x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah Asap akan Masih Adakah Surga di Tanjungputing?

Tanjungputing rumah mewah bagi orangutan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Birute M. F Galdikas

Orangutan reflect, to some degree, the innocence we humans left behind in Eden, before our social organization, bipedalism, and toolmaking gave us “domination over” the planet (p16).

Buku ini dibuka dengan kisah si Akmad (nama Akmad diambil dari nama peneliti senior bernama Sjamsiah Akmad), seekor anak orangutan yang diselamatkan dari kandang di kebun sawit. Akmad, seekor orangutan betina yang membutuhkan induk pengganti menemukan Ibu Galdikas (saat itu umurnya 25 tahun) yang secara suka rela menggantikan induknya yang ditembak mati di kebun sawit. Pengalaman Akmad yang mendapatkan kasih seorang ibu pengganti membuat dia menerima Carey, seekor anak orangutan berumur 4 tahun yang bernasip sama dengannya. Padahal saat itu Akmad sedang bunting. Akmad merawat Carey dan Arnold (anak pertamanya – jantan) bersama-sama. Meski Arnold lebih muda, tetapi dia lebih mandiri. Itulah sebabnya saat Arnold berumur 1 tahun dua sudah mulai terpisah dari Akmad. Sampai suatu saat Arnold tewas karena dimangsa babi hutan. Kisah ini menujukkan kasih dan pengorbanan yang alami di dunia orangutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melalui buku ini Ibu Galdikas memaparkan suka duka penelitiannya, frustasinya dan kegembiraannya bersama orangutan di Tanjungputing, Kalimantan Tengah. Kisah-kisah orangutan jantan, betina dewasa, betina muda, orangutan yang liar atau yang diliarkan kembali memenuhi buku ini. Tidak ada buku yang memuat tentang perilaku orangutan selengkap buku ini. Kisah rinci tentang cara hidup dan interaksi antara pejantan, betina dan bayi/anak orangutan tergambarkan dengan baik melalui Georgina, Pug, TP yang diikutinya berminggu-minggu.

Upaya penelitian orangutan di alam liar membawa Birute Galdikas kepada sebuah keputusan hidup untuk melindungi dan meliarkan kembali orangutan-orangutan hasil tangkapan. Pertemuannya dengan Cempaka dan Sugito (keduanya orangutan) yang dipelihara oleh manusia menyebabkan perhatiannya kepada orangutan yang dijadikan binatang peliharaan membuncah. Birute Galdikas tidak segan untuk meminta, melobi dan menyadarkan para ‘orang kuat’ untuk menyerahkan orangutan peliharaannya supaya bisa diliarkan.

Kisah-kisah sukses tentang orangutan tangkapan yang berhasil liar kembali dituturkan dengan antusias. Demikian pula proses untuk kembali menjadi liar. Tidak semua orangutan bekas tangkapan (captive) bisa kembali menjadi orangutan liar dengan perilaku normal. Si Gundul, misalnya. Gundul adalah seekor orangutan yang berkasus karena pernah mencoba memerkosa tukang masak di dapur di Camp Leaky.  Gundul adalah seekor orangutan yang dulunya dipelihara oleh seorang Jenderal. Perilaku Gundul mengikuti apa yang dilihatnya saat dia berada di rumah sang Jenderal. Gundul memperlakukan orang-orang biasa (yang tidak berseragam) sebagai bawahannya. Meski Gundul sangat respek kepada saya (Galdikas), namun dia memerlakukan perempuan lain sebagai obyek.

Si Akhmad lain lagi, orangutan betina ini begitu lembut. Dia berperilaku seperti manusia. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan daripada merayah. Dia berdiri dengan dua kaki dan tangannya menggelantung, daripada menggunakan keempat organ tubuhnya, selayaknya orangutan.

Pada bab terakhir, Birute Galdikas berkisah tentang keputusannya untuk menikah dengan seorang Dayak bernama Bohab. Bohab adalah orang Dayak biasa – salah satu asistennya. Bohab, meski berperawakan kecil, namun dihormati oleh orangutan, baik yang tangkapan maupun yang liar. Bagaimana mereka berdua kemudian bahu-membahu melindungi orangutan dan habitatnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler