x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mahasiswa dalam Perangkap Solidaritas Sempit

Perkelahian mahasiswa cermin kegagalan pendidikan rasionalitas ilmiah dan karakter?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkelahian antar mahasiswa terjadi lagi: antar fakultas, satu universitas—di perguruan tinggi yang menyandang atribut sangat penting bagi negeri ini. Beberapa fasilitas kampus rusak. Mobil pun tak luput menjadi korban amuk, dibakar dan jadi bangkai. Sejumlah media memberitakan, pertarungan di dalam kampus berlangsung sejak malam hingga dini hari.

Peristiwa serupa bukanlah yang pertama terjadi di perguruan tinggi kita. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di beberapa kota lain. Mengapa justru tradisi perkelahian yang bersemai di dalam kampus, bukan nilai-nilai akademis? Apa sesungguhnya yang tengah terjadi di universitas kita? Saya tak tahu persis apa jawabannya. Tapi kita dapat berbicara perihal gejala-gejala yang menandakan tataran keadaan yang mencemaskan.

Pertama, pemujaan identitas yang berlebihan. Pertarungan mahasiswa dari dua fakultas itu niscaya dimulai dari soal yang melibatkan sejumlah kecil orang. Solidaritas kelompok yang berbasis identitas sempit—sama-sama satu fakultas—telah membutakan anak-anak muda ini sehingga masing-masing kelompok membelas rekannya satu fakultas tanpa peduli salah dan benar. Mereka lupa pada ikatan identitas yang lebih besar, sesama orang Indonesia dan sama-sama manusia. Kesetiaan kepada identitas sempit telah membutakan mata hati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, kegagalan rasionalitas. Salah satu fungsi universitas ialah melatihan kemampuan bernalar mahasiswanya. Dalam jargon yang lebih mentereng: menyemaikan rasionalitas ilmiah di lingkungan civitas akademika, khususnya mahasiswa. Perkelahian ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa upaya menyemaikan rasionalitas ilmiah itu telah gagal. Mereka tidak lagi sanggup berpikir rasional.

Ketiga, terkikisnya kecerdasan emosional. Pendidikan di lingkungan kampus juga dimaksudkan untuk mengasah kecerdasan emosional penghuninya: meningkatkan kesadaran tentang diri sendiri (self-awareness) maupun kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Di dalamnya terkandung kepedulian sosial, rasa empati kepada sesama, menjalin relasi positif dengan sekitar. Perkelahian dengan kekerasan menunjukkan bahwa rasa mengasihi sesama telah terkikis. Yang mekar justru hasrat untuk menyakiti. Apakah jika ‘mahasiswa lawan’ terluka, berdarah, atau bahkan mati, hasrat itu baru terpuaskan?

Keempat, kegagalan pendidikan karakter. Pendidikan pada galibnya lebih dimaksudkan untuk mengembangkan karakter manusia positif, setelah itu baru penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan hebat di tangan manusia berkarakter berbahaya berpotensi mencelakakan manusia dan merusak alam. Apakah dengan berulangya perkelahian antar mahasiswa ini kita masih juga menampik kenyataan bahwa pendidikan karakter di perguruan tinggi mengalami kegagalan? (foto ilustrasi: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB