Semangat Orang Desa
“Hidup adalah pilihan” falsafah populer yang selalu digunakan oleh orang lain untuk menasehati orang-orang terdekatnya. Tidak pandang status, gender, suku dan agama. Falsafah itulah menjadi familiar karena kedekatannya dengan peristiwa hidup sehari-hari. Tak sekedar sederhana melainkan realita yang selalu datang dan pergi dalam perjalanan hidup.
Pertengahan tahun 2014 menjadi masa-masa yang bimbang bagiku. Seorang lulusan sekolah menengah kejuruan di Kabupaten Kebumen. Keahlian yang kumiliki hanyalah sekedar mengetik 10 jari buta serta mempromosikan barang-barang yang ada. Sesekali untuk mengisi waktu luang sebelum wisuda di sekolah aku mengantarkan barang jajanan ke sekolah untuk di jual kembali oleh kawanku.
Memang sebagai orang desa yang memiliki ekonomi pas-pasan harus memiliki mental dan daya tahan menghadapi kenyataan hidup yang berat. Ketika melihat acara motivasi di salah satu stasiun televisi. Orang miskin memiliki dua pilihan, tetap miskin atau menjadi kaya. Sedangkan orang kaya hanya memilki satu pilihan, yaitu jatuh miskin. Kata-kata tersebutlah yang menjadi pelecut semangat bagiku ketika mendengarkan kata lulus dari SMK serta diterima di UIN Walisongo Semarang.
Bayang-bayang kuliah yang tak pernah masuk dalam catatan hidupku. Menjadi sebuah tantangan baru yang harus ku jalani. Hidup diperantauan dengan segala resikonya sudah siap kuhadapi. Sampai pada suatu saat aku bertemu dengan sosok bernama Jaedin. Pria asal Ketanggungan, Brebes. Sesama orang dari desa yang memiliki belasan keterbasan untuk menjadi orang di kota. Menjadikan kami berteman di salah satu komunitas di kampus. Pertemanan tersebut menjadikan sebuah pertemuan yang bermakna karena memiliki kesamaan latar belakang.
Jaedin merupakan sosok yang cukup tangguh dalam menghadapi gegap gempita Kota Lumpia. Ditengah tamparan ekonomi yang selalu menjadi acuan permasalahan kaum rantau. Dia mencoba tenang untuk menghadapi situasi tersebut. Sampai pada suatu saat kita pernah kongkow di sebuah angkringan.
“Kita ini orang desa, jangan mudah menyerah ketika dalam keadaan apapun” ucapnya sambil mengunyah mendoan hangat.
Mungkin ucapan tersebut bisa saja sebuah angina lalu yang tak begitu penting. Tapi diksi orang desa itu mengingatkan kembali betapa tidak berdayannya kita di tempat rantau. Ketika mengeluh terus menurus. Tidak ada perubahan signifikan yang ditorehkan oleh orang desa yang urban ke kota. Mengeluh tanpa dibarengi dengan usaha hanyalah sebuah omong kosong yang tak memiliki arti untuk perubahan.
Hari-hari selama mengenal Jaedin. Selalu berusaha untuk mengubah kehidupan yang tadinya bermalas-malasan menjadi rajin membaca buku, menulis serta mengikuti diskusi dimana. Ini bukan persoalan kita mau jadi apa, melainkan sebuah ajang menanam benih sebanyak mungkin dimana kita akan memetiknya suatu saat nanti. Mengingat hukum kausal yang amat lekat dengan kehidupan manusia, usaha berupa membaca, menulis serta mengikuti diskusi merupakan usaha awal. Entah mau jadi apa kita, sesuai dengan usaha yang pernah kita lakukan.
Semangat membuka cakrawala keilmuan ku dapatkan dari dia. Selama berada di komunitas, saya selalu berdiskusi bersamanya. Tak sungkan-sungkan bertanya mengenai dalil-dalil yang sudah dikuasainya sejak ngangsu kawruh di TBS Kudus. Di lain sisi, kami sering bertukar pikiran mengenai wacana-wacana yang sedang berkembang.
Pertemanan yang memiliki kesamaan latar belakang desa serta hausnya akan ilmu pengetahuan. Memaksa saya untuk berlomba menghabiskan sebuah buku dan menulis untuk di muat di surat kabar. Kita pernah sebuah cita-cita harus lanjut sekolah di luar negeri.
R.Lesen
Ikuti tulisan menarik Fadli Rais lainnya di sini.