x

Iklan

Fadli Rais

Mahasiswa sekaligus jomblo tingkat akhir
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memori Perjalan Meraih Mimpi

"Putih Abu-abu" masa terindah dalam geliat cinta. Kita melewati dengan segala kecongkakan nafsu tawa tak terbatas dalam kerumunan wanita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebanyakan orang mengatakan bahwa masa-masa paling indah adalah masa putih abu-abu. Masa dimana kita setelah sekolah menenengah pertama degan pekerjaan atau melanjutkan. Seragam yang digunakan menjadi ciri khas bagi anak yang usianya kisaran 15-20 tahun. Mereka sibuk mencari titik terang masa depan untuk melanjutkan studi atau dunia pekerjaan. Konteks kekinian pendidikan pun sudah mempersiapkan generasi yang melanjutkan studi atau dunia kerja dengan adanya pembedaan antara SMA yang notabene adalah fokus pada belajar sedangkan SMK mengedepankan praktek untuk menunjang kebutuhan dunia kerja.  

Setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Kota Kebumen. Penulis memilih untuk meraih massa depan melalui perantara SMK bidang bisnis dan manajemen.  Gedungya terletak persis di mulut jalur utama pantai selatan. Orang lebih mudah mengingatnya dengan sebutan GASMEKA atau SMEA. Jika masih bingung, ucapkan saja sekolah yang di depan rumah makan lestari. Kebanyakan orang mengerti, apalagi anak-anak IPDN.

Memang bukan pilihan ideal, menggantung masa depan di sekolah negeri terkecil se-Jawa Tengah. Masih banyak sekolah-sekolah favorit ternama dengan biaya selangit kala itu, macam SMA 1 Kebumen, SMK 1 Gombong, atau SLTA mentereng lainnya. Kalau saja Tuhan menurunkan hujan uang, niscaya aku mendaftar di SMA kemiliteran di Magelang. Faktanya, gerimis uang saja tidak bisa diprediksi oleh BMKG. Apalagi untuk turun hujan ? Mungkin hanya tangan-tangan-Nya yang bisa mengabulkan angan-anganku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memilih sekolah di SMKN 1 Karanganyar merupakan lompatan yang amat sekuler dalam hidup penulis. Mengingat background smp yang amat religiustik harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa kaum minoritas itu bernama laki-laki. Berbeda dengan fakta yang ditampilkan oleh buku-buku feminis terbitan Indonesia, bahwa dimanapun laki-laki pasti menggeluti dunianya dengan keadaan mayoritas. Tapi itu baru ku ketahui, semenjak belajar dengan para aktivis perempuan. Sehingga mengerti betapa tidak terjamahnya sekolahanku oleh pihak luar.

Menginjakkan kelas satu di jurusan administrasi perkantoran, teman sekelasku hanya satu yang laki-laki.  Fahrizal Wahyu, sapaan akrabnya Wahyu. Dalam satu jurusan yang terdiri dari tiga kelas dengan 120 siswa, hanya terdapat 2 siswa laki-laki. Dalam satu angkatan terdiri dari 3 jurusan dan 9 kelas hanya terdapat 9 laki-laki. Kalau di pukul rata-rata, dalam satu kelas ada satu lelaki.  Cukup anda ketahui, angktan 2011 hanya terdiri dari sembilan laki-laki perjaka serta tiga ratus lima puluh satu wanita.  Jangan membayangkan ketika satu aula apalagi satu barisan dalam upacara rutin tiap senin.  

Awal-awal masuk di sekolah. Kita memang amat sangat canggung untuk tegur sapa, apalagi untuk mengajak kebelakang untuk sekedar buang air kecil. Alih-alih melihat jumlah laki-laki yang realitanya sedikit, satu per satu dari kami saling memperkenal kan diri.  Kesembilan perjaka tanggunng bernama, Gunawan alias IU, Amrih, Aji, Riyan, Supri, Wahyu, Fadli,Munir, dan Yadi alias Gareng.  Kala realita menuntut kita untuk tidak saling mencurigai, apa daya mengenal adalah upaya yang terbaik.

Awal yang  Koplak

Tradisi setelah masa orientasi sekolah (MOS) para kakak-kakak dewan ekstra wajib Pramuka dan Palang Merah Indonesia (PMI) mengadakan perkemahan sabtu dan minggu (persami). Untuk cowo, sepakat memilih ekstra pramuka.  Disatukan dalam sebuah regu yang terdiri dari laki-laki semua.  Masih, terlihat muka polos tak berdosa jika berjalan di depan senior mlengos bak orang yang tak punya salah.  Mulai dari terik matahari ba’da sholat ashar, berbondong-bondong teman-teman seangkatan berkumpul di lapangan untuk upacara pembuakaan. Hinggaa redup matahari, keadaan sekolah menjadi ramai, ku lihat dewan-dewan senior memakai baju angkatan 2010 bergerombol memasuki sekolah. Tapi aku tak maksud kedatangan mereka itu apa, jadi tidak begitu memperhatikan secara seksama.  

Ba’da isya masih dengan seragam coklat lengkap dengan atribut penggalang. Berbaris mengelilingi api unggung yang terletak di tenngah lapangan voli. Rasa kantuk sudah menyerangku, tak kuasa menahan bobot mat yang seperti ditumpangi cat seberat 50 kg. kucoba untuk kutahan sambil menoleh ke kanan-kiri. Namun, hasrat untuk tidur terturuti walau harus duduk.

“Siap Grak !”

“Bangun, dek !”

Sontak membangunkan dari  tidurku. Walau, tidak begitu keras. Namun suara wanitu yang tak kenal cukup nyaring namun nging di kuping.  “Adegan film Dono sudah dimulai” batinku sambil membersihkan oplok yang tersangkut di sela-sela kelopak mata. Tanpa basi-basi pemimpin pleton membubarkan barisan.  Lantas teman-teman cowo menyerbu mushola sebagai tempat peristirahatan. Terlihat IU masih sibuk melucuti pakaian perangnya. Hanya satu orang ini, yang melepeas pakaian pramuka, lainnya tidak ada. Aku memerhatikannya seperti raksasa yang menaruh baju di pohon ditengah hutan. Kurus, tinggi namun tak bersayap. Anganku yang pergi kesana kemari, membuat mataku tertarik oleh hasrat untuk memenuhi kantuk malam ini.

“Bangun-bangun. Jangan lelet, de !”

“Heh, cowo jangan klemar-klemer. Bangun !”

“Brakkkkk”

Suara tendangan pintu mengagetkan penghuni mushola yang sedang terlelap tidur. Entah setan alas darimana, yang mencoba membangunkan seroang perjaka tanggung lelap dalam tidurnya. Mungkin saja, Gareng sedang bercumbu dengan kekasihnya walau hanya dalam mimpi  buyar ditelan para dewa-dewan yang membuat pasar di tengah-tengah kesunyian malam. Lantas kami bersembilan, berhamburan keluar mushola mencari sepatu yang pas di kaki.

“de baju pramukamu di pakai !” suara meggelegar bak petir di musim kemarau keluar dari mulut wanita.  

Kami hanya menoleh kebelakang, melihat IU yang masih menggunakan celana pendek plus kaos oblong. Ingin rasanya ku tertawa dengan Amrih. Moment tersebut memiliki daya tarik untuk ditertawakan, melihat keadaan seperti zaman kolonial di dalam penjara lawang sewu. Aku hanya bisa menahan tawaku, yang kulepaskan saat berbaris. IU ditengah suara-suara yang sahut-sahut menyahut.  Mengenakan pakaian khas Boden Powell. Lengkap dengan pisau imitasi di atas saku bagian kiri. Malaikat pun hanya bisa senyum, melihat anak-anak polos yang tak mengerti apa maksud dari itu semua.  

 

Ikuti tulisan menarik Fadli Rais lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB