x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kegagalan Pemberontakan Anak-anak Muda

Kelompok Baader-Meinhof dan Brigade Merah, yang didirikan oleh sejumlah anak muda radikal, menimbulkan pergolakan di Eropa Barat pada tahun 1970an.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari menjelang pagi. Hans Rudolf Springer, sipir malam di penjara Stammheim, Stuttgart, mulai merasa lega. Sebentar lagi, beberapa kawan tiba untuk menggantikannya, dan ia bisa pulang ke rumah untuk tidur nyenyak.

Nyatanya tidak. Kepulangan Springer terhalang oleh kepanikan yang pecah pagi itu, saat sipir pengganti membuka Sel 716 dan petugas lain mengantarkan roti dan telur rebus untuk sarapan penghuninya. Keduanya mendapati tubuh Jan-Carl Raspe duduk di ranjang dan bersandar di dinding. Darah mengucur dari kepalanya yang terkulai. “Ada pistol di sini!” teriak petugas.

Raspe masih hidup ketika dibawa ke rumah sakit, tapi ajal menjemputnya di bangsal. Para sipir bergegas menuju Sel 719 dan mendapati Andreas Baader membujur di atas genangan darah. Di Sel 720, tubuh Gudrun Ensslin dingin menggantung. Di bawah selimut, Irmgard Moller meregang nyawa di Sel 725.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka, anak-anak muda usia 30-an itu, mewujudkan apa yang ditulis Ulrike Meinhof: “Bunuh diri adalah tindakan pemberontakan terakhir.” Mereka agaknya telah berencana menjemput kematian, suatu saat. Meinhof kerap mengutip drama Bertolt Brecht, The Measures Taken:

 
“/Membunuh adalah hal yang mengerikan
/Tapi kami tak hanya akan membunuh orang lain
/Kami juga akan membunuh diri sendiri bila perlu
/Agar dunia dapat diubah dengan kekuatan itu sendiri, seperti yang diketahui setiap orang yang hidup/”

 

Meinhof, setahun sebelum peristiwa pagi itu, pada 1976, ditemukan mati menggantung di dalam selnya.

Baader dan Meinhof adalah bagian dari generasi yang, seperti digambarkan Stefan Aust dalam karyanya yang detail dan hidup ini, RAF & The Baader Meinhof Complex, menghadapi kesukaran dalam menyikapi masa lampau bangsanya. Kira-kira 20 tahun sesudah Perang Dunia II usai, dunia belum jauh membaik. Kaum muda Jerman marah atas apa yang di mata mereka kegagalan de-Nazi-fikasi atau membebaskan Jerman dari jejak-jejak Nazi-isme. Di Jerman Barat, 1966, dua partai utama yang bersaing, SPD dan CDU, membentuk Koalisi Besar dan mengendalikan 69 persen kursi Bundestag. Mahasiswa menentang dengan mengusung aksi-aksi oposisi ekstra-parlementer.

Eropa memang tengah bergejolak ketika itu. Pergolakan sosial pecah di mana-mana. Di Italia, 1970, lahir Brigate Rosse atau Brigade Merah yang dibentuk oleh Renato Curcio, mahasiswa Universitas Trento. Kelompok ini bermaksud mendirikan negara revolusioner melalui perjuangan bersenjata dan membawa Italia keluar dari NATO. Brigade Merah berusaha keras mengguncang stabilitas Italia melalui aksi perampokan, penculikan, maupun sabotase. Kelompok ini jadi terkenal karena menculik Perdana Menteri Italia Aldo Moro—dan kemudian membunuhnya pada 1978.

Di tengah kesimpang-siuran zaman pada 1960an hingga 1970an, tulisan Jürgen Habermas, Herbert Marcuse, juga Franz Fanon dan Antonio Gramsci memberi pencerahan. “Hanya kelompok marjinal mahasiswa dan kaum miskin bersama kaum pekerja,” tulis Marcuse, “yang mampu melawan sistem secara efektif.”

Protes atas kunjungan Shah Iran Reza Pahlevi ke Jerman Barat berubah menjadi kerusuhan ketika mahasiswa Benno Ohnesorg tertembak, 2 Juni 1967. Peristiwa yang menjadi tonggak perjalanan Kiri Baru di Jerman ini melahirkan Gerakan 2 Juni. Di musim semi 1968, setelah membakar dua toko serba ada di Frankfurt sebagai protes atas serangan AS ke Vietnam, Baader tertangkap.

Keterlibatan Meinhof dimulai tatkala ia membebaskan Baader dari penjara. Mereka lari ke Jordania dan mengikuti latihan gerilya di kamp Organisasi Pembebasan Palestina. Sekembalinya ke Jerman Barat, mereka memulai “perjuangan anti-imperialis”, melakukan aksi seperti yang ditulis revolusioner Brasil, Carlos Marighella (Minimanual of the Urban Guerilla, 1969): “Gerilya kota mengikuti tujuan politik, dan hanya menyerang pemerintah, bisnis besar, dan imperialis asing..”

