x

Iklan

Ipul Gassing

Pemilik blog daenggassing.com yang senang menulis apa saja. Penikmat pantai yang hobi memotret dan rajin menggambar
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Boro Suban Nikolaus, Sang Pendamping orang Dayak Punan

Dia datang dari Flores sebagai guru agama, tapi berakhir sebagai pendamping orang Dayak Punan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Dulu orang Dayak Punan itu dianggap sebagai orang dayak yang paling bodoh.” Kata pria itu. Lalu dilanjutkannya, “Sekarang mereka sudah bisa berdiri sama tinggi dengan orang Dayak lainnya.”

Malam merambat makin gelap, kami duduk di teras sebuah rumah milik warga di desa Gong Solok, Malinau, Kalimantan Utara. Tidak ada listrik sama sekali, selepas jam 10 malam mesin genset yang jadi satu-satunya sumber pencahayaan di desa itu sudah dimatikan. Semburat cahaya bulan menerangi malam gulita, membuat bayangan pepohonan jadi terasa misterius. Aroma tanah basah selepas hujan memenuhi rongga hidung, angin dingin memeluk renggang.

“Memang tidak mudah membangun kepercayaan diri mereka.” Kata pria itu lagi. Namanya Boro Suban Nikolaus, seorang pria berbadan tinggi tegap kelahiran 16 Desember 1955. Dia berasal dari Leworere, Flores Timur. Pilihan menjadi guru agama dari kepasturan membawanya menginjak tanah Malinau tepat hari Rabu tanggal 4 April 1977. Semua masih jelas dalam ingatannya, lengkap dengan tanggal dan harinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pak Niko-demikian dia biasa disapa-berangkat atas perintah kepasturan, tugas utamanya adalah mengajar orang Dayak di Kalimantan. Gajinya Rp2.500,- atau setara dengan satu setengah ekor ayam. “Kalau sekarang mungkin sekitar Rp.50.000,-“ ujarnya.

Gaji sebesar itu rupanya membuat Pak Niko muda resah juga. Gaji yang sama sekali jauh dari kata cukup untuk membiayai hidupnya. Pak Niko muda malah dengan berani memprotes pastur muda yang jadi atasannya. Dari sekadar protes hingga berakhir menjadi perdebatan yang membawa-bawa emosi.

“Saya sampai mengatainya pastur bodoh, hahaha.” Katanya sambil tertawa mengingat kejadian itu.

Tahun 1982 Pak Niko hampir menyerah dan sempat berpikir untuk mengundurkan diri. Tapi atasannya dari kepasturan tahu dan malah memberinya beasiswa untuk belajar ke Sekolah Tinggi Filsafat ke Yogyakarta. Tawaran yang tentu saja tidak disia-siakannya. Jadilah selama tiga tahun Pak Niko menikmati kehidupan kota yang tentu saja jauh lebih moderen dari Malinau, tempatnya mengabdi selama ini.

Masa sekolah berakhir, Pak Niko kembali ke kota yang kala itu masih masuk dalam provinsi Kalimantan Timur. Anak muda yang masih berbau harum dan masih terbawa-bawa suasana kota itu harus menghadapi kenyataan yang berbeda, bahkan lebih parah dari dugaannya. Perintah baru turun, dia harus langsung masuk ke pedalaman Kalimantan, ke desa tempat orang Dayak Punan bermukim.

“Waktu itu saya marah sekali. Bayangkan, saya masih harum, bau kota, tiba-tiba disuruh masuk ke pedalaman.” Kata Pak Niko.

Tapi perintah tetaplah perintah, Pak Niko tidak bisa menolak. Dengan dongkol dia terpaksa berangkat, masuk ke pedalaman dan bermukim di desa asal suku Dayak Punan tepat di hari pertama kembalinya dia ke Malinau. Belakangan dia baru tahu kalau itu adalah cara orang kepasturan menghukumnya gara-gara tindakannya tiga tahun lalu mengatai seorang pastur muda sebagai pastur bodoh.

Jatuh Cinta Pada Orang Dayak Punan.

Orang Dayak Punan sendiri adalah salah satu sub suku Dayak yang pertama menginjakkan kakinya di Kalimantan. Nenek moyang mereka ditengarai sebagai orang Austroasiatik yang datang dari daratan Asia sekitar 12.000 tahun lalu. Kala itu daratan Kalimantan dan Asia masih dipisahkan oleh air yang tak seberapa dalam. Nenek moyang orang Punan menyeberang dari Vietnam ke Serawak dengan perahu kecil. Sebagian ada yang ke Sabah, sebagian lagi menyebar ke daratan Kalimantan. Orang-orang inilah yang diyakini sebagai nenek moyang orang Dayak Iban, Ot Danum, Basap dan Punan. (sumber: National Geographic Indonesia, November 2012)

“Pertama bergaul dengan mereka saya sempat shock.” Kata Pak Niko. “Mereka terbiasa tidur dengan hewan peliharaan seperti anjing atau bahkan babi. Lantai rumah mereka juga bau pesing.” Sambungnya.

Sudah terlanjur basah, Pak Niko muda menebalkan niatnya. Bahkan sebuah ide pemberontakan muncul di kepalanya. Dia memutuskan untuk tinggal lebih lama dari yang diperintahkan. Dari perintah yang hanya sebulan, dia bertahan hingga tiga bulan.

Pilihan itu ternyata tanpa disadarinya membuat dia malah jatuh cinta pada orang Dayak Punan.

Di mata Pak Niko, orang Dayak Punan adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka dianggapnya sebagai orang yang sangat menghargai alam, mencintainya seperti mereka mencintai ibu sendiri. Bagi orang Dayak Punan, hutan memang adalah ibu mereka yang memberi mereka makan dan memelihara mereka. Orang Dayak Punan aslinya bukan bangsa petani atau peladang, mereka adalah bangsa nomaden yang hidup dari berburu. Mereka berpindah-pindah mengikuti siklus hidup binatang buruan mereka. Meski begitu mereka sama sekali tidak pernah merasa harus mengambil sebanyak-banyaknya, mereka hanya mengambil seperlunya saja. Tamak dan rakus tak ada dalam kamus hidup mereka.

Pelan-pelan orang Dayak Punan memang sudah mulai meninggalkan kebiasaan mereka sebagai bangsa nomaden. Mereka mulai menetap di pesisir sungai dan mengadopsi sistim bercocok tanam. Tapi mereka juga tidak meninggalkan begitu saja rasa hormat mereka pada hutan. Sampai hari ini mereka tetap teguh melawan pengusaha kelapa sawit yang ingin membeli lahan hutan adat mereka.

Pak Niko ada di belakang mereka, memberi ilmu dan pengetahuan kepada orang Dayak Punan sebagai bekal untuk memantapkan perjuangan melawan kerakusan para investor sawit. Pak Niko bahkan rela melepas kegiatannya di kepasturan pada tahun 1992 hanya agar lebih fokus mendampingi orang Dayak Punan. Tahun 2005 Pak Niko memantapkan perjuangannya dengan mendirikan Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Punan Malinau (LP3M). Di bawah bendera lembaga ini, Pak Niko terus berjuang mendampingi orang Dayak Punan untuk menjaga hutan adat mereka.

Usahanya bukan tanpa halangan. Pria yang menikah dengan seorang gadis dari suku Dayak Merap di tahun 1996 itu pernah difitnah menjual orang Dayak kepada investor dan mendulang keuntungan dari orang-orang Dayak itu. Pembuat fitnahnya siapa lagi kalau bukan mereka yang sakit hati melihat upaya menguasai hutan adat orang Dayak Punan tak membuahkan hasil. Tapi Pak Niko bergeming, fitnah itu tak membuat langkahnya surut.

Apa yang dilakukan Pak Niko diakuinya semata-mata hanya karena kecintaannya pada orang Dayak Punan yang sederhana tapi teguh memegang prinsip. Perjuangannya mulai berbuah manis, orang Dayak Punan mulai bisa mensejajarkan diri dengan orang Dayak lain yang sudah lebih dulu keluar dari hutan. Meski sudah mulai mencicipi kehidupan moderen, tapi orang Dayak Punan tetap mencintai hutan, menyayangi alam seperti yang dilakukan nenek moyang mereka.

“Saya pernah membawa kepala adat Punan Adiu ke sebuah pertemuan. Di sana dia bicara atas nama orang Dayak Punan, membuka mata orang kalau orang Dayak Punan betul-betul mencintai hutan mereka dan tidak akan menyerahkannya kepada investor hanya demi uang.” Kata Pak Niko. Ceritanya hanya sekadar contoh kalau dia sudah bisa menanamkan kepercayaan diri pada orang Dayak Punan, kepercayaan diri untuk berbicara di muka umum dan memperlihatkan keteguhan hati mereka.

Malam makin larut, udara dingin selepas hujan makin menggigit. Pak Niko pamit, beranjak dari teras yang gulita menuju ke dalam rumah. Saya mengikuti bayangannya dengan ekor mata, sampai benar-benar menghilang. Sungguh seorang pria yang menginspirasi, tak berpikir semata tentang harta dan materi, tapi tentang kelanjutan alam, tentang warisan buat anak-cucu kita.

Sehat selalu Pak Niko, semoga Tuhan selalu menjagamu. [dG]

Ikuti tulisan menarik Ipul Gassing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu