"A poem begins as a lump in the throat, a sense of wrong, a homesickness, a lovesickness."
--Robert Frost (Penyair, 1874-1963)
Penyair berdarah Palestina Ashraf Fayadh dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Arab Saudi karena puisi-puisinya dianggap mencerminkan kemurtadan. Ini bukan yang pertama dalam sejarah manusia.
Pelarangan dan penghancuran buku, bahkan hukuman penjara dan hukuman mati bagi penulis, bukan fenomena modern. Sejak berabad-abad silam, di berbagai wilayah, pelarangan buku sudah berlangsung karena beragam alasan: mengganggu ketertiban umum, melanggar moral masyarakat, menyebarkan agitasi, melawan pandangan resmi keagamaan, maupun menentang dogma penguasa.
Di masa Yunani kuno, Lysistrata, naskah drama karya Aristophanes yang dipublikasikan pada 411 SM, dilarang beredar karena isinya dianggap menghasut warga Yunani agar tidak berperang. Naskah drama Lysistrata mengisahkan pemogokan seks para isteri agar para suami tidak berangkat ke medan perang Peloponnesia yang berlangsung antara Athena dan Sparta.
Hingga beberapa ratus sesudah kematian penulisnya, Lysistrata pernah dilarang di Yunani pada masa junta militer (1967-1974) karena dianggap menyebarkan semangat antiperang. Yunani, ketika itu, tengah bersengketa melawan Turki dalam isu Pulau Cyprus.
Setelah Aristophanes, Sokrates adalah cendekiawan lain yang juga menghadapi tekanan penguasa. Sokrates bahkan dihukum mati pada 399 SM karena dua alasan. Pertama, ia dianggap menolak para dewa yang diakui oleh negara dan memperkenalkan ketuhanan baru. Kedua, menyesatkan anak-anak muda dengan paham barunya. Meski tidak melibatkan penyensoran karya tulis, tapi peristiwa ini dianggap sebagai sensor pertama terhadap kebebasan berbicara.
Kira-kira pada 367 SM, seperti disebutkan oleh Elaine Pagels, Athanasius—uskup Alexandria—mengeluarkan surat yang berisi tuntutan agar para pendeta Mesir menghancurkan semua tulisan yang ‘tidak dapat diterima’, kecuali tulisan yang secara khusus didaftar sebagai ‘dapat diterima’. Tentu saja, yang dimaksud dengan ‘dapat diterima’ ialah yang sesuai dengan paham yang dianut negara.
Dua abad setelah Aristophanes, di wilayah Cina, mengikuti bisikan menteri Li Si, Kaisar Qin Shi Huang memerintahkan pembakaran seluruh buku filsafat dan sejarah selain dari negara Qin. Karya filsof Konfusius tak luput dari penghancuran. Perintah ini mulai berlaku sejak 213 SM. Penguasa menempuh cara yang brutal untuk menghancurkan pandangan yang berbeda dengan penguasa.
Para cendekiawan menolak perintah untuk membakar Shih Ching atau Buku Sejarah dan Shu Ching atau Buku Ode. Pembangkangan ini dibalas dengan penguburan hidup-hidup sebagian besar cendekiawan yang tidak sepakat dengan dogma negara
Di Roma, karya Homer Odyssey menghadapi persoalan ketika Kaisar Kaligula pada 35 M berusaha melarang karya ini karena mengekspresikan gagasan Yunani tentang kebebasan. Naskah puisi epik ini diperkirakan disusun oleh Homer pada sekitar abad ke-8 Sebelum Masehi.
Hingga di era modern, penyensoran, pelarangan, maupun pembakaran buku masih saja berlangsung—di negara yang menyebut diri demokrasi sekalipun. Lysistrata pernah dilarang beredar di AS oleh Pabean negara ini.
Dalam beberapa peristiwa pelarangan, alasannya tidak sehebat sebelumnya—seperti bertentangan dengan pandangan resmi negara. Alasannya bahkan terkesan menggelikan. Misalnya saja, komik Mickey Mouse keluaran Walt Disney dilarang beredar di wilayah bekas Yugoslavia pada 1937 karena dianggap menyebarkan kecenderungan anti-monarki. Begitu pula, karya Lewis Carroll yang mashur, Alice’s Adventures in Wonderland, dilarang beredar di Cina pada 1931 dengan alasan ‘hewan tidak berbicara dalam bahasa manusia’. ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.