x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mereka Mashur dengan Nama Samaran

Sejak berabad yang lampau nama pena dipakai oleh para penulis untuk menyamarkan nama asli mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I use a pseudonym, because my real name is very difficult to pronounce, to remember, and to spell.

--Jeff Gannon (Jurnalis, 1957-...)

 

Banyak penulis memakai nama samaran atau nama pena saat mempublikasikan karya mereka. Sebagian besar penulis tidak pernah menjelaskan alasan khusus mereka menyembunyikan nama asli. Orang hanya dapat menduga-duga latar belakangnya, termasuk ketika J.K. Rowling memilih untuk memakai nama Robert Galbraith untuk novel The Cuckoo’s Calling (2013), The Silkworm (2014), dan Career of Evil (2015). Rahasia nama samaran Rowling hanya berusia kurang dari satu tahun sejak The Cuckoo’s Calling diterbitkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Telanjur dikenal sebagai pencipta serial Harry Potter yang hidup di dunia sihir, Rowling rupanya ingin mencoba kefasihannya dalam mendongeng dalam genre selain fantasi, yakni kriminalitas. Rowling agaknya berusaha lepas dari bayang-bayang Harry Potter. Ia tak ingin memerangkap dirinya dalam satu genre. Tentu saja, upaya ini tidak mudah ia lakukan tanpa menggunakan nama lain lantaran asosiasi yang sangat kuat antara Rowling dan Potter.

Lalu ada George Orwel. Nama Orwell  lekat dengan tema keasadaran akan ketidakadilan sosial, oposisi terhadap totalitarianisme, dan dukungan yang lantang terhadap sosialisme demokratik. Orwell bukan hanya novelis, tapi juga esais yang prolifik, serta menulis kritik sastera dan karya jurnalistik. Ia merekam pengalaman hidupnya di lingkungan kelas pekerja di Inggris bagian utara dalam The Road to Wigan Pier (1937) dan dalam Perang Saudara di Spanyol dalam Homage to Catalonia (1938). Homage diakui sebagai esai yang tajam mengenai politik, kesusasteraan, bahasa, dan budaya.

Sangat dikenal berkat karya distopian-nya, novel Nineteen Eighty-Four (terbit pada 1949) dan novel pendek alegorisnya Animal Farm (1945), Orwerll adalah nama samaran Eric Arthur Blair. Nama penanya begitu mashur bahkan kata Orwellian kemudian dikenal sebagai istilah yang menggambarkan praktik-praktik totalitarianisme dan otoritarianisme. Lewat karyanya, Orwell juga menawarkan banyak neologisme seperti perang dingin, Big Brother, polisi pikiran, lubang memori, doublethink, dan thoughtcrime (kejahatan pikiran)

Di dunia komik ada kartunis Belgia Georges Prosper Remi (1907-1983) yang lebih dikenal sebagai Hergé. Karyanya yang mendunia, Petualangan Tintin, dianggap sebagai komik Eropa paling populer dan digemari di berbagai penjuru dunia. Lahir dalam keluarga menengah-bawah di Brussels, Remi memulai kariernya dengan menyumbang ilustrasi untuk majalah Scouting. Kemashuran komik Tintin selalu dikaitkan dengan Hergé ketimbang Remi.

Nama Samuel Langhorne Clemens (1835-1910) juga tenggelam oleh ketenaran Mark Twain—yang dikenal sebagai novelis berkat The Adventures of Tom Sawyer (1876) dan sekuelnya, The Adventures of Huckleberry Finn (1885). Begitu pula dengan Lewis Carroll, yang sangat dikenal berkat karyanya Alice’s Adventures in Wonderland. Penulis bernama asli Charles Lutwidge Dodgson ini juga seorang matematikawan dan fotografer. Nama Mark Twain dan Lewis Carroll lebih mashur.

Entah karena untuk menyamarkan profesinya sebagai politikus dan diplomat, Ricardo Eliécer Neftali Reyes Basoalto (1904-1973) memilih nama Pablo Neruda dalam kapasitasnya sebagai penyair. Peraih Hadiah Nobel Sastra 1971 ini ‘meminjam’ nama belakang penyair Ceko, Jan Neruda. Sesungguhnya, ia lebih dulu seorang penyair ketimbang diplomat, karena sejak usia 10 tahun ia telah menulis sajak. Ia kerap menulis dengan tinta hijau. “Ini simbol personal untuk hasrat dan harapan,” kata Pablo, yang oleh novelis Kolombia Gabriel Garcia Márquez dijuluki ‘penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun’. Harold Bloom memasukkan nama Neruda sebagai salah satu dari 26 penulis terpenting dalam ‘Tradisi Barat’ di bukunya, The Western Canon.

Bila menyebut nama-nama penulis cerita spionase, John le Carré sukar untuk dilupakan. Pengalamannya sebagai agen yang bekerja untuk badan intelijen Inggris menjadikan novel-novelnya kaya akan detail, plot, dan nuansa. Ia meninggalkan MI6 setelah novel ketiganya, The Spy Who Came in from the Cold (1963) meraih sukses dalam penjualan, meraih penghargaan Edgar Allan Poe, dan kemudian difilmkan dengan aktor utama Richard Burton. David John Moore Cornwell, nama asli John le Carré, mengukuhkan diri sebagai penulis fiksi spionase.

Sebagai penulis, nama Kimitake Hiraoka (1925-1970) mungkin kurang familiar di telinga pembaca sastera Jepang. Namun, sebagai Yukio Mishima, ia diakui sebagai salah seorang penulis terpenting Jepang di abad ke-20. Tiga kali Mishima dinominasikan untuk Hadiah Nobel Sastra, namun tak pernah memperolehnya—bahkan pada 1968, Hadiah Nobel diberikan kepada rekan senegaranya, Yasunari Kawabata. Mishima dianggap fasih dalam memadukan estetika tradisi dan modern dengan menembus batas-batas budaya yang memisahkan keduanya.

Pemakaian nama pena sebenarnya bukan fenomena modern. Penulis, sejarawan, dan filosof Prancis, Fançois-Marie Arouet (1694-1778) menggunakan nama Voltaire dalam tulisan-tulisannya yang menganjurkan kebebasan beragama, berekspresi, dan pemisahan gereja dari negara. Arouet juga menulis sajak, esai, novel, dan naskah drama sebagai sarana untuk mengritik intoleransi, dogma agama, maupun institusi negara pada masanya.

Nama Voltaire diduga merupakan anagram dari Arovet Li—perpaduan dari ejaan Latin namanya, Arouet, dan surat-surat awalnya ‘le jeune’ (‘pemuda’). Nama Voltaire juga mengisyaratkan pembalikan dari nama keluarga ningrat di wilayah Poitou, yakni Airvault. Para ahli menafsirkan pemakaian nama Voltaire sebagai ‘perpisahan’ dirinya dari keluarga dan masa lampaunya.

Berabad-abad sebelum Voltaire sudah ada Abu Nuwãs (756-814). Tidak banyak penulis yang namanya dikenang dalam tradisi cerita rakyat seperti Abu Nuwãs yang bernama asli Abu-Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Penyair klasik ini lahir dari pasangan ayah berdarah Arab dan ibu berketurunan Persia. Kisah tentang kecerdikan Abu Nuwãs di masa pemerintahan Khalifan Harun ar-Rasyid bahkan muncul dalam dongeng Seribu Satu Malam, yang masih terus diceritakan hingga hari ini. (ilustrasi gambar Abu Nuwas dalam rekaan Kahlil Gibran, 1916) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB