x

Seorang suku Kamayura berjalan diantara asap saat mengikuti pelatihan memadamkan api kebakaran hutan di taman nasional Xingu, Mato Grosso, Brasil, 3 Oktober 2015. Pemadam kebakaran Brasil memberikan edukasi pada masyarakat adat untuk mencegah kebakar

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Asap dan Kamp Konsentrasi Hitler

Bila tak segera diusir, asap bisa jadi alat pembunuh massal. Wajar bila kemudian si pengirim pesan menyebut genosida.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Hari Sabtu pagi, 10 Oktober 2015,  sekitar pukul 10.00 lebih, saya dan beberapa wartawan tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Hari itu, kami hendak kembali pulang ke Jakarta, setelah meliput kegiatan Jambore Nasional Satpol PP, di Jakabaring Sport Center, Palembang.
 
Pesawat yang akan membawa kami, akan terbang pukul 11.45 Wib. Rasanya senang bisa meninggalkan Palembang. Sekapan asap, membuat kegiatan di Palembang tak nyaman. Apalagi, kondisi langsung 'ngedrop'. Tenggorokan sakit, diikuti batuk, serta badan meriang tak enak. Tak hanya saya. Satu orang wartawan lainnya pun sama-sama ngedrop.
 
Padahal, hanya dua malam saya tinggal di Palembang. Namun asap yang menyekap kota itu, benar-benar menyiksa. Nafas dibuat sesak. Pandangan terbatas. Mata pun perih. Pernah saya pagi-pagi hendak ngopi, sembari menikmati pagi. Saya berharap pagi hari, asap sedikit hilang. Namun, pagi itu saya tengok, suasana di luar hotel, tampak mendung. 
 
Tak ada matahari yang biasa menelusup malu-malu. Di luar, seperti remang pagi. Kabut membungkus kota. Namun itu bukan kabut pagi yang membawa embun. Tapi kabut asap membawa racun. Sebab, baunya menusuk hidung. Jadilah acara ngopi yang awalnya dibayangkan jadi acara yang berkesan, buyar sudah. 
 
Ngopi pun terpaksa dengan sekapan asap. Paru-paru pun yang mestinya dapat mereguk hawa segar, mesti sesak dengan siksa asap. Benar-benar kota yang tak nyaman. 
 
Maka, ketika saya hendak masuk pesawat, ada rasa senang, sekaligus rasa sedih. Senang karena sebentar lagi akan terbebas dari sekapan asap. Tapi sedih membayangkan warga Palembang yang masih harus bergulat dengan sekapan asap. Saya tak bisa bayangkan derita mereka yang disekap asap. Saya saja, hanya dua malam tinggal di sana begitu tersiksanya. Bagaimana dengan mereka yang telah berbulan-bulan menghirup asap sialan itu. 
 
Tak heran, bila kemudian ada broadcast messenger dari seorang warga di Riau yang dikirimkan berantai, menyebut sekapan asap adalah alat pencabut nyawa. Si pengirim pesan, merasa warga Riau tengah di bunuh dengan pelan-pelan. Bahkan ia menyebut, warga Riau tengah mengalami sebuah proses genosida. Agak berlebihan memang, tapi saya kira itu bisa dipahami. Bila tak segera diusir, asap bisa jadi alat pembunuh massal. Wajar bila kemudian si pengirim pesan menyebut genosida. 
 
Saya pun teringat cerita horor sejarah, saat Hitler menghabisi kaum Yahudi di kamp-kamp konsentrasi. Lewat gas beracun, sang fuhrer menghabisi kaum Yahudi. Kini, asap beracun pun tengah menyekap Palembang, Riau, Jambi dan Kalimantan. Semoga, itu bukan seperti kamp konsentrasi zaman Hitler. Dan semoga, tak ada genosida.
 
Pesawat pun akhirnya terbang meninggalkan landasan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin. Makin tinggi, makin tinggi. Lewat jendela pesawat saya coba menengok ke bawah. Tak ada yang bisa dilihat, selain selaput putih asap yang menyelubungi Palembang. Saudaraku, semoga hujan cepat turun. Semoga, bantuan dari berbagai negara bisa mengakhiri derita. Semoga, semoga, hanya doa yang bisa saya panjatkan.

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB