x

Iklan

Miftahul Yani Yani

Lahir dan besar di Magenda Dompu - NTB, senang menulis apapun secara bebas. Email : miftahulyani@gmail.com. Hp. 087866921180
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilkada, Momentum Pembuatan Dosa?

Sebanyak 369 daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serentak melaksanakan Pilkada pada 9 Desember mendatang. Parpol, pemilih dan kandidat mengobral janji.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fantastis, untuk kali pertama Indonesia menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak pada tanggal 9 Desember 2015 mendatang.

Pilkada kali ini adalah pilkada terbesar atau terbanyak sepanjang sejarah pesta demokrasi lokal di Indonesia maupun di dunia. Betapa tidak, 9 Provinsi, 36 Kota, dan 224 Kabupaten atau total 269 daerah serentak menggelar hajatan yang sama. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak gelombang pertama.

Final, 6,892 triliun anggaran digelontorkan oleh pemerintah untuk membiayai segala kebutuhan pelaksanaan pilkada, mulai dari revisi regulasi, biaya keamanan, pengadaan alat peraga kampanye, sosialisasi, sampai honor para petugas lapangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika berbicara pilkada tentunya para kandidat berbicara pemenangan untuk meraih satu tiket yakni kemenangan mutlak. Apalagi pilkada kali ini, oleh Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan bahwa penetapan pasangan calon yang menang ditentukan oleh jumlah suara terbanyak dalam satu putaran. Berbeda dengan pilkada sebelumnya bisa dua kali putaran, artinya “Menang dalam satu putaran”. Perubahan konsep satu putaran tersebut memiliki konsekuensi logis, politik, keamanan, dan sosial. Tidak terbantahkan juga berdampak pada aspek-aspek lainnya.

Konsekuensi logis disini menyertai sekaligus menyedot pikiran pasangan calon yang akan berkompetisi. Hal yang paling krusial dalam konteks ini adalah kekuatan financial dan jabatan diantara pasangan calon. Pilkada lebih satu putaran biasanya pasangan calon masih membagi pos anggaran dalam dua pos, dan harapan untuk bertarung pada putaran kedua masih sangat besar. Namun hal tersebut tergantung pada manajemen dan kekuatan anggaran, tim sukses, serta kekuatan taktik dan strategis, ditambah lagi dengan visi dan misi sebagai magnet untuk menarik simpati dan daya dukung masyarakat.

Akan berbeda dengan pilkada satu putaran, dimana pasangan calon harus all out dan mengerahkan segala kemampuan sumber daya untuk mendapatkan kemenangan, “Karena kemenangan hanya ditentukan oleh beda satu suara”.

Pada sisi yang lain, konsekuensi politik sangat besar, baik pada level partai politik maupun tatanan kehidupan dalam masyarakat yang akan bergeser secara spontanitas. Pada level partai politik, para pasangan calon semacam terpenjara oleh bargaining position parpol itu sendiri, karena begitu peliknya komunikasi yang dibangun terutama kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang partai politik.

Kepentingan jangka pendek parpol yaitu seberapa besar mahar yang harus dibayar oleh para kandidat dan nilainya akan fantastis karena parpol saat ini pemegang remot nasib Pilkada dengan melihat betapa sedikitnya masyarakat yang ikut melalui jalur independen. Tidak ada papol, tidak ada pengusungan. Kemudian kepentingan jangka panjang yang harus diamini para kandidat, disini erat kaitannya dengan penempatan birokrat dan jatah paket proyek. Mau atau tidak suka, para kandidat harus menyetujuinya apalagi “Kandidat yang haus kekuasaan”.

Sedangkan pada tingkat tatanan kehidupan masyarakat, tidak kalah saingnya dengan parpol, masyarakat pun menaikkan posisi tawar, karena kemenangan hanya ditentukan oleh perbedaan satu suara. Para kandidat harus menina bobokan masyarakat dengan logistik, dengan uang dan berbekal program. Logistik hanya berlaku pada masa kampanye, sementara uang berlaku dari masa persiapan sampai hari pencoblosan. Jika uang tidak ada dari salah satu pasangan calon pada menjelang dan saat mencoblos jangan berharap ada suara padahal sebelumnya sudah menikmati logistik.

Disinilah terjadi perang nominal diantara para kandidat, “Kalah nominal, kalah suara” itulah passwordnya. Dalam hal ini terjadi pergeseran paradigma politik masyarakat, pergeseran tersebut disebabkan oleh dosa para terdahulu yang tidak begitu memperhatikan kehidupan mereka, akhirnya momentum pilkada adalah waktu bagi masyarakat untuk balas dendam. Selain itu, percaturan pilkada akan membuat jurang pemisah baik dalam lingkungan luas maupun lingkungan keluarga. Tidak sedikit muncul ketidaksukaan diantara sesama bahkan terjadi kriminalitas hanya karena perbedaan pilihan. Fakta demikian masih belum terpecahkan oleh teori demokrasi, oleh pemerintah dan oleh undang-undang.

Selain konsekuensi politik, konsekuensi keamanan sangat signifikan. Bayang-bayang kerusuhan, kriminalitas, demonstrasi bahkan pembunuhan hinggap dalam benak aparat keamanan. Instabilitas sudah tentu akan terjadi, karena tingkat gesekan diantara kandidat dan pendukung sering terjadi, terbuka lebar dan selalu memakan korban. Aparat keamanan kadang dibuat kelabakan dan bingung karena kondisi yang spontan. Dalam hal ini, aparat keamanan arus ekstra dan full mengerhakan kekuatan jangan sampai “Pilkada gagal dan masyarakat jatuh korban”.

Kita akan membayangkan jika musim pilkada tiba maka masyarakat akan terbelah, kemudian muncul budaya musiman, dan sikap tak terpuji. Masyarakat terbelah sudah pasti karena perbedaan pilihan dan dukungan. Kemudian budaya musiman yaitu masyarakat tidak lagi punya rem untuk membicarakan aib para kandidat dan para pendukung selain dirinya. Bahkan fitnah, caci maki dan kebohongan kerap terjadi ketika berkumpul untuk membahas seputar pilkada. Apakah itu bukan dosa?

Pada tingkat parpol, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para kandidat untuk melamar dan mendapatkan dukungan. Parpol baru bisa diyakini memberikan dukungan ketika adanya rekomendasi dukungan saat pendaftaran di KPUD. Dalam komunikasi dan melobi terhadap parpol, tidak sedikit penuh kebohongan dan pelanggaran kesepakatan. Sedikit saja berbeda nilai nominal diantara para pelamar parpol bisa berubah haluan, padahal sebelumnya ada keyakinan yang diberikan namun parpol bisa berkelit. Lagi-lagi dosa kembali dibuat. Soal itu baru pada hubungan parpol dengan kandidat.

Belum lagi hubungan parpol dengan para pengurus dan parpol dengan konstituennya. Hubungan parpol dengan pengurus yakni terkait dengan jumlah nominal mahar kandidat. Umumnya ketua dan atau pengurus teras parpol tidak fair masalah yang satu ini. Misalnya mahar kandidat 100 milyar, namun informasi yang disampaikan ke pengurus lainnya kurang dari itu. Sisi lainnya pengurus dengan masyarakat. Ketika parpol dibentuk, masyarakat menaruh harapan bahwa parpol bisa memperjuangkan hak masyarakat baik lewat Pilpres, Pileg, maupun pilkada. Namun harapan dan janji parpol tentunya sering sekali dilanggar hanya karena kepentingan financial dan jabatan, akhirnya hak dan harapan masyarakat terabaikan, Dosa baru dibuat lagi.

Dosa itu datang dari kandidat terhadap masyarakat. Saat kampanye dan menggalang dukungan, masyarakat disuguhkan janji lewat kampanye. Namun apakah gerangan, banyak masyarakat yang kecewa setelah kandidatnya berkuasa. Sudah tidak diketahui kemana janji manis saat kampanye yang dulu. Tidak berhenti disitu saja, dosa kandidat kepada parpol pun pernah terjadi, disinilah terjadi jeruk minum jeruk. Saat melamar dulu kandidat menjanjikan beberapa paket proyek namun kurang dari itu. Kemudian parpol juga memiliki orang di pemerintahan untuk dipromosikan naik jabatan, namun karena sesuatu dan lain hal kepentingan itu tidak diakomodir oleh kandidat yang diusung dan kemudian menang. Parpol pun kecewa dan sakit hati. Konteks ini adalah dosa politik, namun apapun itu namanya tetap dosa.

Komisi Pemilihan Umum Daerah atau KPUD, Panitia Pengawas alias Panwas, adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan dan mengawasi jalannya pilkada, hal tersebut sebagaimana amanat undang-undang dan dituntut kepada mereka untuk berlaku adil, jujur, transparan dan tidak memihak. KPUD dan Panwas berisi manusia cerdas namun ada juga yang masih dipertanyakan kapabilitas dan integritasnya. KPUD dan Panwas berisi manusia biasa yang selalu dihinggapi oleh dosa. Pertanyaan hari ini adalah apakah kedua lembaga tersebut sudah ideal sesuai dengan UU? Dosa KPUD dan Panwas akan selalu ada dalam pilkada karena mereka juga manusia.

Akhir dari tulisan ini yaitu Pilkada melahirkan dosa baru oleh KPUD, Panwas, kandidat, parpol, dan masyarakat. Ending dari kupasan diatas yaitu bagaimana saya dan kita semuanya terutama pemerintah, KPUD, Panwas dan parpol melahirkan pilkada yang tidak berdampak pembuatan dosa baru di dunia ini.

 

Ikuti tulisan menarik Miftahul Yani Yani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan