Buku kumpulan sajak Ahda Imran terkini, Rusa Berbulu Merah, tersusun dalam enam bagian yang seolah tidak saling bertaut. Masing-masing pilahan menghadirkan puisi buah cipta 2008 – 2013 yang mengeksplorasi aneka pilihan tematik, mencoba melepas bebas mitos, kilas balik perjalanan dan memberi arti bagi suatu tempat maupun tokoh, hingga pencarian estetis atas puisi. Barangkali berlebihan, namun pengalaman saya membaca buku ini persis bagaikan menelusup ke sebuah gelap rimba, mencari rupa seekor rusa berbulu merah, yang dalam proses pengembaraan itu mengarahkan pikiran saya atas makna kefanaan: kata-kata rekah dan memudar seiring kehadiran sajak-sajak berikutnya, ular dan tubuh membisikan metafor bergantian, sebagaimana waktu yang menyilang kenangan dan sejarah—lantas tergantikan waktu lainnya yang melapis-lapis imaji. Ya, tidak lain kefanaan itulah yang menjadi benang merah atas sajak-sajaknya tersebut.
Kita mulai dari betapa fananya waktu. Lazim bagi banyak penyair untuk menuliskan kenangan atas tempat yang pernah disinggahi maupun didiami serta melakukan kilas balik yang menyentuh terhadapnya. Sitor Situmorang secara piawi melakukan ‘ulang-alik’ waktu dengan mempertautkan kesan kenangan berikut hampanya perasaan dalam sajak-sajaknya, entah yang ditulis di Eropa maupun Indonesia. Kisah harimau di kebun binatang di negeri jauh tak luput direspon bersama ingatan atas harimau Sumatera nun di tanah Toba—harimau yang merujuk pada nenek moyang terdahulu—menjadikan sajaknya sedemikian menggugah batin. Namun, kilas balik waktu itu justru berubah fana dalam sajak-sajak Ahda Imran. Alih-alih menghidup penuh kesan, waktu dalam kenangan dan kilasan tempat justru seolah meniada, lenyap, karena disandingkan secara apa adanya dengan kenyataan yang kini:
Lurus jalan menuju Suliki
di ujungnya persimpangan—
Koto Tangah dan Koto Tinggi
keduanya menuju ke dalam lembah
pegunungan, rimba raya, deretan
pohon pinus, ladang-ladang kopi
dan tembakau
…….
Surau dan lepau tepi jalan. Balai adat,
rumah lama dengan parabola, satu dua kedai
penjual handphone. Dari depan, udara dingin
menyongsong. Bau lengang dari jenjang rumah
dan sayup suara menyeru—
(Jalan Tan Malaka, Payakumbuh)
Berdarah Minang namun tumbuh besar di Sunda barangkali telah membuat makna kenangan atas tempat menjadi berbeda baginya. Tidak ada tempat yang benar-benar mengacu sebagai rumah muasal, yang dalam sajak-sajak penyair lain selalu hadir sebagai sesuatu yang dirindukan atau sebaliknya, justru ditolak. Hal ini kiranya sejalan pula dengan cara Ahda Imran dalam menyikapi waktu kenangan atas suatu tempat: nyaris seperti pelesiran, mencoba menggali renungan, dan sesekali berkelindan lukisan tinjauan mata. Beberapa karyanya yang menyinggung tempat lainnya, agaknya dibuat terlalu mempertimbangkan kesadaran atas waktu yang melintas ruang lampau dan kini, sehingga menjadi kurang rasa reflektif mendalamnya, namun tidak sebagaimana sajak Sungai Kapuas yang dipetik berikut ini:
Memandangmu dari sini—
dari teras kamar hotel dekat pelabuhan
sungai bergerak pelan. Langit putih, nafas
dan badanku dalam angin. Menghembus
atas air, menyentuh punggung ikan-ikan
…….
Di depanku kapal melintas
mungkin itu kapal dulu yang membawamu
meninggalkan ibu, ladang, sungai dan hutan kecil
di belakang rumah
…….
Kapuas terus menghilir ke arahku
sekaligus meninggalkanku. Berkelok
perlahan di bawah jembatan, terus
ke lubuk muara. Ke tempat suaramu
menggema
Waktu juga terasa lebih fana tatkala Ahda Imran menyilangkannya dengan sejarah dan kisah para tokoh. Histori yang acap menekankan pada kronologi tidak hadir dalam puisinya, digantikan dengan nilai imaji yang justru mampu membangun nuansa waktu, atau mungkin seluruh masa hidup dari sosok obyek sajaknya. Misalnya terbaca dalam puisi Tan Malaka berikut:
Pejalan jauh
tak bertubuh
pergi datang
tak berbayang
Atau sajak lain yang masih ditujukan bagi Tan Malaka, diberi judul Sajak Tan Malaka di Jakarta, 1945:
Kucurigai setiap orang melangkah
karena aku rusa berbulu merah
Kubuat sarang
tak berjejak tak berbayang
Di hari kemerdekaan
tubuh dan namaku tak berkejadian
tubuh dan nama yang berselisih jalan
Gelagat ke hari jauh
kubur bernama tak bertubuh
……
Ini sajak yang baik untuk menggambarkan keutuhan waktu yang mengepung hidup Tan Malaka, sosok yang kelihatannya cukup intens direspon Ahda Imran menjadi karya puisi. Masih ada beberapa judul lagi yang menunjukan pencariannya atas ‘ulang-alik’ waktu sejarah, masing-masing dengan kekhasannya tersendiri. Akan tetapi, yang perlu disampaikan dalam artikel ini adalah, betapapun karya-karya yang berangkat dari tokoh-tokoh historis ini dikreasikan ulang dalam sajak, kita masih bisa membaca bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam bingkai waktu yang telah ditetapkan oleh penyairnya, yakni di masa silam (tecermin dari diterakannya tahun pada judul atau suratan nama tokoh yang ditulis). Pembacaan atas puisi tersebut tentu menggiring kita dan merujuk pikiran pada masa yang dimaksud, tanpa jembatan yang mengaitkan kita ke masa yang kini. Barangkali bagi Ahda ini bukanlah hal yang penting, karena imaji pembaca (di masa sekarang) secara tidak langsung akan menautkannya berdasar kesan serta pengetahuannya yang dipunya.
Secara teknis, Ahda Imran juga tidak menyertakan tahun penulisan bagi tiap-tiap sajaknya, kecuali sebuah keterangan pada sampul yang menerangkan masa penciptaan dari seluruh isi buku kumpulan puisi. Kelihatannya, kehendak Ahda untuk tidak melampirkan tahun dan tempat penciptaan ialah karena ia memandang bahwa asosiasi dan pemaknaan atas sajak muncul dikarenakan pengalaman pembaca dalam bertemu dengan puisi ataupun hal-hal lain yang terkait, bukan tanggal dan lokasi penulisannya. Sekali lagi, di sini waktu sengaja ia nisbikan.
Figur yang Fana
Untuk menyinggung bagian kedua ini, kita bisa membaca sajak-sajak dalam buku yang menyinggung metafor ular dan Buddha—dua hal yang sepintas kelihatan sungguh berbeda. Satunya (idiom ular) berkali-kali muncul sebagai perumpamaan yang bertaut dengan tubuh, sesuatu yang sebenarnya memang telah acap direspon oleh penyair ataupun sastrawan dalam aneka rupa karyanya. Namun, karena sejak awal kita telah mencoba mencari suatu benang merah dari keseluruhan puisi yang dimuatkan, maka hadirnya ular yang dalam Perjanjian Lama merupakan muasal lahirnya dosa pertama, disandingkan dengan keheningan Sang Buddha dalam meraih pencerahannya, kita pun menemukan kaitannya, betapa tubuh yang fana, antara yang nista dan tercerahkan sesungguhnya merupakan kesatuan tematik yang dieksplorasi penyair ini.
Kita akan menemukan betapa ada kehendak melepas bebas mitos yang ingin diraih Ahda Imran, yang menjadikan ular sebagai mahluk misteri nun dari dalam diri manusia, menjelma menjadi tangan (misalnya) yang kemudian berubah sebagai kalajengking, atau bahkan seekor rusa. Di puisi yang lain, ular itu berbisik bagaikan kawan yang paling dekat dengan kita, bertumbuh sebagai umpana hubungan sepasang kekasih, kemudian lenyap sebagai kilasan kesan pada sajak-sajak lainnya. Puisi-puisi ini mencoba hadir selaku tokoh-tokoh imaji yang bisa disentuh, disaksikan sekaligus didengar—hal yang dapat saja menggiring lahirnya metafor-metafor personifikasi yang berjarak dengan kenyataan.
Namun, hal tersebut tidak kita jumpai dalam sajak Setenang Buddha yang berikut dipetik secara utuh.
Setenang Buddha
waktu menyusun maut pelan-pelan
menaruhnya dalam ruang setengah cahaya
setengah bayang
Pulang malam ke seberang siang
berenang badan ke puncak hilang
Maut berdiri di bunga padma
berjalan ia ke tepi perigi, diseduhnya
bayang langit, dibasuhnya segala
yang nestapa
Jantung waktu yang lembut
pergi pulang ke puncak hilang
tak lagi ia tersebut maut
terurai dari cahaya dari bayang
Setenang Buddha
Puisi yang singkat ini mampu menggambarkan hidup yang fana tatkala berhadapan dengan maut, di mana kematian dimaknai sebagai pencerahan diri. Kita juga menemukan metafor waktu yang berpadu utuh bukan hanya sebagai kronologi melainkan pula sebagai indikasi tempat dunia kini dengan dunia nun setelah mati. Simak misalnya bagaimana kata ‘bayang’ dan ‘siang’ dipergunakan untuk menimbulkan interpretasi atas hidup dan mati, muncul berulang-ulang dengan arti yang berbeda di setiap baitnya. ‘Bayang’ pada bait pertama mengandaikan tempat, sedangkan ‘bayang’ pada bait keempat barangkali menegaskan tercapainya pencerahan batin.
Kita pun masih punya pertanyaan, siapakah yang sesungguhnya setenang Buddha dan kuasa meraih pencerahan tersebut, lepas dari ikatan hidup dan mati, dari jeratan terang maupun bayang? Bait keempat membuat interpretasi yang kaya, betapa yang dimaksud itu ternyata adalah sang waktu sendiri yang tetap abadi dihadapan sang maut itu sendiri. Ataukah mungkin justru sebaliknya? Sang waktu yang dimaksud ternyata justru belum meraih pencerahannya, sebagaimana esensi dari ajaran Buddha yang menyatakan bahwa pencerahan bukanlah sebuah momen tunggal melainkan yang terus menerus berlangsung seiring berjalannya hidup dan karma mahluk hidup di alam yang fana ini? Bagaimanapun, sajak ini menimbulkan asosiasi mengalir—sesuatu yang tidak banyak dicapai Ahda Imran dalam buku kumpulan puisinya ini.
Segala waktu dan figur yang fana itu tidak selalu tampil utuh dalam sajak-sajak Ahda Imran, beberapa mungkin seperti berkelindan dalam metafora semata dan beberapa lainnya menjadi subyek yang bersilang ganti sehingga membutuhkan pendalaman pembacaan untuk menemukan makna yang dimaksudkan. Atau, barangkali memang demikian adanya waktu dan figur itu, dibiarkan sengaja tidak utuh menyeluruh, apa adanya, agar kemudian dinilai-sempurnakan oleh pembaca, seperti pengantar yang dituliskan Ahda pada bagian awal bukunya?
Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.