Pak Ketut, Si Tukang Cukur
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
"Manusia tidak ada yang sempurna, itu mengapa saya tidak pernah menghakimi orang, semua pada dasarnya baik" celoteh Pak Ketut Arsana.
Denpasar, Bali - Tanpa basa - basi saya duduk di kursi kayu di tengah ruangan sepi berukuran 4 meter kali 3 meter dengan jendela yang terbuka, tembok mulai mengelupas, dan cermin terpasang diatas meja di depan kursi yang saya duduki. Tertata rapi gunting, sisir rambut, silet, bedak, dan sikat rambut. Poster dengan banyak wajah terpampang dengan gaya model papan atas melihat saya duduk menunggu seseorang datang.
Sepuluh menit kemudian datanglah seorang yang terlihat kurus, lebih pendek dari saya, berkacamata, dan tersenyum menyapa saya. Dia adalah Pak Ketut, pemilik dari ruangan kecil ini yang ia gunakan sebagai tempatnya mencukur semua pelanggannya yang ingin merapikan penampilannya. Ini adalah pertama kalinya saya datang ke tempat ini dan bertemu dengan Pak Ketut.
Mengapa saya datang ke tempat Pak Ketut? Pada pukul 4 sore itu saya datang dengan sengaja karena sebelumnya pernah melintas dan tertarik dengan dengan bentuk bangunan kuno dan alat - alat cukur yang terlihat tua (namun ternyata tidak). Letaknya di Jalan Sedap Malam, Denpasar. Suasana jalan yang tidak begitu ramai ditengah kota yang sibuk. Pintu dan jendela tua dengan tulisan seadanya, sangat berbeda dengan tukang cukur atau potong rambut Madu Ratna, Rudi, atau barbershop ala anak muda yang sekarang sangat digandrungi. Niat mencoba dan bertanya - tanya mengapa tukang cukur ini masih bisa bertahan menguatkan saya untuk mencoba potongan ala Pak Ketut ini.
"Pak, sejak kapan memangnya Bapak membuka tempat ini?",
Saya memulai pertanyaan saya untuk mencairkan suasana dan Pak Ketut mulai sibuk menyiapkan alat cukur serta menyisir rambut saya. Matanya melihat bayangan saya di cermin mencoba menerka gaya rambut apa yang cocok untuk saya. Dan mulailah Pak Ketut bercerita tentang hidupnya, berikut rangkuman obrolan singkat saya dan celoteh Pak Ketut yang akhirnya terus mengalir tanpa saya ajukan pertanyaan.
Ketut Arsana, nama asli beliau. Lahir dan besar di Denpasar, ia hanya tamat SMA dan tidak melanjutkan kuliahnya. Pada tahun 1970an ia pergi ke Jember, Jawa Timur untuk mengadu nasib dan mulai bekerja menjadi tukang cukur disana. Entah darimana ia dapatkan ilmu memotong rambut, namun ia mengatakan bahwa ia sudah mencukur rambut teman- temannya di SMA dan mulai mahir karena sudah terbiasa.
Percakapan kami saat itu juga melibatkan peletakan batu pertama hotel Bali Beach yang sekarang dikenal dengan Inna Grand Bali Beach pada tahun 1962 hingga percakapan tentang perjalanannya ke gunung Agung dimana pada tahun itu ia masih bisa melihat cahaya kota denpasar dari arah atas gunung Agung dan dingin Pura Besaking yang terletak di kaki gunung Agung sudah tidak sama lagi.
Beliau mungkin salah satu dari saksi hidup sejarah kota Denpasar, saksi hidup perubahan masa, dan akan menjadi kisah hidup yang pernah saya ketahui. Dan Pak Ketut Arsana pun mempunyai kisah cinta dalam hidupnya.
Pak Ketut Arsana jatuh cinta dengan seorang gadis dari keluarga muslim berada asli Jember. Kala itu Pak Ketut yang beragama Hindu tidak mempunyai apa - apa, ia berjanji akan membahagiakan istrinya.
"Istri saya mengerti, saya tidak punya apa - apa, yang penting ia bahagia."
Mereka menikah di Jember dengan pernikahan beda agama melalui catatan sipil, karena itu syarat dari keluarga istrinya. Dan setelah itu mengadakan pernikahan di Bali dengan adat Bali secara Hindu. Mereka dikaruniai sebuah keluarga yang sederhana dan bahagia begitu juga anak - anaknya (saya lupa menanyakan tentang anak-anaknya). Istrinya mulai dekat dengan tradisi Hindu dan adar Bali setelah tinggal di Bali. Pak Ketut memberikan istrinya untuk berkesempatan berbaur dengan masyarakat terutama dengan masyarakat Hindu.
Pada tahun 2006, beliau mulai mendirikan tempat potong rambut ini. Mulai buka pada pukul 9 pagi hingga 10 malam. Namun beberapa tahun setelah itu, istrinya pun sakit stroke hingga harus menggunakan kursi roda. Hidupnya berubah, kesehariannya pun berubah. Pak Ketut merawat istrinya, selalu ia bawa ke tempat cukur menemani ia bekerja. Ia dudukan istrinya di samping pintu yang tembus menuju halaman rumahnya. Selama 6 hingga 9 bulan ia terus mendoakan istrinya agar cepat sembuh, namun Tuhan berkata lain. Istri Pak Ketut Arsana pun meninggal.
Setelah istrinya tidak bersamanya lagi, Pak Ketut sendirian mengurus keluarganya. Ia tetap pada keahliannya menjadi tukang cukur hingga sekarang. Ia tidak pernah tidur siang dan selalu menonton berita di televisi setelah ia bekerja hingga tengah malam dan akhirnya mengantuk. Semuanya sudah tidak sama lagi, jam buka untuk mencukur pun berubah. Sebelumnya beliah mulai pukul 9 pagi sekarang buka pukul 2 siang hingga 10 malam. Setiap hari ia mulai dengan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan membersihkan halaman menggantikan istrinya, merawat anak - anaknya. Sendiri.
Pak Ketut Arsana sangat ramah dan saya ingin kembali mendengar ceritanya. Celotehnya tentang presiden terbaru sejarah lama, dan petualangan hidupnya. Saya akan kembali jika rambut ini sudah panjang, siap untuk dicukur.
"Manusia tidak ada yang sempurna, itu mengapa saya tidak pernah menghakimi orang, semua pada dasarnya baik" celoteh Pak Ketut saat kita berbincang tentang Presiden lama hingga Jokowi dan bagaimana malunya ia mempunyai wakil rakyat yang pintar namun lebih bodoh dari dirinya yang hanya tamatan SMA.
30 menit perbincangan dan saya pun selesai dengan potongan rambut baru, setelah itu tidak ada pelanggan lagi yang mengantre di ruangan kecil dengan poster Top's Collection itu.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pak Ketut, Si Tukang Cukur
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler