Spotlight, Fokus dan Luar Biasa [Review Film]

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Spotlight layak mendapat apresiasi Oscar 2016 karena mampu menyuguhkan sebuah cerita yang sensitif tanpa menjadi provokatif.

 

Gelaran Oscar 2016 memang sudah berlalu dengan menetapkan para pemenang di kategorinya masing-masing. Tapi mungkin tak ada salahnya untuk me review film yang berhasil menggondol penghargaan bergengsi ini. Yach, Spotlight telah memenangkan hati juri untuk memenangkan film terbaik diantara sederet nominasi film ciamik lain seperti Bridge of Spies, Mad Max; Fury Road, The Revenant, The Martian, The Big Short, Room dan Brooklyn.

Saya memang memiliki kebiasaan menonton film-film yang masuk nominasi Oscar sebelum hajatan dilangsungkan dengan harapan bisa belajar jadi kritikus walau akhirnya hanya mentok menjadi tukang apus-apus. Spotlight yang saya tonton secara terpaksa lewat jalur downloadan karena bioskop kesayangan tak juga kunjung memutarkan , ternyata memang film yang mengesankan. Inti cerita Spotlight yang sederhana saja digarap menjadi drama luar biasa dalam durasi panjang 128 menit yang tidak membosankan oleh Tom McCarthy.

Diceritakan The Boston Globe memiliki Editor baru Marty Baron (Live Schreiber), Baron ingin mengangkat skandal pelecehan seksual di sebuah Gereja Katolik di kota Boston. Tentu saja ini bukan hal yang mudah dilakukan. Untuk mengemban misi besar ini, Baron menyerahkan semua investigasi berita ke sebuah tim bernama Spotlight yang terdiri atas Walter Robinson (Michael Keaton), Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) dan Matty Carroll (Brian d’Arcy James).

Siang dan malam tim ini bekerja mengumpulkan bukti-bukti yang bisa mereka dapatkan untuk menyusun berita besar yang menjadi target mereka. Hal yang menguras fisik dan mental juga memupuskan keyakinan yang mereka bangun harus mereka lalui. Friksi-friksi pun terjadi diantara mereka berempat. Bagaimana akhir investigasi ini bermuara, apakah mereka berhasil membuka tabir yang sudah lama terbenam ini muncul  ke permukaan?

***

Spotlight memang mengangkat isu yang sangat sensitive, namun dengan caranya sendiri, Spotlight berhasil menyampaikan sebuah rangkaian kisah dengan sikap respect yang pas sehingga menjadikan film ini bisa dieksekusi dengan manis tanpa membuat penonton menjadi gerah dan merasa dipojokkan. McCarthy memang tidak main-main dalam menggarap cerita yang berpotensi menjadi perdebatan. Ia pintar memainkan sudut pandang sehingga kontroversi yang terjadi dalam tim menjadi menarik.

Tentu saja, dibalik kesuksesan sebuah film pasti ada jajaran depatemen akting yang solid. Satu yang saya suka, akting dari lima pemeran utama, mereka tidak saling mencoba menonjol namun melengkapi satu sama lain. Mark Rufallo memainkan performa akting terbaiknya sehingga ia pun masuk dalam nominasi Oscar kategori pemeran pembantu pria terbaik, Rachel yang cantik menjadi semakin manis dengan dialog dan gesture tubuhnya yang elok dalam bersimpati, demikian juga Keaton, Schreiber, Slattery yang juga meninggalkan kesan mendalam.

***

Film ini sangat potensial menjadi sebuah melodrama yang menguras emosi, namun hal itu justru tidak dilakukan. Mc Carthy memilih untuk membuat Spotlight bermain cepat, rapi dan fokus, tapi tidak berlebihan.  Provokasi jelas ada untuk film ini, namun semua dilakukan dalam porsi pas tanpa meninggalkan rasa hormat, sehingga penonton tidak mudah jatuh dalam sikap menghakimi, karena kita bisa berintepretasi dengan bebas pada sudut pandang yang kita pilih.

Ketika film berakhir, ada hal yang bisa kita bawa pulang. Semangat pantang menyerah dan kerja sama tim untuk mencapai tujuan. Selain itu kita juga disuguhkan betapa pentingnya sebuah komitmen, komitmen untuk memberitahukan sebuah kebenaran, betapapun sulitnya walau harus ditentang oleh mayoritas orang. Tapi memang sih menyebarkan berita yang belum tentu terkonfirmasi lebih menyenangkan bukan. Oh ya, mempertahankan obyektivitas dalam memandang sebuah hal juga bisa kita dapatkan dalam film ini, meski sangat sulit kita lakukan dalam kehidupan nyata.

Saya sih bependapat, film seperti Spotlight masih lama untuk bisa digarap sineas Indonesia tanpa memicu perdebatan masyarakat. Topik yang nyerempet begini memang bukan konsumsi orang kita. Apalagi jika pas nonton sudah tidak mau open mind, yasudah lah mending main gundu sambil makan bubur sagu.

Gambar : www.imdb.com

Bagikan Artikel Ini
img-content
indri permatasari

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Galaumu itu Lebay Dék

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler