x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sebab Semua Untuk Hindia

Tiga belas cerpen Iksaka Banu mengajak kita melihat segala rupa Hindia Belanda di masa lampau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Semua Untuk Hindia (Kumpulan Cerpen)

Penerbit: KPG, 2014

Halaman: 154

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

ISBN: 978-979-91-0710-7

 

Banyak dari kita tentu gemar membaca sejarah. Serta bersukalah bilamana ada pula di antaranya yang mengandrungi karya sastra, sebab kumpulan cerpen Iksana Baru yang terbaru, Semua untuk Hindia (KPG, 2014), memadukan keduanya itu.

Tigabelas cerpennya menyajikan peristiwa historis yang berbeda-beda, dituturkan dengan sudut pandang aku orang pertama, yang seakan ingin menegaskan kehadirannya sebagai saksi sejarah atau pelaku dalam pusaran kejadian. Kendati begitu, kita tidak akan menjumpai tokoh-tokoh besar di dalamnya—sebagaimana lazimnya karya sejarah yang memfokuskan pada nama-nama tenar dan penting—kecuali sederetan nama tak dikenal (semuanya fiktif, tentu saja) yang tuturan dan tindakannya terasa mewakili pikiran-pikiran penulisnya atas babakan-babakan peristiwa masa silam tersebut.

Seorang wartawan yang idealis menentang perang puputan, tersimpang ragu adakah mesti berpihak pada Belanda atau pribumi. Letnan Belanda berdarah Indo yang urung mengeksekusi pemuda nasionalis karena rekah kenangan akan ibu Melayu di masa lalu. Tuan tanah perkebunan yang mengusir nyai kesayangannya karena istri yang sah akan tiba dari Nederland. Atau pribadi ‘aku’ lainnya: pastur yang mendampingi kapal pelayar Cornelis de Houtman, wartawan mencari kekasihnya di tengah kecamuk perang, polisi yang menyelidiki hantu besar di sebuah gudang di Cilacap, dan sebagainya. Begitu beragamnya pribadi yang dihadirkan, bagai ingin menggambarkan betapa beranekanya kronik kejadian dalam sejarah kita.

Dari tigabelas tokoh utama, tujuh di antaranya dikisahkan berasal dari kalangan Belanda totok, alias memang berdarah murni negeri Nederland, empat lainnya ialah golongan Indo (peranakan Belanda dan pribumi), sedangkan hanya satu tokoh saja yang konon merupakan orang asli negeri ini—diceritakan sebagai nyai yang memang punya hubungan dengan tuan tanah Belanda serta punya selera hidup sepertinya. Tidak ada satu pun sosok yang menggambarkan wajah asli pribumi Hindia Belanda, dan apakah ini kesengajaan atau tidak, kiranya perlu juga dicermati. Kalaupun ada tokoh pribumi, itu pun disampaikannya sebagai sampiran (Untung Surapati dalam ‘Penunjuk Jalan’ dan Pangeran Diponegoro di karya berjudul  ‘Pollux’), yang bahkan terkesan seperti dicari-rujuk untuk konteks waktu dan tempat latar cerpen yang diinginkan.

Barangkali, Iksaka Banu seperti tidak ingin meramaikan kembali kisah fiksi sejarah yang bersumber dari pribadi-pribadi pribumi sebagaimana yang dilakukan Pram, misalnya? Ataukah ia memang mencoba menampilkan Indonesia dari perspektif orang luar di masa itu?

Bagaimanapun itu, untuk ukuran tokoh yang diniatkan bukan sebagai sosok besar dan penting dalam sejarah, para ‘aku’ dalam cerita terasa begitu cergas, menuturkan atau menindakperan dalam arus sejarah yang kelihatannya linier tunggal makna. Para ‘aku’ tersebut memandang peristiwa yang dihadapinya secara lurus dan terbuka. Penulisnya seperti ingin mengelak bahwa sejarah pun berkemungkinan multitafsir seiring ditemukannya data-data baru. Atau, sang pengarang tidak bermaksud untuk membuat lapis kejadian yang melampaui sejarah itu sendiri, menisbikannya sebagai fantasi dan ironi agar pembaca menemu rasa yang lain dari sekedar data historis yang dibumbui kisahan fiksi.

Ini salah satu tantangan dalam menulis fiksi yang berangkat dari sejarah. Perlu hal yang lebih untuk menjadikan kronologi histori menjadi tuturan cerita yang kaya dimensi. Apabila tidak berhasil meramu padu antara fakta dan fiksi, semata-mata hanya membuat kisah tempelan dari peristiwa historis, maka ia bisa tergelincir menjadi cerita romantik yang tokoh, latar dan konfliknya bisa dihadirkan di kejadian sejarah yang lain, nun di belahan dunia yang lain. Kegamangan sosok ‘aku’ dalam peristiwa pembantaian etnis Tiongkok tahun 1740 (cerpen ‘Bintang Jatuh’) bisa saja dipasangkan pada kegamangan seorang tentara Jerman di tengah genosida yang dilakukan Nazi, misalnya. Atau sosok ‘aku’ yang diselamatkan jongosnya dari kecamuk kerusuhan melawan Belanda di Cilegon pun dapat dipindahkan dalam kejadian perang Asia Timur Raya.

Semua itu mungkin saja terjadi andai sang pengarangnya tidak mampu menghadirkan jiwa zaman bangsa yang ditulisnya, katakanlah, sebentuk gejolak batin yang menghantui arus sejarah di masa itu dan mengubah laku pandang masyarakatnya. Kisahnya harus mampu menukik ke dunia terdalam dari negerinya, tidak berhenti menjadi sekadar riset latar semata-mata yang akan mengesankan ceritanya sebagai pelesir mesin waktu.

Menyikapi Kolonialisme

Dengan segera kita menemukan karakteristik lain dari para tokoh 'aku' dalam kumpulan cerpen ini: selalu bertaut dengan posisinya sebagai tentara, wartawan ataupun tuan tanah. Ketiganya memang posisi yang krusial dan sangat logis untuk ditampilkan sebagai sosok penyaksi peristiwa dari sudut pandang paling menyeluruh. Lain dari itu, mereka juga menunjukan sebuah kelas yang 'mengatas', punya kuasa atas berbagai sisi di tanah jajahan, atau minimal akses pengetahuan mengenai segala-galanya yang terjadi.

Walau demikian, kita pun dihadapkan pada kondisi lain dari karakter tokoh yang seharusnya 'mahatahu' tersebut, yakni ketidakmampuan mereka dalam mengerti pusaran sejarah maupun jejaring skandal politik yang sesungguhnya sedang berlangsung. Tokoh-tokoh yang kelihatannya idealis (beberapa mungkin kedengaran cerdas dengan dialog-dialog yang mencerminkan kepeduliannya pada pihak terjajah) ternyata tidak berdaya dalam mencegah amuk maupun menguraikan hal-hal yang berkemanusiaan dari peperangan. Baik, kita tentu tidak bisa mengharapkan adanya sosok yang sebegitu sempurna, bahkan juga dalam karya, namun kesadaran Iksaka Banu dalam menempatkan karakter yang terasa kontras ini bisa menjadi pertimbangan betapa kolonialisme pun tidak pernah berwajah tunggal. Ia menjajah dan bermakna negatif, tentu. Akan tetapi, di sisi lain ia bisa jadi bermakna sebaliknya, sebagaimana tokoh-tokoh Indo dalam cerpen yang bersimpati pada pribumi.

Gambaran-gambaran seperti ini kita jumpai pada dialog di beberapa judul cerpen yang masing-masing mengetengahkan pribadi-pribadi yang saling bertentangan: satu di antaranya memihak sepenuhnya pada kehendak berkuasanya kolonialisme, sedangkan lainnya meragukan kehadirannya. Simak misalnya dialog dalam 'Bintang Jatuh', seusai Kapten Twijfels mengeluhkan sikap dan kelakuan para pendatang Tionghoa, sang 'aku' yang adalah bawahannya justru melawan:

"Mereka menghasilkan uang. Tetapi uangnya masuk ke saku pribadi pegawai pemerintah. Kas negara terlantar, sementara para oknum hidup mewah....dan kini kita ingin para Tionghoa ini pergi, karena tak sanggup lagi bersaing dengan mereka, yang tetap bertahan walau sudah kita jegal dengan aneka pajak serta surat izin tinggal."

Hal yang serupa dapat dengan mudah kita jumpai dalam ceritanya yang lain, tentu saja. Bacaan atas kolonialisme seperti ini pun memang pernah menjadi kesadaran dari beberapa penulis lainnya yang menekankan betapa kemanusiaan sangat penting dihayati dan harus mengatas kepentingan apapun. Terasa utopia, barangkali. Namun, demikianlah sebaiknya fiksi dimaknai, sebab ia dapat memberi kemungkinan bacaan baru atas dunia sejarah kita yang kadangkala diyakini sebagai kesahihan demi tujuan-tujuan tertentu.

Hidup Mati Tokoh Cerita

Bagian penutup dari ketigabelas cerita pendek Iksaka Banu juga menarik dicermati. Entah unsur kesengajaan ataukah tidak, kita selalu menemukan penyelesaian kisah yang kalau tidak dibuat mengambang (apakah tokohnya mati atau sebaliknya), pasti ia selamat secara ajaib dari peristiwa perang maupun kerusuhan berdarah. ‘Keringat dan Susu’ dengan urungnya eksekusi pemuda pribumi karena sang Letnan teringat ibu susunya yang berdarah Melayu; ‘Gudang Nomor 012B’ mengenai sosok perempuan lepra yang diselamatkan opsir polisi; ‘Tangan Ratu Adil’ dan ‘Di Ujung Belati’ yang sama-sama tokoh utamanya terselamatkan oleh orang yang sama sekali tidak ia duga kebaikannya; juga cerita lain seperti ‘Bintang Jatuh’, ‘Pollux’ dan ‘Penabur Benih’.

Mungkin terdengar berlebihan, bahwa kecenderungan yang nyaris serupa ini adalah karena niatan pengarangnya agar para tokoh sengaja dibiar hidup sebagai cerminan bahwa sejarah pun tetap tumbuh berlanjut? Yang jelas, dunia ‘selamat hidup’ yang serba kebetulan ini ternyata cukup menggelitik pertanyaan, justru karena dihadirkan dalam pola yang relatif berulang. Kita pun tidak menjumpai tragiknya nasib manusia, kendati betapa ngerinya adegan-adegan yang dihadirkan pada pembuka maupun titik puncaknya, sebab kesangsian yang semestinya dibiarkan berkesan dalam benak pembaca justru ditiadakan dengan penutup yang lugas ini.

Riset yang dilakukan Iksaka Banu untuk tiap-tiap cerpennya memang terasa cair dan mengalir, kendati sang pengarangnya tetap mencoba untuk bersetia pada peristiwa sejarah. Ketekunan melakukan pecarian, sebutlah, kondisi Batavia yang menjadi latar cerita merupakan hal yang penting diperhatikan sebagai kemungkinan penciptaan bagi penulis lainnya. Giliran berikutnya, guna membuahkan kreativitas yang mumpuni, sekali lagi, tetaplah diperlukan daya kritis yang tidak berkesudahan dalam mencermati data dan fakta demi menciptakan karya sastra yang mengajak pembaca menimbang masa lalu, pun keniscayaan kekiniannya. Andaikan ada yang kuasa memadukannya dengan visi masa depan sebagai refleksi dari sejarah, wah!

 

Sumber foto: kehendakbaru.wordpress.com

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB