Ibu Kota Jakarta, sebagai teras depan Indonesia sepertinya lupa menampilkan ruang rupa yang bercirikan Indonesia. Jakarta bukanlah perwujudan keragaman kebudayaan yang terdiri dari serpihan-serpihan kebudayaan segala penjuru Indonesia. Bahkan Jakarta hanya layak di sebut sebagai metropolitan yang kehilangan identitas. Di Bali orang dengan mudah menemukan simbol-simbol kebudayaan, dari arsitektur, gerbang, adat-adat yang masih terpelihara, serta aktifitas seni yang masih kental bermakna sebagai simbol kehidupan pulau Dewata.
Rasanya tiap negara-negara maju masih banyak mempertahankan ruang publik, tata ruang kota, lajur-lajur gedung, masih kelihatan sebagai identitas negara. Lalu jika melihat Jakarta, apakah yang terwakilkan sebagai kekhasan Indonesia. Yang ada hanyalah simbol-simbol negatif berupa kemacetan, keruwetan tata ruang, tambal sulam pembangunan, serta budaya urban yang lebih menonjol daripada kegiatan terstruktur yang terkelola dalam ruang lingkup kebudayaan. Jakarta hanya sekumpulan kaum urban yang sibuk mencari uang, sibuk memanfaatkan hiburan untuk melepaskan diri dari rutinitas, bukan untuk dinikmati sebagai apresiasi tinggi terhadap seni budaya. Maka, meskipun sekarang pameran kebudayaan masih marak, kebudayaan yang tertampilkan itu masih hanya serpihan-serpihan yang belum bisa dinikmati semua penghuninya. Yang ada hanyalah hiburan di layar kaca yang menampilkan kegagapan budaya karena hanya menampilkan hiburan berdasarkan rating penonton, bukan sebagai produk kreatif kebudayaan.
Jangan-jangan beberapa tahun lagi apa yang dinamakan identitas Jakarta sebagai ibukota hanyalah tinggal dongeng. Itupun kalau masih ada bapak atau ibu yang sempat bercerita atau mendongeng kepada anaknya. Bukankah sekarang banyak orang terbelenggu dengan alat digital yang memudahkan orang berselancar, mengobral kata, terhubung dengan manusia lain tanpa melihat ekspresi secara utuh. Manusia sudah terbang ke dunia maya, terbang bersama fantasi masing-masing, hidup dalam dunia sendiri -sendiri. Dunia kelihatan sangat luas karena setiap pribadi bisa berdialog meskipun dari benua yang berbeda, namun apakah ruang-ruang yang tersekat itu bisa merekatkan jiwa-jiwa?
Sekarang, setiap orang lebih sibuk bercerita di gadget. Mata dan tangannya sudah spontan lebih konsentrasi pada gawai itu daripada melihat mimik wajah orang person by person. Bahkan suami istri ngobrol tanpa kontak mata, hanya memainkan jari dan jempol.
Kembali membahas tentang identitas ibu kota yang sudah seperti kota dengan beragam keinginan, beragam kemauan, beragam pemikiran, beragam kepentingan. Jakarta terutama adalah miniatur keinginan masyarakat Indonesia yang tergesa-gesa, masyarakat yang ingin cepat kaya dengan berbagai mimpi-mimpi yang dipaksakan. Jakarta sepertinya sebuah kolam besar dengan gejolak, serta kecipak dahsyat yang menderu-deru. akhirnya apa yang baik di mata budayawan belum tentu cocok dengan keinginan pedagang, politisi, guru, buruh, wartawan, blogger. semua mempunyai kepentingan, semua mencari muara berbeda. Akhirnya banyak orang hifdup dalam penyakit kejiwaan akut. Mereka yang perfeksionis terjebak dalam aturan-aturan ketat namun berbenturan dengan lingkungan sekitar yang masih serba kacau balau. Akhirnya banyak kaum perfeksionis hidup dalam amarah berkepanjangan. bagi yang tidak kuat ya bunuh diri itu solusinya.
Ketika perasaan manusia itu, sudah terbelenggu individualitas yang menonjol, banyak orang akhirnya hanya berpikir untuk keuntungan diri sendiri, kalau perlu menaburkan sianida di kopi teman dekatnya, bahkan istrinya sendiri rela dilenyapkan hanya demi seguah ego pribadi.
Terorismepun lahir dari hilangnya identitas kebangsaan. Ketika kebanggaan diri sudah hilang banyak orang terjebak dalam mimpi-mimpi mengawang yang akhirnya tertangkap oleh orang yang secara peka memanfaatkan situasi untuk mengindoktrinasi sehingga seperti kerbau dicucuk hidungnya akhirnya hanya mengikuti kemauan sang pengendalinya tanpa pernah mendengarkan dan mengikuti suara hati nuraninya.
Semoga tulisan penulis ini bukan yang sebenarnya terjadi, penulis masih berharap Ibu kota berubah dan Ibu kota masuk sebagai intitas budaya yang begitu disegani. Itu mimpi penulis.
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.