Pada tahun 1970, manifesto yang ditulis Ulrike Meinhof mengukuhkan terbentuknya Rote Armee Fraktion (RAF) atau Faksi Tentara Merah. Baader, anak tunggal doktor sejarah, berusia 27 tahun saat itu, memimpin kelompok ini. Setelah serangkaian aksi yang mengguncang, mereka tertangkap. Perlawanan terhadap penahanan dan proses peradilan berlangsung di ruang sidang, di sel-sel lewat aksi mogok makan, dan di luar penjara melalui penculikan, penyanderaan, dan pembunuhan.

Memanfaatkan arsip, catatan yang masih dirahasiakan, dan percakapan dengan mereka yang terlibat, Stefan Aust merekonstruksi pemberontakan kelompok Baader-Meinhof. Aust menyingkap sisi-sisi manusiawi kelompok yang dikenal sangat keras ini, kegelisahan mereka, pertentangan di antara mereka, dan lelucon mereka.

Di mata Aust yang mengenal secara pribadi, Ulrike merupakan sosok yang mengesankan, lulusan universitas, dan jurnalis yang kritis sebelum bergabung dengan Baader. Ketika bekerja di majalah politik Konkret, Aust kerap menulis bersama Ulrike tentang kaum marjinal dan keterlibatan AS di Vietnam. Ulrike, akhirnya, tak bisa hidup di dua dunia. “Saya pikir, keterlibatannya di RAF karena alasan pribadi dan psikologis,” ujar Aust, yang kelak memimpin majalah Der Spiegel.

Sebagai karya evolutif, buku ini diterbitkan pertama kali 8 tahun sesudah peristiwa bunuh diri di Stammheim. Aust merevisinya pada 1997 dengan bahan-bahan baru. Setelah Tembok Berlin runtuh dan Jerman Barat bersatu dengan Jerman Timur, Aust menulis ulang dan menerbitkan kembali buku ini pada 2009. Perkenalannya dengan Meinhof, Raspe, dan pengacara mereka memperkaya perspektif Aust walau tak sampai pada pemujaan. “Saya tidak percaya pada ideologi,” ujarnya.

Lewat rekonstruksinya yang detail ini, Aust menunjukkan bahwa aktivitas teroris tumbuh hanya ketika ada gerakan yang lebih besar, apapun jenisnya—kiri, kanan, nasionalis, atau keagamaan. Baader-Meinhof adalah bagian dari perjalanan kiri radikal pada masa itu. Hanya dalam kerangka gerakan yang lebih besar, mereka dapat memperoleh cukup dukungan untuk dapat beroperasi dalam periode yang cukup lama.

Di mata Aust, gerakan Baader-Meinhof alih-alih memiliki karakter politik yang rasional, mereka justru bersifat kuasi-relijius dalam pengertian seperti yang dipahami ayah Gudrun Ensslin, seorang teolog Protestan. “Tindakan Ensslin merupakan realisasi diri yang sungguh suci,” ujar ayahnya. Kekerasan sebagai pengalaman “kuasi-religius” menjadi faktor penting dalam motivasi Ensslin dan kawan-kawannya. Mereka menjadi martir untuk menunjukkan bahwa negara memang brutal seperti yang mereka pikirkan. Itulah yang membuat mereka sanggup melakukan apa yang disebut oleh Heinrich Boll “perjuangan 6 melawan 60 (juta orang).”

Mengajak bangsanya untuk menumbangkan sistem kapitalis mungkin kenaifan belaka, tapi mereka telah sanggup mengguncang Jerman dan Eropa. Ada anak-anak muda yang memuja mereka bak rock star, menjadikan mereka ikon pemberontakan, dan gambar hitam-putih mereka menjelang kematian menghiasi Museum of Modern Art di New York. Walau, di mata sebagian tokoh, aksi mereka justru menjauhkan masyarakat dari gerakan Kiri Baru. “Ia berharap saya mendukungnya, tapi ia tahu saya tidak sepakat dengannya,” tutur pemikir Prancis Jean Paul Sartre dalam catatan pendeknya, The Slow Death of Andreas Baader (1974), tentang pertemuannya dengan Baader di penjara.

Pemenjaraan para pendiri RAF mendorong anggota Brigade Merah “generasi kedua” untuk melakukan aksi penculikan dan pembunuhan pengusaha, serta pembajakan pesawat Lufthansa tujuan Frankfurt oleh Front Rakyat Pembebasan Palestina yang berakhir di Mogadishu, Somalia. Antiklimaks dari periode kekacauan yang kerap disebut “Musim Gugur Jerman” (1977) ini ditandai oleh tindakan bunuh diri Baader dkk di penjara Stammheim.

Aksi-aksi sporadis masih dilakukan kemudian oleh “generasi ketiga” di sepanjang 1980-90an hingga akhirnya sepucuk surat setebal delapan halaman, bertanda logo RAF dengan bintang merah dan senapan mesin, sampai ke kantor berita Reuters pada 20 April 1998. Surat itu memuat pengakuan mereka: “Akhir proyek ini memperlihatkan bahwa kami tidak berhasil. RAF telah menjadi sejarah.”

Ya, sejarah kelam pemberontakan anak-anak muda terhadap negara dengan membubuhkan catatan: membunuh 47 orang, melukai 93 orang, menyandera 162 orang, dan merampok 35 bank. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler