x

Para pembantu pengganti (infal), menunggu di tempat penyalur jasa tenaga kerja Bu Gito di Cipete, Jakarta, 9 Juli 2015. Saat datangnya Lebaran, para pembantu infal tersebut mampu meraih pendapatan dua kali lipat lebih besar dari hari biasanya. TEMPO/

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penyiksaan PRT, Menunggu Komitmen DPR RI

Meski multi kekerasan terus dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) terus terjadi, tak mampu membuat para wakil rakyat di Senayan terdorong mengesahkan RUU PRT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) memperkirakan ada 2-4 orang PRT menjadi korban kekerasan setiap harinya. Sampai pertengahan Februari 2016 ini saja, tercatat 103 kekerasan, 21 kasus di antaranya PRT anak-anak.

Menurut Lita Anggraini, koordinator Jala Perempuan, 65% dari kasus kekerasan berbentuk multi kekerasan, pelecehan seksual, penyekapan, penganiayaan dan tak dibayar upahnya. Sisanya, 35% merupakan kasus perdagangan manusia yang dilakukan agen penyedia jasa PRT.

Meski begitu, dalam catatan Jala Perempuan, dari 100 kasus kekerasan yang masuk ke kepolisian hanya 20% saja bisa sampai ke pengadilan. Sisanya, kandas di kepolisian. "80% kasus tak mampu menyentuh majikan pelaku kekerasan," kata Lita Anggraini, saat bicara di Komnas Perempuan, Jakarta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Imma Nakhei, dari Komnas Perempuan, dalam pernyataan persnya, mengatakan kasus-kasus PRT umumnya baru diketahui setelah kondisi korban sangat parah. "Penyebabnya, area kerja PRT di ruang domestik yang sering terisolir dari jangkauan publik," katanya.

Situasi bekerja di ruang domestik ini menguatkan fakta, Pekerja Rumah Tangga termasuk Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan. Area domestik merupakan tempat yang membahayakan bagi anak. Dan sudah selayaknya PRTA segera dihapuskan, dan PRT mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk eksploitasi.

Menurut Imma, penghapusan PRTA dalam segala model dan cara, sejalan dengan pemenuhan hak-hak anak dan sebagai upaya mencegah berulangnya eksploitasi dan kekerasan.

Persoalan pekerja rumah tangga di Indonesia, kata Imma, sudah menjadi sorotan dunia internasional. Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada dua mekanisme PBB, Universal Periodic Review (UPR) dan Sidang Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang memberi rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk memberi perhatian dan mengupayakan kerja layak bagi PRT, setidaknya melalui Undang Undang Nasional. "Pemerintah dan DPR RI berkewajiban mewujudkannya," katanya.

Sayangnya, para wakil rakyat belum juga mau memberikan perhatian pada persoalan kekerasan terhadap PRT. Padahal sudah hampir 12 tahun, Jala PRT memperjuangkan perlindungan PRT dengan mendesak pemerintah Indonesia memberlakukan UU PRT. Dan kasus-kasus kekerasan terhadap PRT dan PRTA terus menerus terjadi, dan berulang-ulang menyita perhatian publik.

PRT menurut Lita bekerja dalam situasi eksploitatif dan perbudakan modern. Mereka juga tak memiliki jaminan dalam menjalankan pekerjaannya. "Negara tak hadir dalam pembelaan terhadap PRT kala mereka mengalami kekerasan," kata Lita.

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler