telah mengajukan beragam rekomendasi agar pantai-pantai di seluruh dunia tak lagi berhadapan dengan masalah ini, mulai dari meningkatkan kesadaran publik, memberlakukan extended producer responsibility (berarti: perusahaan rokok harus bertanggung jawab membersihkan sampah puntung), menerapkan deposit atau denda bila perusahaan rokok gagal memenuhi tanggung jawabnya, hingga melarang produk rokok sepenuhnya sampai industri bisa menemukan formula yang benar-benar tidak membahayakan lingkungan. Kita bisa belajar banyak dari berbagai rekomendasi itu, lalu menimbang mana yang paling sesuai dengan konteks Indonesia atau bahkan lokal. Tanpa pemikiran mendalam serta tindakan komprehensif, pantai-pantai kita akan kehilangan daya tariknya. Pantai bak asbak dan tanpa biota khasnya—karena mati keracunan—tak akan menarik. Tentu rupiah dan dolar tak akan mampir dalam jumlah cukup banyak ke seluruh destinasi wisata pantai kita, lantaran hanya perokok jorok saja yang mungkin mau mampir. Dan ini bukanlah masa depan yang kita semua inginkan.

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu