x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perempuan Imajiner di Simpang Identitas

Apa yang mengejutkan dari 'Tempurung', novel Oka Rusmini yang terbaru ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul Buku : Tempurung

Penulis : Oka Rusmini

Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumlah Halaman : iv + 460

Cetakan : I / 2010

Ketika sebuah karya sastra, khususnya novel ataupun tulisan prosa lainnya, dihadirkan ke hadapan para pembaca, boleh jadi yang mula pertama diperhatikan adalah sejauh manakah sebuah kalimat pembuka ataupun alinea awal dapat menggoda khalayak untuk terus menyimak halaman demi halaman dari kisahan tersebut. Hal ini terus berlanjut, hingga kemudian kita sampai pada bagian terakhir, di mana segala penyelesaian atas persoalan para tokoh dituntaskan atau bahkan dipertanyakan kembali. Dan sewaktu sampai pada titik di baris penutup, pembaca pun berada dalam pilihan: menutup buku dan tak akan membacanya ulang.

Pengalaman seperti itu boleh jadi tidak kita alami sewaktu membaca novel terbaru karya Oka Rusmini, “Tempurung”. Buku setebal 460 halaman ini sengaja dibagi dalam tiga bab utama, di mana kisahan ditampilkan dalam sekuel-sekuel peristiwa, seakan berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan jalan cerita ataupun fokus masalah pada satu tokoh utama tertentu. Bahkan, berbeda dengan novel Oka sebelumnya, ”Tarian Bumi” (2000) dan ”Kenanga” (2003), konflik yang terjadi di dalam karya yang diterbitkan oleh Grasindo ini pun bagaikan tidak terbangun dalam suatu struktur dramaturgi yang padu.

Terlebih lagi, gaya penceritaannya kali ini dapatlah dibilang unik, di mana kerapkali ditampilkan berbagai percakapan panjang dengan kalimat-kalimat singkat dari para tokoh anonim, seolah menggambarkan adegan-adegan gunjingan yang sarat dengan prasangka dan kecurigaan berlebih. Tak hanya itu, tokoh-tokoh “aku” di dalamnya seringkali beralih, dari penutur satu ke sosok lainnya. Hal ini justru menghadirkan suatu pertanyaan bagi kita semua, apa sesungguhnya yang hendak ditawarkan oleh penulis Oka Rusmini dalam karyanya kali ini? Adakah ia, dalam novelnya ini, sesungguhnya tengah menyangsikan realitas masyarakat kita sebagai suatu keutuhan kehidupan?

Perempuan dalam Tiga Bagian

Kendati dibagi dalam tiga bab utama, pada dasarnya peristiwa dalam “Tempurung” mengisahkan tema yang sama, yakni pemertanyaan akan identitas serta realitas perempuan di kehidupan sosial modern maupun tradisi. Bila dalam novel “Tarian Bumi” dan “Kenanga” perempuan dihadirkan sebagai sosok yang berada pada simpang pilihan, antara tradisi serta cinta murni yang mencerminkan kebebasan pribadi, “Tempurung” justru mengemukakan polemik yang jauh lebih pelik, yakni tak semata mempertanyakan hakikat cinta antara lelaki dan perempuan ataupun orangtua dengan anaknya, melainkan juga kesangsian atas pandangan tradisi dalam kenyataan kekinian, yang kemudian menggiring para tokohnya pada pengalaman hidup yang tak kalah tragiknya.

“Tempurung” dibuka oleh bab utama yang bertajuk “Penjaga Warung”. Dengan kalimat pembuka yang menyiratkan kekaguman tokoh “aku” terhadap kecombrang, sejenis bunga yang dianggap mewakili sosok lelaki, cerita pun memasuki gambaran pengalaman perempuan Bali sehari-hari yang dituturkan secara mengalir. Di bagian kedua, “Tuhan Untuk Lelaki”, nyata tergambar kepada pembaca perihal peliknya kehidupan perempuan Bali. Di sini, gugatan ataupun pertanyaan atas keadilan, kasta dan kemanusiaan tak hanya ditujukan kepada takdir ataupun Sang Hakikat, melainkan juga terhadap diri masing-masing tokoh. Simak saja misalnya bagaimana Sipleg, seorang perempuan pembantu rumah tangga di Ubud, yang mesti mengalami kepahitan kehidupan karena tudingan miring masyarakat terhadap keluarganya serta kebenciannya yang memuncak terhadap sang ibu, Songi, yang dianggapnya tak mampu bersikap terhadap ayahnya dan juga nasibnya sendiri.

Pada bab utama ini pula, pembaca dapat menemukan serangkaian adegan gunjingan yang boleh jadi merupakan bagian yang tak dapat dipungkiri dari kehidupan sosial kita sebentuk komunikasi komunal yang masih tetap terjadi hingga kini. Sebagai akibatnya, sang tokoh dalam bagian ini, baik Sipleg, Songi, maupun Ni Luh Wayan Rimpig ibu Songi, ditampilkan sebagai para perempuan yang hampir tak pernah berucap, cenderung introvert dan menolak melakukan komunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Boleh jadi ini dianggap penulisnya sebagai bentuk “kemenangan yang lain” dari para perempuan atas kehidupan sosialnya yang rumit, sebentuk absurditas di mana seorang perempuan hanya merdeka dalam kebisuan dan angan-angannya sendiri.

Lain lagi dengan tokoh Rosa, seorang perempuan dalam bagian ketiga, yakni “Rumah Perkawinan”, yang agaknya dianggap mewakili simpang identitas antara manusia Bali yang tradisi dengan pergaulan global di Benua Eropa, tepatnya Prancis. Di sini Rosa justru mengalami kegamangan atas makna cinta orang tua dan lawan jenis. Sosok ayah, yang memiliki kepribadian tertutup, serta tak pernah peka terhadap kondisi putri dan istrinya. Namun, berbeda dalam kisah-kisah sebelumnya, di mana karakter ayah ditampilkan sebagai sosok yang berjarak dengan keseharian keluarga, Papi dari Rosa justru selalu hadir secara nyata dalam kehidupan rumah tangga. Ini malahan menjadi konflik tersendiri bagi Rosa yang kala itu masih berusia sepuluh tahun. Terlebih sang ibu, yang dideskripsikan sebagai perempuan intelek yang modern, selalu menjaga citraan keluarga yang harmonis, baik terhadap putri dan lingkungan sekitarnya: sesuatu yang justru makin memicu konflik batin yang dialami oleh sang anak.

Novel ini ditutup dengan deskripsi yang agak ganjil tentang seorang gadis belia nan jelita, yang ternyata memiliki kelainan psikologis. Adalah Sarah, majikan dari Sipleg, yang menjadi kunci akhir seluruh cerita. Sarah, yang ternyata adalah salah satu keluarga Maya, tokoh perempuan yang juga sahabat karib Dayu, mempunyai riwayat kehidupan yang tak biasa: cenderung berlaku aneh, bahkan juga mencekik serta menggantung Tuan Courtemein, ayahnya sendiri, hingga tewas.

Realitas dan Identitas

Oka Rusmini, seperti dalam karya-karya sebelumnya, mampu menggambarkan kompleksitas kehidupan perempuan secara kuat, bukan hanya dari sisi bahasa penceritaan, namun juga dalam gambaran adegan yang dihadirkannya. Menariknya, kendati masih mengangkat tematik tubuh serta konflik adat sebagai isu utamanya, Oka kali ini agaknya menyadari pentingnya mewacanakan suatu identitas sosial yang lebih setara tanpa stigma diskriminasi di lingkungan masyarakat modern, terutama bagi kaum perempuan. Persoalan kasta, pertentangan dengan adat serta tradisi yang kaku, juga masalah-masalah yang berkaitan dengan posisi tawar perempuan dalam budaya patriarki memang masih mengemuka, namun kini agaknya mulai dikembangkan dengan tema serta konteks yang lebih luas, mulai pemertanyaan mengenai identitas pribadi di dalam lingkungan sosial yang global, hingga problematik kehidupan mantan pelacur dalam sosialita masyarakat.

Tak hanya itu, dalam “Tempurung”, permasalahan ekonomi kemiskinan dan keterbatasan akses pun diangkat sedemikian rupa sehingga menjadi tema yang menarik, terlebih setelah dikaitkan dengan ketegangan peran antara perempuan dan lelaki.Selain itu, justru karena sedari awal telah dibangun situasi konflik tentang perkawinan,Tuhan, cinta lahiriah, problematik tubuh dan seksualitas pun dapat diketengahkan secara wajar, dan seakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian kekinian. Namun, sebagaimana yang dikemukakan oleh Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya, kita tidak dapat secara mudah menilai suatu kesusastraan yang tanpa seks sebagai kurang atau lebih, sebab yang menentukan di sini adalah sikap para pengarang terhadap masalah itu.

Apa yang dilakukan Oka dengan menjalin beragam tematik dalam bentuk sekuel-sekuel seperti ini dapat dikatakan sebagai suatu kemungkinan baru dalam kesusastraan kita, yang semoga dapat menjadi cerminan bagi kita untuk melihat kenyataan lain dari pergaulan sosial kita. Sekuel-sekuel peristiwa seperti ini juga menawarkan hal yang terbilang unik, yakni bagaimana fokus penceritaan justru sengaja tak diutamakan

pada satu orang saja. Kalau misalnya ”Tarian Bumi” menampilkan Telaga sebagai sentral pengisahan, “Tempurung” malahan seolah membebaskan semua tokoh-tokohnya untuk hidup dalam peristiwa dan permasalahan hidupnya masing-masing. Dalam novel ini, kerap pula kita menemukan peralihan peran ”aku”, dari sosok Dayu — sang aku yang hidup pada realitas kekinian berganti pada Sipleg, Ni Made Arsiki Wulandari,hingga tokoh Rosa pada Bagian Ketiga.

Dengan adanya bentuk sudut pandang seperti ini, pembaca seolah turut merasakan — bahkan mungkin juga hadir sebagai tokoh yang berlainan, dengan persoalan yang berbeda pula. Adanya kesengajaan seperti ini, bagaikan memberikan pandangan baru pada kita, bahwa tiap-tiap perempuan yang terdapat pada “Tempurung” memiliki identitas yang jamak, seakan-akan sosok “aku” imajiner di dalamnya turut juga mewakili “aku” orang banyak. Dibandingkan dengan novel-novel Oka sebelumnya, jelaslah “Tempurung” menyajikan kemungkinan lain bagi pembaca. Setiap kali kita beralih dari satu kisah satu perempuan ke cerita perempuan lainnya, pembaca seolah dapat menyimak kehidupan masing-masing tokohnya yang beragam, serta dapat saja mengindentifikasi identitasnya sendiri di tengah kehidupan lokal dan global yang saling bersilang ini. Hal ini juga menuntun kita untuk tidak hanya berhenti pada satu cerita dan melupakannya seperti laiknya menutup sebuah novel.

Pembaca harus melanjutkannya, dengan pengalaman dan pandangannya sendiri-sendiri. Boleh jadi, inilah tujuan mengapa Oka memilih menggunakan sekuel pengisahan dalam novelnya kali ini: untuk meneruskan cerita dengan penyikapan dan pemertanyaan pribadi masing-masing atas kenyataan hidup dan kehidupan. Dengan demikian, para pembaca pun dapat menimbang hingga akhirnya melampaui “Tempurung” yang membatasi kebebasan dan sekat-sekat sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat kita.

*) Resensi telah dimuat di Bali Post

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB