x

Seorang warga memasukkan surat suara ke dalam kotak dalam Pilkada ulang Walikota dan Wakil Walikota Denpasar di tempat pemungutan suara (TPS) 6, Desa Sesetan, Denpasar, Bali, 13 Desember 2015. Pemungutan suara ulang di TPS itu direkomendasikan oleh

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Makna Demokrasi di Mata Seorang Birokrat

Pemilihan langsung banyak yang menganggap adalah cara berdemokrasi yang terbaik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan kepala daerah langsung secara serentak sudah digelar 9 Desember 2015 kemarin. Pemilihan langsung banyak yang menganggap adalah cara berdemokrasi yang terbaik. Rakyat jadi 'juri' yang menentukan siapa pemimpin pilihannya. Namun, pemilihan langsung bukan tak sepi kritik. Banyak yang menganggap, pemilihan langsung yang sekarang diterapkan di Indonesia, terutama di tingkat lokal, hanya melahirkan praktek transaksi dan politik dinasti. Politik uang tetap marak. Balas budi politik jadi langgam. Elitisme kian menguat.  Pada akhirnya, tujuan besar demokrasi, menempatkan rakyat sebagai subjek dalam sebuah kontestasi masih jauh panggang dari api. Makna demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sama sekali belum terasa. Justru yang terjadi, kontestasi hanya dari elit, oleh elit dan untuk elit. 
 
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, punya pandangan sendiri tentang makna demokrasi. Di mata dia, demokrasi dimaknai, tak sekedar sebuah cara. Tapi demokrasi, mengandung tujuan, juga sistem nilai. 
 
" Namun ternyata demokrasi masih kita artikan cara untuk dipilih," kata dia. 
 
Lewat pemilihan memang kemudian lahir legitimasi politik, terlepas bahwa legitimasi itu didapat dengan cara lancung atau tidak. Tapi pertanyaannya, apakah kemudian legitimasi yang didapat dari sebuah kontestasi itu melahirkan efektivitas. 
 
"  Benarkah lewat pemilihan legitimasi terjaga dan efektifitas terjaga pula? Kan belum tentu juga," katanya. 
 
Pertanyaan lanjutannya, kata Reydonnyzar, seperti apa output dari pemilihan langsung, misal Pilkada. Lalu siapa yang direpresentasikan?
 
" Ini analisis saya,misal pemilihan terhadap 125 penduduk, 75 ribu pemilih, saya akan  cari cara bagaimana dapat  15 ribu agar terpilih. Nah, apakah itu mewakili yang 125 ribu itu? Ya, sejauh jaga mandat dan betul bekerja untuk rakyat, itu tak masalah. Bagaimana kalau tidak," katanya. 
 
Belum lagi, kata Reydonnyzar, bicara tentang tata kelola. Dan, lebih jauh bicara tentang keadilan, dan pengelolaan APBD. 
 
" Benarkah selama ini kita berpikir tentang keadilan dan kesejahteraan? Atau jangan-jangan kita hanya pikirkan  kelompok sendiri saja? Saya pernah guyon dengan para gubernur. Bapak kan habis sekian di pemilihan. Bapak satu honor, saya tanpa pemilihan dapat honor dua, Dirjen dan Penjabat. Tapi pemerintahan jalan juga," tutur Reydonnyzar. 
 
Sekarang yang jadi kritikan publik, kata dia, adalah cara untuk mendapatkan legitimasi tersebut. Benarkah hanya lewat pemilihan langsung, atau ada cara lain. " 
 
" Cara memperoleh  legitimasi, itu jadi pertanyaan. Saya sekedar menganalisis. Tapi, pemilihan langsung sudah dipilih, karena itu mari kita jamin derajat legitimasi itu," katanya. 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler