x

Warga yang didakwa bermain judi dihukum cambuk di halaman Masjid Ulee Lheu, Banda Aceh, Senin 28 Desember 2015. Hukum cambuk adalah bagian dari hukum Syariat yang berlaku di Aceh. TEMPO/Adi Warsidi

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Andai Koruptor Dihukum Cambuk

Beberapa anggota parlemen Aceh coba menggulirkan wacana hukum cambuk bagi koruptor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari rabu dini hari, 26 Januari 2016, kantuk belum juga datang. Hari itu, saya lagi jauh dari rumah. Biasa urusan kantor yang wajib di jalani. Satu jam yang lalu istri menelpon, menanyakan kabar dan bla bla bla melepas rindu. Ah romantis. Teringat masa masih pacaran. Merayu via telepon genggam, yang berakhir seiring pulsa habis. Lho kok melantur begini. Saya ini mau menulis serius Menulis artikel yang berbobot kok nyangkut ke kisah telpom telpon-telpon dengan istri.

Tapi benar mengenang masa lalu itu itu sungguh nikmat. Meski ada yang pahit tapi tetap indah. Bedanya jaman masih berstatus pacar, adalah era saat saya merasa jadi relawan, eh maksud saya jagoan. Jagoan rayu bermodal kata-kata dan pulsa. Namun dari proses perjuangan sampai memanen hasil antara jagoan rayu dengan relawan agak mirip murip. Jika relawan dia berjuang berpamrih jabatan, jagoan rayu maju tak gentar berbuah cinta. Tapi, sukses saya sebagai jago rayu tergantung Tuhan. Bila relawan dapat jatah tak tergantung restu Pak Jokowi. Sama kan?

Lho kok kembali nglantur. Baiklah, saya fokus saja. Rabu dini hari itu, kantuk tak kunjung juga menyeret saya untuk cepat memejamkan. Pasti karena dua cangkir kopi tanpa sianida yamg membuat kantuk tak juga mendekat. Karena kantuk tak kunjung tiba, tak ada cara lain saya harus mencari cara memanggilnya segera merapat. Lihat acara televisi, ah lagi- lagi yang tayang pemberitaan soal Mbak Mirna yang wafat karena kopi bersianida. Katanya sih begitu, menurut Mas Khrisna, Pak polisi yang rajin tiap hari tebar pernyataan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ah tak menarik, kasus ini bikin saya dan banyak orang jadi kriminolog dan detektif dadakan saja. Tak jelas siapa tersangkanya. Tiba-tiba mata tertumbuk pada sebuah majalah : Majalah Tempo yang saya bawa untuk sekedar jadi teman kala 'boker' di kamar mandi. Lakadalah ternyata majalah Tempo yang saya bawa alias kadaluarsa alias edisinya sudah lewat. Yang saya bawa edisi 21-27 Desember 2015. Sekarang sudah 2016.

Di covernya ada gambar Pak Setya Novanto bergaya ala almarhum Michael Jackson. Ya, kasus Pak Setya jadi berita utama majalah Tempo kadaluarsa yang saya bawa. Berita tentang Pak Novanto saya lewatkan. Tak menarik dan saya juga bukan penggemar berat partai beringin, terlebih Pak Novanto. Saya ayah, bukan papa. Saya pun bukan ayah yang suka minta saham, tapi suka minta pulsa pada istri. Jadi tak merasa satu nasib.

Nah, ternyata setelah saya buka buka halaman demi halaman majalah kadaluarsa tersebut ada beberapa berkata yang menarik. Salah satunya ulasan tentang Ben Anderson pemikir berdarah Irlandia yang mencintai Indonesia. Ben, pernah membuat berang Soeharto, karena menyusun The Cornell Papers, sebuah kajian yang mengulas bahwa peristiwa 1965, bukan karena PKI memberontak, tapi meledak karena ada konflik internal di TNI AD.

Berita kadaluarsa lainya yang membuat saya tertarik mengeja kata demi kata adalah berita tentang hukuman cambuk di bumi Serambi Mekkah. Berita itu ada di halaman 48, di rubrik hukum. Berita itu menarik karena mengangkat soal hukum cambuk bagi koruptor. Di berita itu disebutkan, bahwa beberapa anggota parlemen Aceh coba menggulirkan wacana hukum cambuk bagi koruptor. Sayang wacana itu kandas. Berita itu bagi saya sangat menarik. Wacana yang bikin kantin saya makin menjauh. Andrenalin saya tiba-tiba menggelegak. Saya pun bangkit dari tempat tidur. Majalah yang saya baca begitu saja dicampak-kan. Ambil cangkir, sobek kopi sachet tanpa sianida, panaskan air. Lalu tuang blarrrr semangat datang

Sambil duduk di kursi, dan nikmat seruput kopi tanpa sianida, pikiran pun melayang liar, membayangkan jika koruptor dihukum cambuk. Saya entah mengapa lagsung saja setuju dengan wacana hukum cambuk bagi koruptor. Padahal selama kini termasuk yang tak setuju model hukuman itu. Mungkin persetujuan saya dipicu oleh rasa jengkel dengan penerapannya yang tebang pilih. Hukum cambuk hanya menyasar para pelaku pelanggaran hukum kelas ecek-ecek saja. Ini tak adil bro. Kenapa koruptor yang sudah jelas menurut kamus para aktivis anti korupsi sebagai penjahat kakap, pelaku kejahatan luar biasa tak dipecat.

Sementara pelaku kejahatan seksual dikebiri koruptor tak ikut dikebiri. Lag-lagi lagi pikiran saya menyimpulkan itu tak adil. Padahal kejahatan korupsi itu adalah kejahatan yang 'mengibiri' seluruh penghuni negeri, kecuali mungkin istri dan kroninya. Harusnya para koruptor dihukum berat. Ya, bila tak dikebiri, kenapa tak coba dicambuk saja, seperti wacana yang pernah digulirkan politisi lokal Aceh.

Kenapa saya cepat sekali setuju dengan wacana hukum cambuk bagi koruptor. Mungkin karena rasa jengkel yang sudah over dosis. Tapi ada beberapa alasan kenapa saya ingin koruptor itu mencicipi hukum pecut. Alasan pertama karena cengengesan. Cengengesan para penggangsir duit rakyat itu tak lucu, sudah merampok masih bisa cengengesan.

Mereka maling kok, bukan pelawak, masa mau merebut porsi para komedian. Sudah maling duit masih coba-coba mencuri hati, eh maksudnya mencuri tawa. Mohon maaf hati saya untuk istri saya. Namun benar-benar kurang ajar, koruptor yang cengengesan.

Alasan kedua, masalah senyum. Coba cermati polah para koruptor yang sudah digelendang KPK, masjh bisa tersenyum. Padahal sudah jelas dia berbuat lancung. Menjengkelkan melihatnya. Mungkin Malaikat juga ikut jengkel dengan polah si maling duit rakyat di Indonesia.

Artinnya dengan cengengesan dan mengumbar senyum, si koruptor tak kapok alias gagal diberi efek jera. Dalam kontek inilah hukuman cambuk untuk koruptor layak diperbincangkan. Mungkin, dengan 'dipecut', aksi cengengesan dan menebar senyum para koruptor akan tinggal kenangan. Publik akan disodorkan adegan bagaimana seorang korutor meringis, berteriak, mengaduh lalu menangis. Agak kejam memang. Tapi daripada hukum cambuk terus diterapkan, namun hanya menyasar orang-orang yang mesum atau main judi gaple, kenapa tak sekalian saja diberlakukan juga untuk koruptor. Bila mau keras, kenapa tidak keras sekalian, dan semua bisa merasakan, tak hanya si penjudi kartu, tapi juga maling duit rakyat. Namun bila hukum 'pecut' tidak manusiawi, ya cabut saja. Tidak seperti sekarang, penjudi kartu dipecut, tapi maling duit rakyat cengengesan.

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB