x

Iklan

yswitopr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nasib Kristen di Tanah Rantau: Belajar dari Singkil

Mereka membangun rumah yang menjadi pusat kegiatan ibadah mereka. Bisa jadi, rumah itu tanpa asesoris apa pun yang menunjukkan itu sebuah gereja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(sumber foto ilustrasi)

Sedih. Itulah perasaan yang muncul ketika mengamati pemberitaan tentang pembakaran gereja di Aceh Singkil. Ada gereja Kristen yang dibakar. Ternyata, ada juga gereja Katolik yang dibakar. Akibatnya adalah rasa cemas dan was-was yang menghinggapi masyarakat, khususnya mereka yang beragama Kristen. Berangkat dari rasa cemas dan was-was itu, ribuan orang memilih pergi untuk mengungsi. Diperkirakan lebih dari 4.000 orang mengungsi ke wilayah Sumatra Utara.

Masalah Administrasi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awalnya saya berasumsi bahwa mereka terusir dari tanah mereka. Namun, ketika menyadari konteksnya saya menjadi ragu. Bisa ya dan bisa tidak. Mengapa bisa begitu?

Aceh Singkil adalah daerah perkebunan dan tentu saja, banyak masyarakat yang bekerja di perkebunan. Para pekerja perkebunan itu bisa penduduk dengan KTP setempat, bisa juga pendatang dengan KTP daerah asalnya.

Saya tinggal di Sumatra Utara. Di sini, merantau untuk bekerja, termasuk di perkebunan, adalah hal biasa, entah salah satu atau seluruh keluarga merantau. Persoalannya, ketika merantau masyarakat tidak otomatis mengurus kepindahan mereka secara administratif, seperti mengurus perpindahan KTP. Ada yang mengurusnya, namun sebagian besar tidak. Persoalan administrasi ini bisa menimbulkan persoalan yang lebih besar.

Masalah Sosial Ekonomi

Aspek sosial ekonomi kiranya selalu menjadi masalah klasik. Kedatangan para pendatang ke suatu tempat bisa dianggap menjadi ancaman bagi masyarakat setempat. Secara sosial, para pendatang tentu membawa pola budaya dari daerah asalnya. Ada karakter-karakter budaya yang dengan mudah melebur dan berasimilasi dengan budaya setempat. Namun, ada banyak budaya yang tidak bisa begitu saja masuk ke kebudayaan baru.

Yang sering menonjol adalah masalah ekonomi. Keberadaan para pendatang ini acap dianggap mengancam peluang penduduk asli dalam bidang ekonomi: pekerjaan, penghasilan, dan lain sebagainya.

Masalah Agama

Persoalan agama di Singkil, dalam hal ini tampak dalam persoalan rumah ibadat, sudah ada sejak tahun 1979. Saat itu, gubernur meminta gereja-gereja yang tidak berizin di wilayah perkebunan Kuta Kerangan untuk ditutup. Peristiwa ini menelurkan kesepakatan bersama: hanya boleh ada 1 gereja dan 4 undung-undung di Aceh Singkil. 

Berkaitan dengan rumah ibadat, tahun 2006 muncul ketentuan SKB tiga menteri. Menurut SKB 3 Menteri tahun 2006, salah satu syarat untuk pendirian gereja adalah adanya 90 pengguna dan persetujuan dari 60 warga sekitar. 

Selain itu, pemerintah Provinsi NAD juga memiliki Pergub no. 25 tahun 2007 yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Dalam Pergub no. 25 tahun 2007 dinyatakan, sebuah rumah ibadah dapat memperoleh izin jika mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar dengan jumlah jemaat lebih dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah, dan ada surat rekomendasi dari kantor Kementerian Agama setempat.

***

Apakah Anda pernah merasakan situasi dan kondisi daerah perkebunan di Sumatera? Inilah yang sekarang saya alami dan selalu menjadi persoalan yang tidak mudah untuk dipecahkan. Perkampungan di daerah perkebunan mulanya segelintir orang saja. Makin lama makin bertambahlah penduduknya karena faktor pendatang yang bekerja di daerah itu. Berkembanglah perkampungan multi etnis atau agama di situ.

Bagaimana kemudian mereka beribadah? Harus ke tempat lain dengan waktu tempuh yang bisa berjam-jam? Berapa biaya yang harus dikeluarkan? Ada orang Katolik di tempat saya. Untuk beribadah setiap minggu harus menyewa becak pulang pergi menghabiskan dana 100 ribu. Mereka harus menempuh perjalanan satu jam lebih.

rumah atau gereja?

Untuk mengatasi mengatasi hal itu, kadang mereka nekad. Mereka membangun rumah di tanah yang mereka beli, lalu menjadikannya pusat kegiatan ibadah mereka. Bisa jadi, rumah itu tanpa asesori apapun yang menunjukkannya sebagai gereja. Namun, masyarakat sudah menganggap itu sebagai gereja. Saat SKB tiga menteri muncul, bangunan dan fungsinya itu sudah berusia puluhan tahun. Lalu, bagaimana nasib bangunan yang difungsikan sebagai tempat ibadah itu?

Mau mengurus izin? Jelas tidak mungkin karena syarat tidak terpenuhi. Jika dibongkar, ke mana mereka akan beribadah? Ke gereja lain yang memiliki izin? Kita mungkin hanya mengenal Kristen, tetapi tidak mengenal bahwa di dalam agama Kristen itu terdapat denominasi. Masing-masing dengan karakteristiknya. selain Kristen, masih ada Katolik. Kalau Katolik, dimanapun akan sama. Apa mungkin orang Katolik beribadahnya ke gereja Kristen? Atau, apa mungkin orang Kristen beribadah di gereja Katolik?

medan yang kadang harus dilalui

Padahal, ada klausul menarik dalam SKB 3 Mentri tahun 2006 yang mungkin luput dari perhatian. Di bab ketentuan peralihan pasal 28 pasal 3 ditulis sebagai berikut: Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.

Nah, saya pusing tujuh keliling untuk memahami makna ayat ini. SKB 3 mentri ini terbit dan diberlakukan tahun 2006. Kalau mengacu pada bunyi ayat ini, maka seluruh gedung rumah ibadat yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat dan ingin ber-IMB pengurusannya dibantu oleh bupati atau walikota. Pertanyaan besarnya adalah apakah proses untuk mendapatkan IMB sebagai rumah ibadat harus melalui mekanisme yang sama dengan pendirian rumah ibadat baru? Lalu, bagaimana wujud bantuan yang diberikan bupati atau walikota itu?

Saya hanya bisa berdoa, semoga kami tidak terusir dari tanah rantau dan bisa menjalankan agama kami dengan aman dan nyaman. Semoga Pemerintah tidak tinggal diam melihat perstiwa ini. Jika nun jauh di Tolikara sana, sesudah kerusuhan tempat ibadahnya dibangun baru, bagaimana dengan nasib saudaraku di Singkil? Akankah mereka mengungsi dan tidak akan kembali lagi?

Ikuti tulisan menarik yswitopr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler