x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ingin Lebih Berempati, Bacalah Tegak Lurus dengan Langit

Untuk apa membaca karya sastra? Bukankah hidup sudah terlalu sibuk dan penat untuk dijejali dengan fiksi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"It's in literature that true life can be found. It's under the mask of fiction that you can tell the truth."
--Gao Xingjian (Novelis, 1940-...)

 

Terdapat sangat banyak karya sastra yang telah ditulis oleh orang-orang yang gemar berimajinasi. Tegak Lurus dengan Langit hanya salah satunya, dan kumpulan cerita pendek ini dilahirkan oleh mendiang Iwan Simatupang. Tuyet karya Bur Rasuanto rasanya pas untuk mengantarkan kita ke dalam nuansa kepedihan ketika perang berkecamuk. Bila ingin menemukan kebajikan di tengah penderitaan perbudakan, To Kill a Mockingbird karya Harper Lee menuntun kita ke masa lampau yang belum terlalu jauh.

Untuk apa membaca dongeng-dongeng yang dikisahkan dengan begitu menawan itu? Bukankah hidup sudah terlalu sibuk dan penat untuk dijejali dengan fiksi? Tidakkah membaca kisah rekaan ini menghabiskan waktu yang bisa dipakai untuk meredakan ketegangan otot dan otak?

Prasangka dan keengganan itu ternyata dipatahkan oleh sejumlah studi. Emanuele Castano dan David Comer Kidd, akademisi di Departemen Psikologi New School for Social Research di New York City menunjukkan alangkah bermanfaatnya membaca karya sastra, bahkan bila dibandingkan dengan membaca fiksi populer maupun karya non-fiksi. Semua ini terkait dengan pengalaman membaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika mengikuti kisah yang didongengkan, pembaca mengenali karakter-karakter yang diciptakan penulisnya—dengan watak masing-masing: peragu, pendendam, penyabar, mudah putus asa, teguh pendirian, penakut, dan banyak lagi. Lewat imajinasinya, penulis membawa pembaca ke dalam suasana konflik, kecemasan, keriangan, kesendirian, apapun suasana yang mungkin untuk direka. Juga tentang kesadaran akan diri sendiri, seperti dalam Tegak Lurus dengan Langit.

Pembacaan karya sastra lantas meninggalkan jejak-jejak positif ke dalam diri pembacanya: lebih sensitif terhadap nuansa di sekelilingnya, lebih mampu berempati, lebih sanggup memahami pandangan orang lain yang berbeda. Membaca karya sastra, dengan begitu, memperbaiki kecerdasan emosional. Cerita fiksi, kata novelis dan psikolog Keith Oatley, menawarkan stimulan yang kuat terkait dengan pengalaman sosial—bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana menempatkan diri di tengah lingkungan.

Karya fiksi juga mengajak pembacanya untuk mengikuti alur pengambilan keputusan tokoh-tokoh di dalamnya. Seperti dikatakan psikolog Maja Djikic dari University of Toronto, Kanada, orang-orang yang kerap membaca cerita pendek atau novel akan lebih siap menghadapi ketidakpastian ataupun ambiguitas. Pembaca terstimulasi oleh pikiran tokoh antagonis dalam sebuah novel yang mungkin merasa terombang-ambing dan bingung menghadapi situasi tak pasti. Konflik dan ketidakpastian yang diciptakan oleh penulis akan mengondisikan pembaca untuk semakin terbiasa dengan situasi seperti itu di dunia nyata.

Manfaat inilah yang dibawa oleh Joseph Badaracco, guru besar di Harvard Business School, ke dalam kelas manajemennya. Memadukan karya sastra dan manajemen adalah gagasan yang menarik. Seperti kita tahu, kerjasama tim maupun kepemimpinan memerlukan kemampuan dan kesediaan untuk memahami persoalan dari sudut pandang orang lain. Begitu banyak kepala, begitu banyak pikiran. Membaca karya sastra, kata Badaracco, melatih pembacanya untuk menguatkan kemampuan memahami perspektif orang lain yang beragam.

Karakter-karakter dalam novel dengan perspektif berpikir yang berbeda-beda meninggalkan jejak pada pembacanya untuk melihat persoalan dari berbagai kemungkinan maupun beragam motif dan kepentingan. Sekurang-kurangnya pembaca akan berusaha mengerti mengapa orang lain berpikir seperti itu, dan pemahaman ini diperlukan oleh orang-orang yang bekerja dalam tim maupun yang menjadi leader dalam organisasi. Bahkan, dalam hidup sehari-hari.

Membaca karya sastra, pada akhirnya, bukanlah kesia-siaan. (foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB