x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berbicara Lagi tentang Waktu

Waktu adalah sumber daya yang tak bisa diperbarui. Waktu berjalan terus ke depan, orang mempedulikannya ataupun tidak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“We all have our time machines. Some take us back, they're called memories. Some take us forward, they're called dreams.”
--Jeremy Irons (Aktor, 1948-...)

 

Membicarakan lagi ihwal waktu? Bagi kebanyakan orang, mungkin ini terdengar membosankan. Tidak bagi saya. Sebentar lagi, 2015 berlalu, lantas datang 2016—milenium ketiga sudah berjalan 15 tahun. Apakah kita menyadari atau tidak, waktu terus berjalan. Tak ada jeda. Tak ada kata berhenti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak ahli manajemen berkata bahwa beberapa sumber daya dapat disegarkan kembali: emosi, tenaga, pikiran, maupun spirit. Keempatnya dapat dipulihkan, namun waktu tidak termasuk di dalamnya. Waktu tidak tergantikan oleh apapun. Waktu adalah sumber daya paling langka yang ada di dunia ini.

“Sudah sangat jelas,” kata mendiang Steve Jobs, “bahwa sumber daya paling berharga yang kita miliki adalah waktu.” Mengapa? Kekurangan uang masih dapat diatasi. Bila tidak terlampau memilih, siapapun dapat memperoleh uang dari bekerja. Jika kita ingin membuka kedai kopi, kita dapat mengajak kawan untuk berkongsi agar kekurangan modal dapat tertutupi.

Tak punya material kayu untuk membangun rumah karena kayu semakin mahal, kita dapat memanfaatkan bambu. Bahan-bahan lama dapat diolah kembali menjadi sesuatu yang baru dan mungkin lebih menarik.

Apa yang dapat kita perbuat dengan waktu yang sudah berlalu. “Waktu yang hilang tak akan pernah kita temukan kembali,” ujar Benjamin Franklin. Kita tidak akan pernah mampu memperoleh kembali satu detik saja waktu kita yang hilang percuma. Apa lagi jika 30 menit, satu jam, dua pekan, hingga satu tahun.

Kesadaran kita tentang pentingnya waktu seringkali naik-turun. Ada kalanya kita membiarkan waktu berjalan dalam kekosongan. Barangkali, ini disebabkan oleh perasaan bahwa kita memperoleh waktu tanpa membayar sepeserpun. Kita tak perlu meneteskan keringat setitikpun untuk mendapatkan 24 jam. Kita tak perlu mengeluarkan 1 rupiahpun untuk mendapatkan 1 tahun.

Situasinya dapat berubah 180 derajat di saat tertentu. Kesadaran akan waktu terpantik keras ketika deadline atau waktu tenggat nyaris tiba: laporan harus selesai besok pagi, pe-er harus dikumpulkan sore nanti, denda harus dilunasi dua hari lagi atau sanksi akan jatuh. Kita tak bisa mengganti waktu sebagaimana kita mengganti atap genteng dengan asbes.

Kita juga tak bisa meminta waktu kepada orang lain layaknya meminta oleh-oleh. Waktu bukanlah seseuatu yang dapat dialihkan, dipertukarkan, diperjualbelikan, maupun disimpan. Waktu berjalan terus ke depan tanpa peduli apakah kita mempedulikannya. Yang tertinggal pada kita adalah masa lampau atau ingatan dan kenangan. Mungkin pula penyesalan.

Kita, sekurang-kurangnya saya, kerap merasa berlalunya 1 menit bukanlah kehilangan. Tapi, seandainya saya hendak naik kereta api atau pesawat terbang, saya akan tersadarkan bahwa 1 menit itu krusial. “Andaikan tadi saya sampai di stasiun 1 menit lebih awal, saya tak akan tertinggal kereta.” Kita juga dapat kehilangan peluang bisnis besar karena kita tiba di tempat yang disepakati 1 menit saja setelah calon mitra kita pergi—karena ia telah menunggu terlalu lama.

Dalam mengelola waktu, Anda mungkin sudah piawai, tapi saya merasa harus terus mengasah diri: bagaimana cara mengelola waktu yang diberikan gratis kepada saya agar tidak ada yang terbuang sia-sia. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler