Lutung yang Kian Murung dan Kera yang Makin Sengsara

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Muara Bendera sebagai kawasan konservasi lutung jawa kian mengkhawatirkan, populasi lutung semakin menyusut dan ekosistem semakin rusak.

 

Mungkin karena saya orang dengan pengetahuan geografis yang terseok-seok sehingga ketika ada ajakan untuk melihat lutung jawa di bekasi saya pun hanya bisa terbengong-bengong. Adalah kampung Muara Bendera yang merupakan bagian dari kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, sebuah pulau kecil di hilir sungai citarum dan langsung berbatasan dengan  laut jawa. Muara Bendera dijadikan daerah konservasi bagi satwa endemis lutung jawa(Trancypitecus auratus). Namun sebenarnya tidak hanya lutung jawa saja, ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan juga burung hantu (Ninox scutulata) yang bersama-sama menghuni daerah seluas kisaran  lima hektare ini.

Bukan hal yang mudah  untuk bisa mencapai daerah ini, dari bekasi kami mesti berjuang menyusuri jalan dengan kondisi yang lumayan buruk agar bisa sampai di kecamatan muara gembong , musim kemarau menjadikan jalan tanah berbatu kering dan berdebu. Dibutuhkan kesabaran ekstra untuk mengemudi di tengah kondisi jalanan dan cuaca yang tidak bersahabat.

Dua jam perjalanan darat terlalui, kami pun tiba di kantor kecamatan Muara Gembong, dari sana petualangan dilanjutkan menggunakan perahu kecil bermesin yang bisa menampung kira-kira 20 orang. Cuaca yang terik karena waktu tepat menunjukkan pukul 12.00 siang tak membuat semangat menjadi surut, diselingi obrolan dan guyon sana-sini sepanjang perjalanan menyusuri sunga citarum menjadikan dua jam terasa singkat.

Dengan meniti jembatan bambu sederhana kami masuk ke kawasan konservasi muara bendera, dikelilingi pepohonan bakau dan angin sepoi khas pesisir membuat kami seolah lupa bahwa ini masih di wilayah bekasi. Belum juga kaki kami menjejak sempurna ke daratan, serombongan monyet ekor panjang sudah bergelantungan diatas pepohonan seolah menyambut kedatangan. Sebagian dari kami mengambil gambar mereka dari balik lensa kamera, dan yang lainnya takjub melihat polah mereka yang mahir sekali berloncatan dari dahan ke dahan.

Sesekali kepala mendongak ke atas dan menajamkan pandangan, dimanakah para lutung jawa berada, karena menurut informasi yang kami terima populasi lutung jawa semakin susut dari waktu ke waktu, selain kemarau panjang yang menyebabkan air sulit didapat dan sumber makanan terbatas , juga ada factor utama kepunahan lutung jawa yaitu ulah manusia yang terus menerus memburu keberadaan mereka. Dengan dalih daging otak dan jeroannya dapat digunakan sebagai obat penyakit tertentu.

Setelah beberapa waktu akhirnya kami dapat juga melihat keluarga lutung jawa dari kejauhan, terlihat sekitar 10 ekor lutung berwarna hitam dengan ekornya yang panjang menjuntai sedang bercengkerama diatas pepohonan. Senang sekaligus sedih rasanya melihat mereka. Senang karena akhirnya bisa juga melihat satwa endemik pulau ini, tapi juga sedih melihat populasi mereka yang terus menurun secara signifikan.

Lutung Jawa ekor panjang ditetapkan sebagai Satwa yang dilindungi Negara berdasarkan Keputusan Menteri kehutanan dan perkebunan nomor 733/Kpts-11/1999. Habitat alami Lutung Jawa adalah di Banten, Jawa Barat ,Jawa timur, Bali, Lombok dan pulau Sempu. Secara umum Lutung Jawa hidup berkelompok dengan anggota sekitar  30 ekor per kelompoknya, mereka biasa  dijumpai pada waktu pagi dan sore hari saat mencari makan di sekitar lahan mangrove. Lutung jawa biasa mengkonsumsi buah pidada dan kepiting, menurut cerita cara lutung menangkap kepiting sangat unik yaitu dengan menggunakan ekor sebagai kail, begitu kepiting mencapit ekor, maka lutung akan mengibaskan ekor dan menghantamkan kepiting ke pepohonan bakau.

Sebelum pulang, kami berjalan mengitari kawasan ini, panas semakin terik menerpa kulit, wajar saja dengan kondisi yang sulit seperti ini para satwa endemik harus berjuang lebih keras untuk bisa bertahan hidup. Di tengah perjalanan kami menemukan sebuah nisan kecil bertuliskan kuburan lutung yang katanya mati karena dehidrasi, miris sekali.

Alasan pembangunan memang terkdang menjadi pisau bermata dua, di satu sisi pembangunan bertujuan mensejahterakan masyarakat namun di sisi lain pembangunan yang tidak bijaksana akan merusak keseimbangan ekosistem yang pada akhirnya juga akan berdampak bagi kerugian manusia. Belum lagi konflik yang terjadi antara manusia dan satwa endemik karena banyak rumah tinggal yang berdiri disini dan berbatasan langsung dengan habitat lutung, hal ini kami buktikan saat melihat seekor monyet yang tangannya terluka bekas sayatan benda tajam.

Muara bendera juga terancam dengan masalah krusial yaitu pencemaran sampah, kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya menjadikan sungai tempat sampah raksasa dan semua sampah yang dibuang akan bermuara di tempat ini, padahal lingkungan yang tercemar menjadikan satwa endemik yang berdiam di pulau ini menjadi tidak sehat dan sulit berkembang biak.

Jika kondisi memprihatinkan ini terus berlanjut, entah sampai kapan kita bisa melihat keberadaan lutung jawa di Muara Bendera. Harus ada langkah konkrit yang diambil untuk melindungi mereka, walau sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan ada ancaman bagi perburuan liar namun nyatanya hal itu tidak menjadikan nyali para pemburu menjadi ciut. Keterbatasan sumber daya dan sumber dana juga menjadi satu hal yang harus segera dicarikan solusinya selain masalah pembebasan dan alih fungsi lahan serta pembalakan liar. Jika semuanya bisa terintegrasi dengan baik maka tidak mustahil untuk Muara Gembong khususnya kampung Muara Bendera menjadi sebuah destinasi wisata pilihan dan menaikkan pendapatan daerah. Tentu saja perbaikan akses, sarana dan prasarana transportasi menuju kesini menjadi hal mutlak yang harus segera dituntaskan.

Semua tentu tidak ingin anak cucu kita di masa mendatang hanya bisa mengenal lutung dari gambar buku atau artikel di internet, jika tidak sekarang menyelamatkan mereka, kapan lagi?

***

Teriring terimakasih untuk kak naz, oom Agus Tian dan seluruh kel, kak nov,kak Ije, kak meitha, kak salman,mas sol dan semua keluarga Rumba HOS Tjokroaminoto dan Sekolah Raya yang sudah mengajak saya bertualang disini.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
indri permatasari

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Galaumu itu Lebay Dék

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Travel

Lihat semua