x

Tagar #IStandWithAhmed muncul di media sosial sebagai aksi solidaritas untuk Ahmed Mohamed. Presiden Obama, Mark Zuckerberg, dan sejumlah tokoh turut mendukung aksi ini. Tmblr.com

Iklan

Gusrowi AHN

Coach & Capacity Building Specialist
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cerita Ahmed & Sindrom 'Bukan Siapa-siapa'

Ketika kita bukan "siapa-siapa', sebagus apapun "isi" gagasan/kreativitas/Inovasi kita dipandang sebelah mata. Gejala apakah ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari terakhir kita disuguhi pemberitaan di media tentang cerita Ahmed, bocah muslim berusia 14 tahun yang ditangkap polisi di Texas AS karena dicurigai membawa bom. Padahal, Ahmed sebenarnya membawa jam digital yang merupakan hasil rakitannya. Peristiwa ini mendatangkan dukungan publik yang luar biasa. Di media sosial, kisah ini menjadi trending topic global, dan mendapatkan perhatian dan atensi yang luar biasa dari berbagai kalangan. Mulai dari pendiri Facebook hingga Presiden Obama memberikan dukungannya terhadap Ahmed.

Cerita tentang Ahmed diatas tentunya memunculkan berbagai reaksi yang beragam. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang mungkin kita munculkan: Mengapa Ahmed dicurigai? Apakah karena Ia muslim? Apakah ia ‘layak’ dicurigai karena ia Muslim? Adakah sentimen Agama dalam persoalan ini?

Wajar, jika pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul. Apalagi, sentimen masyarakat AS terhadap Islam, diakui atau tidak, masih eksis adanya. Islamophobia di Amerika memang tengah menjadi sorotan akhir-akhir ini. Dalam sebuah kampanye calon presiden, Donald Trump, pada sesi tanya jawab, mendapatkan pertanyaan dari pendukungnya terkait keberadaan Muslim di Amerika. Si penanya menyatakan bahwa Muslim adalah salah satu musuh bagi Amerika, dan karenanya ia menanyakan kepada Donal Trump bagaimana cara mengusirnya dari Amerika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlepas, bagaimana kecenderungan publik memandang persoalan ini, saya sendiri tidak tertarik mengupasnya dari sudut pandang agama. Saya lebih tertarik merefleksikan bagaimana sebuah gagasan, kreativitas dan atau inovasi, sehebat apapun itu, tidak akan mendapatkan apresiasi dan perhatian yang ‘fair’, ketika si pengemuka ide bukanlah “siapa-siapa.”

Jika kita bawa ke ranah kajian manajemen, hal-hal terkait ‘siapa’ dan ‘apa’ seringkali menjadi momok yang sering dihadapi oleh para manager. Kegagalan para manager dalam mendorong kreativitas staff-nya, bermula ketika mereka lebih fokus pada ‘siapa’ yang memberikan ide dan pendapat, dan tidak memberikan cukup perhatian terhadap ‘apa’ yang menjadi “isi” ide dan pendapat tersebut.

Ketika, faktor ‘Siapa’ yang lebih diperhatikan, maka pola relasi kuasa menjadi penentu ide/gagasan mana yang akan lebih mendapatkan prioritas. Pada tataran ini, sebaik apapun sebuah ide/gagasan, jika ‘kita’ bukan siapa-siapa, ataupun ‘kita’ dikategorikan dalam kelompok minoritas misalnya, maka jangan heran jika ‘suara’ kita tidak mendapatkan perhatian.

Apalagi, ketika memacu kreativitas karyawannya, para manager menggunakan pendekatan apa yang di sebut McGregor sebagai teori X (bahwa orientasi bekerja karyawan hanyalah untuk mengejar gaji, dan karenanya tidak memiliki ‘passion’ untuk mengembangkan kemampuan kreatifitas dan inovatifnya), maka, para manager memperlakukan karyawannya dengan eksploitatif. Dan sebaliknya, para karyawan-pun hanya melakukan pekerjaannya dengan ‘apa adanya’, dan tidak memberikan kemampuannya hingga level tertingginya.

Fenomena diatas, juga sering kita temui di dalam kehidupan sehari-hari. Dimana spontanitas kita dalam merespon ide-ide dan gagasan baru cenderung terlebih dahulu memandang ‘siapa’ yang memberikan gagasan ketimbang ‘apa’ isi gagasan tersebut. Ketika hasil screening kita atas “siapa” yang berbicara menghasilkan kesimpulan, bahwa Si A adalah staff bawahan yang tidak berpengaruh sama sekali, maka dengan mudah kita akan tergoda untuk meremehkan ‘Isi’ pemikirannya, bahkan sebelum si A mulai berbicara sekalipun.

Tentu, pola pikir semacam ini tidak bisa diteruskan. Diperlukan sudut pandang yang ‘konstruktif’ dalam melihat sebuah gagasan/ide baru yang muncul dihadapan kita. Kalau perlu, jika mengalami kesulitan dengan sindrom “siapa”, kita bisa menutup mata terlebih dahulu, untuk lebih memahami ‘apa’ yang menjadi ‘isi’ gagasan/ide nya. Dengan cara ini, kita akan lebih bisa berfikir ‘obyektif’, ‘jujur’ dan ‘fair’ dalam memandang sebuah ide/gagasan. Dan kita juga tidak akan terjebak masuk ke ranah-ranah yang bersifat ‘personal’ yang tidak ada kaitannya dengan ‘isi’ ide atau gagasan tersebut. Dengan kata lain, kita bisa lebih terampil dalam membedakan mana ‘orang’ dan mana ‘masalah’. Karena mencampur adukkan antara ‘orang’ dan ‘masalah’ hanya akan membawa kita mendiskusikan hal-hal yang ‘bukan’ menjadi pokok masalah utamanya. Sehingga kita semakin jauh dalam menemukan titik temu dan solusinya.

Cerita Ahmed bisa menjadi inspirasi buat kita semua, bahwa masih banyak orang-orang di luar sana yang lebih memandang ‘siapa’ kita, dibanding ‘apa’ yang menjadi ‘isi’ pikiran dan gagasan kita. Itulah tantangan perubahan yang kita hadapi bersama. Adagium di dalam ajaran Islam “Jangan melihat “siapa” yang berbicara, tapi lihatlah ‘apa’ isi bicaranya”, saya kira sangat relevan untuk kita aplikasikan. #gusrowi.

Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini