x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saya Baca Novelnya, Saya Tonton Filmnya

Setelah membaca novel, mungkin Anda kecewa usai menonton filmnya. Mengapa harus begitu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Saya tahu sangat sedikit novelis yang merasa puas dengan adaptasi buku mereka ke layar film.”

--Gabriel Garcia Marquez

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah jamak novel diadaptasi menjadi film. Seluruh jilid serial Harry Potter-nya J.K Rowlings telah difilmkan dan disukai banyak orang. Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata difilmkan pula dan menuai sukses. Begitu pula dengan The Lord of the Rings yang ditulis oleh J.R.R. Tolkien.

Untuk tahun 2016 ini, ada sejumlah film adaptasi yang juga layak dinanti. Penggemar Veronica Roth niscaya ingin segera menonton film kelanjutan Divergent dan Insurgent, yakni Allegiant. Buku ketiga ini bahkan dipecah menjadi dua film, satu lagi akan ditayangkan tahun depan, sehingga penggemar Roth masih punya satu film lagi untuk ditonton.

Mereka yang menyukai karya Dan Brown juga menunggu beredarnya Inferno sebagai karya sinematografi. Dalam film yang disutradarai Ron Howard ini, Tom ‘Langdon’ Hanks akan beradu akting dengan Irrfan Khan, aktor India yang turut bermain sebagai Dr. Rajit Ratha dalam The Amazing Spider Man.

Yang sudah membaca novel yang menjadi basis film-film tadi mungkin penasaran ingin segera menonton. Apakah Allegiant versi film akan lebih seru ketimbang novelnya? Apakah akan lebih asyik menonton film Ron Howard daripada membaca dongeng Dan Brown?

Film adaptasi yang dianggap berhasil oleh banyak kritikus ialah The Silence of the Lambs (1991). Melalui besutan sutradara Jonathan Demme, Jodie Foster dan Anthony Hopkins dianggap berhasil menghidupkan karakter dalam novel karya Thomas Harris tersebut. Harian The Guardian Inggris memuji permainan mereka telah mendefinisikan-ulang dinamika hubungan polisi/pembunuh. Hopkins dianggap berhasil menyingkapkan sisi batin seorang psikopat yang sangat mengerikan.

Pembaca buku sering kecewa setelah menonton versi film buku favorit mereka. Film-film tertentu bahkan membikin mereka kesal atau frustrasi. “Kok nggak seperti bukunya, sih.” atau “Ah, lebih asyik baca bukunya.”

Orang terkadang lupa bahwa banyak hal memengaruhi pembuatan film hasil adaptasi sebuah novel. Sebagian isinya harus ditinggalkan karena ada batasan durasi film. Alangkah repotnya bila semua detail yang digoreskan oleh penulis novel mesti dituangkan menjadi gambar hidup. Ia harus membuat pilihan-pilihan sulit.

Di sisi lain, sutradara dan penulis skenario mungkin menambahkan adegan yang tidak ada di dalam bukunya, seperti dilakukan Peter Jackson tatkala menyutradarai The Lord of the Rings. Dalam hal tertentu, bahkan mungkin disisipkan karakter baru. Sutradara berusaha menyajikan cerita visual yang mengesankan—dua jam setelah duduk di kursi bioskop, penonton pulang dengan rasa puas.

Penulisan sebuah skenario film tidak akan lepas dari penafsiran penulisnya terhadap novel yang diadaptasi. Betapapun penulis skenario berusaha ‘taat’ kepada karya tersebut, ia tetap manusia yang punya imajinasi sendiri atas teks yang tertulis di novel itu. Begitu pula dengan sutradara ketika menuangkan teks skenario ke dalam film. Bersama para pemain dan juru kamera, sutradara menuangkan tafsirnya ke dalam wujud visual.

Ketika ia menonton versi filmnya, mungkin muncul komentar: “Kok gak mirip banget ya?” Sebagian orang, misalnya, menganggap pemilihan Tom Hanks untuk memerankan karakter Robert Langdon dalam The Da Vinci Code dianggap sebagai kesalahan casting. Pengritik ini berpendapat bahwa Harrison Ford (pemeran Dr Richard Kimble dalam The Fugitive) lebih cocok. Sebagai pembaca, kita punya gambaran sendiri tentang sosok karakter dalam novel, punya imajinasi sendiri tentang Middle Earth, menangkap pesan sesuai pengetahuan dan pengalaman kita.

Dalam hemat saya, buku dan film merupakan entitas yang sangat berbeda. Ketika berhadapan dengan buku, pembaca bebas menafsirkan teks yang tertuang dalam novel itu. Ia juga bebas berimajinasi tentang watak karakter-karakternya, membayangkan latar tempatnya, maupun adegan-adegannya. Bahkan, penulis novel itupun tak bisa memaksakan apa yang ia imajinasikan kepada pembacanya. Meskipun mungkin ia bisa merasa tidak puas ketika menonton film adaptasi novelnya.

Film jelas hasil pembacaan penulis skenario maupun sutradara serta elemen lainnya terhadap novel yang sama. Sebagai penonton, film yang kita saksikan sesungguhnya adalah hasil pembacaan penulis skenario dan sutradara. Jarak antara kita dan novel sudah lebih jauh. Nah, bila hasilnya tidak seperti yang kita bayangkan sebagai pembaca, ya wajar saja. Les Misérables karya Victor Hugo saja sudah lebih dari 10 kali difilmkan oleh sutradara, penulis skenario, dan pemain yang berbeda-beda. Hasilnya? Tentu saja, berbeda-beda!

Jadi tidak usah repot-repot membandingkan film Les Misérables, The Hunger Games, Allegiant, maupun Inferno dengan novelnya. Nikmati saja keduanya sebagai entitas yang berbeda, siapa tahu cara seperti itu justru memperkaya cakrawala kita. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu