x

Iklan

Pungkit Wjaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesan Damai Dari Bandung

Bandung adalah kota perdamaian. Ia mau tidak mau harus menjadi ruang terbuka, bukan saja untuk satu keyakinan, namun untuk beragam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 3-4 Juni digelar Asian Conference of Religion for Paeace (ACRP). Pertemuan itu, digelar di gedung merdeka, Kota Bandung. Menariknya, acara selama dua hari itu dihadiri dari pemerintah dan termasuk ketiga Biksu Buddha Myanmar (Withudda, Kepala Biara Yadanar Oo di Meiktila; Seindita, Pendiri Asia Light Foundation di Pyin Oo Lwin; Zawtikka, dari Biara Oo Yin Priyati di Yangon) yang menerima penghargaan "Peace Award" dari Parlemen Agama Dunia di Oslo.

Pertemuan tersebut bukan tanpa sebab, landasannya jelas bahwa ada kecamuk kekerasan umat beragama yang menimpa warga di Asia. Dalam pada itu, secara esensial pertemuan itu kita menyadari dalam setiap kepercayaan agama mengajarkan prinsip-prinsip kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang, welas asih, dan melarang umatnya untuk melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun guna memperoleh keselamatan dan kebahagiaan sejati.

Dari pertemuan itu, saya melihat Bandung—Jawa Barat—tengah menyampaikan pesan perdamaian ke antero jagat. Sebagai ibu kota Asia-Afrika, tidak salah gerakan itu dimulai dari Bandung. Mengingat, pada 23 September diperingati sebagai hari perdamaian se-dunia. Pasalnya, di tengah kondisi rupiah yang melemah dan caci-maki di media sosial tengah mewabah. Selain itu pula, ketika potensi konflik semakin menguat; sikap saling membenci, menghakimi yang mewujud dalam konflik (perang), kekerasan atas nama agama.

Makna Damai

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harus diakui, segala tindakan kejahatan dan kebencian itu bersumber dari nawa nafsu sekaligus angkara murka. Jika kita kuat memegang sikap cinta, kasih sayang, welas asih niscaya hidup kita akan bahagia, damai dan mampu berdampingan tanpa melihat segala perbedaan agama, suku, ras dan golongan.

Dari itu pula, kita akan mengingat pokok perdamaian sebagai tujuan utama dari kemanusiaan sekaligus menjadi tanggung jawab semua umat untuk menciptakan perdamaian di tengah keberagaman dan perbedaan yang ada.

Namun, untuk menciptakan perdamaian harus dilakukan upaya memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan dan rasa aman individu (komunitas), baik dari ancaman fisik maupun ekonomi. Pasalnya, dengan kedamaian kita bisa mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain yang bisa memicu terjadinya konflik, kekerasan atas nama agama secara terbuka.

Dengan demikian, membangun kedamaian tidak hanya sekadar tidak adanya perang, konflik, tetapi keadaan pikiran yang tenang dan santai, karena jika setiap orang merasa damai, maka ia akan memiliki pikiran dan perilaku yang positif dan dunia akan menjadi damai.

Dari itu pula, ada satu cerita menarik untuk kita maknai. Alkisah, “suatu hari seorang Guru memiliki murid Islam, Hindu yang sama banyaknya di India. Kemudian mereka ditanya mana yang lebih agung Islam atau Hindu. Dengan sejuk dan teduh Guru Nanak menyebutkan, baik Islam maupun Hindu sama-sama kehilangan keagungan kalau umatnya tidak berbuat baik. Siapa saja yang mengisi hidupnya dengan kebaikan, ia sudah menyiapkan lahan subur”.

Begitulah cerita tentang Guru Nanak. Ia menegaskan bahwa kebaikan harus dilakukan oleh semua umat penganut agama. Untuk itu pula menyitir ungkapan Gede Prama bahwa siapa saja yang tekun dan terus-menerus menyentuh kedamaian, ia akan melihat munculnya buah pohon kedamaian. Dalam hening, damai, pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang dihirup tidak terhitung jumlah makhluk. Kemudian ia menghasilkan vibrasi kedamaian yang serupa dengan oksigen. Tentu saja tidak terlihat, tapi kehadirannya sangat dibutuhkan. Sebagian orang-orang tercerahkan cara bernafasnya berbeda. Ketika menarik nafas, ia bayangkan sedang menarik masuk semua kekotoran. Tatkala mengembuskan nafas, ia bayangkan sedang membuang semua hal yang bersih dan jernih. (Budhy Munawar-Rachman [Ed], 2015:16, 22, 48, 63).

 

Nirkekerasan

Untuk menebar kedamaian itu harus dimulai dari diri sendiri. Ini yang diyakini kuat oleh Mr. Javier Perez de Cuellar, mantan Sekjend PBB, “Kedamaian harus dimulai dalam hati setiap kita. Melalui refleksi yang tenang dan serius mengenai arti kedamian, cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan, dan kerja sama di antara orang-orang.”

Kedamaian itu erat kaitannya dengan rasa mencintai. Saking pentingnya mencintai daripada kebencian. Nelson Mandela berkeyakinan setiap orang bisa mengajarkan cinta kasih. Ia pernah berucap, "tidak ada orang yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci. Dan jika mereka dapat belajar untuk membenci, maka mereka juga bisa belajar untuk mencintai karena cinta datang lebih alami ke hati manusia dibanding kebalikannya."

Sementara itu, Gandhi meyakini bahwa gerakan antikekerasan itu harus dimulai dari dalam diri kita sendiri dan keluar dari sana. Nirkekerasan merupakan buah perdamaian batin dan persekutuan secara spiritual yang ada dalam diri kita.

Gandhi menyakini melalui pertobatan batin pribadi dan perdamaian batin, kita akan lebih peka untuk melayani Tuhan, dari sendiri, orang lain, orang miskin dan dunia ini.  Dengan demikian, kita akan menjadi hamba-hamba perdamaian dunia. Di sinilah letak kuasa nirkekekrasan itu. Saat hati kita dibebaskan Tuhan dari kekerasan batin ini, kita menjadi alat Tuhan untuk membebaskan dunia.

Tanpa pertobatan batin ini, kita bisa sakit hati, kecewa, putus asa, musnah. Apalagi kalau usaha kita dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan tidak menghasilkan apa-apa, sepertinya sia-sia dibandingkan dengan ketidakadilan yang adan di sekitar kita. Dengan pertobatan ini, kita belajar untuk mengabaikan "semua keinginan" termasuk merusak, menghancurkan, hingga menghilangkan nyawa orang lain.

Bagi banyak orang, hikmah kuno tentang hati, nirkekerasan, bisa terasa religius (ideal). Namun, bersama Gandhi menyakini kita perlu melangkah ke depan, ke arah suatu idealisme yang baru demi kemanusiaan secara keseluruhan. Kita perlu memperbarui hikmah nirkekerasan ini demi pembebasan dunia dari segala macam kekerasan, dan ikut andil dalam menciptakan budaya nirkekerasan yang baru. (Walter Wink [ed], 2009 255-256).

Kiranya, kita perlu merenungkan petuah Santo Fransiskus Asisi tentang damai melalui puisi, “Tuhan, Jadikanlah Aku Pembawa Damai”. Tuhan, Jadikanlah aku pembawa damai/ Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih/Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan/Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan/Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian/Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran/Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan/Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang/Tuhan semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur/Memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai/Sebab dengan memberi aku menerima/Dengan mengampuni aku diampuni/Dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya.

Dengan demikian, perdamaian, gerakan antikekerasan itu harus didasarkan pada keimanan yang kukuh, cinta kasih, welas asih yang dimulai dari diri sendiri untuk terciptanya kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang harmonis, damai, toleran, merdeka dan sejahtera. Semoga!    

 

Ikuti tulisan menarik Pungkit Wjaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB