GMT 2016: Komodifikasi Fenomena Alam dan Kelatahan Media
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGerhana Matahari Total (GMT) 2016 ditanggapi berbagai macam masyarakat, bagaimana media membingkainya, hingga menjadi ajang meraup keuntungan.
“Gerhana Matahari Total (GMT) 2016 ditanggapi berbagai macam oleh masyarakat, mulai dari ranah agama, mitos, sains, bahkan menjadi ajang meraup keuntungan dari fenomena alam langka ini. Bagaimana media berperan membingkainya menjadi sebuah trending topic?”
Pelbagai fenomena alam yang biasa terjadi seperti hujan, badai, gempa bumi, gunung meletus, sampai isu pemanasan global menjadi konsumsi publik sehari-hari melalui berbagai media konevensional radio, televisi, koran dan majalah serta media digital berita di laman internet dan kicauan para netizen di media sosial. Media seakan berlomba menyajikan berita kepada masyarakat secara cepat, terutama media digital. Fenomena alam biasa tersebut, media membingkainya sedemikian rupa guna membentuk opini masyarakat disamping menyampaikan informasi. Kita ambil contoh pada kasus banjir media menginformasikan bahwa disuatu tempat telah terjadi banjir, demikian berita yang disajikan. Di masyarakat lain pula tanggapannya, ada pihak yang menyebutkan bahwa banjir adalah karena hujan deras, sistem drainase yang buruk bahkan ada yang menyebut fenomena banjir adalah peringatan Tuhan kepada umatnya karena lalai. Inilah opini yang muncul di ranah publik akan suatu fenomena alam.
Lantas, bagaimana dengan fenomena alam langka seperti Gerhana Matahari Total (GMT) yang jatuh pada 9 Maret 2016 ini? Bagaimana media membingkainya sehingga menjadi sebuah trending topic beberapa minggu belakangan? Dan bagaimana fenomena alam ini dapat menjadi sebuah komoditas guna meraup keuntungan? Penulis akan mencoba mengulasnya dalam tulisan ini.
Fenomena Alam : antara Logika Sains, Mitos dan Kebudayaan
Berbagai bentangan alam dan fenomena yang terjadi di dalamnya menunjukkan bagaimana sistem kosmik berjalan secara beraturan menuruti kehendak Sang Pencipta. Begitulah menurut sebagian orang yang melihat dari kacamata kepercayaan dan keyakinan mereka. Hal tersebut diperkuat dengan barisan ayat-ayat dalam kitab suci mereka. Fenomena GMT 2016, jika ditanggapi menggunakan kacamata religi merupakan fenomena langka nan eksotis namun juga sebagai peringatan akan keagungan Tuhan. Kesombongan manusia di muka bumi, membuatnya lupa akan keagungan Tuhan. Melalui fenomena alam GMT kita diingatkan bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan kuasa Tuhan dan selalu senantiasa bersyukur dan memuji keagungan Tuhan. Oleh karenanya banyak orang kemudian sesaat menjadi tersadar, lalu mereka mengerjakan ibadah ditengah gerhana seperti sholat gerhana bagi umat Muslim. Fenomena GMT juga semakin terasa bagi umat Hindu karena bertepatan dengan hari raya Nyepi. Dengan demikian, makna Nyepi guna membersihkan diri semakin terasa suasana religiusnya karena bertepatan dengan Tuhan menunjukkan salah satu keagungannya. Begitupula terhadap umat lainnya, yang selalu diingatkan oleh Tuhan untuk selalu mendekatkan diri dan menjauhi sifat sombong. Dan, disinilah berlaku anggapan Marx “Agama adalah Candu”, candu yang dapat mengingatkan mereka akan kelalaian kala dihadapkan dengan keagungan Tuhan.
Disisi lain, para penggila sains mencoba mengamati bentangan alam dalam sistem kosmik berdasarkan analisa yang terkadang “njelimet” (rumit) bagi kalangan orang awam. Berbagai macam rumus dan teori mereka gunakan untuk meyakinkan khalayak akan peristiwa & fenomena alam yang terjadi. Dari menggunakan teknologi paling sederhana hingga dengan bantuan alat berteknologi super canggih. Mereka berbondong memadati titik lokasi dimana saat matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis lurus dapat dilihat secara jelas. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa lokasi dimana Penumbra jatuh seperti di kota Palu, Ternate, dan Palembang. Tidak hanya itu, peneliti pun mengamati tingkah laku binatang terhadap fenomena langka ini. Seperti burung yang kembali ke pepohonan kala gelap datang, ayam berkokok untuk kedua kalinya. Hal yang pernah juga dilakukan pada GMT tahun 1983 di pelataran Candi Borobudur. Dari sini kemudian para peniliti menyimpulkan hasil pengamatannya berdasarkan kacamata logika sains yang berlaku.
Dari ranah mitos dan kebudayaan pun tak ketinggalan pula memiliki pandangan tersendiri terhadap fenomena alam yang terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh E.B Tylor dan J.G Fraser, keduanya merupakan sarjana dalam bidang kajian masalah animisme menerangkan bahwa mitos lahir dari penggabungan ide-ide yang logis. Para penganut mitos menjelaskan fakta mengenai fenomena alam dengan bantuan analogi dan komparasi seperti menghubungkannya dengan peristiwa khayalan dengan kisah hidup para tokoh legenda. Pelbagai anggapan mitos tadi, membentuk pola pikir di masyarakat dan tidak jarang ini menjadi sebuah bentuk dari salah satu kebudayaan mereka. Bentuk budaya sendiri menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi ada dua jenis yakni yang bersifat materiil dan non materiil. Bentuk budaya yang bersifat materiil seperti contohnya sebuah adat istiadat, cara berpakaian, musik, dan lain sebagaianya. Sedangkan bentuk kedua adalah, bersifat spiritual yaitu pengetahuan, kaidah kepercayaan (mitos), kesusilaan dan sebagainya.
Fenomena GMT 2016, dimana masyarakat telah berjalan kearah modernitas namun sebagian lagi masih mempercayai mitos yang berlaku. Mengingat kepercayaan di Indonesia masih menguat, masyarakat di beberapa daerah ada yang beranggapan bahwa fenomena GMT merupakan bentuk amarah Sang Dewa. Selain itu ada pula yang beranggapan makhluk jahat berwujud naga murka dan menelan matahari, di Indonesia bagian timur makhluk jahat tesebut berwujud Suanggi atau setan jahat dan pertanda kesialan. Ini mengingatkan kita pada film Apocalypto, film yang dibintangi Rudy Youngblood ini berlatar tentang kehidupan primitif masyrakat Maya di semenanjung Yuacatan. Kehidupan Maya kuno yang memegang teguh mitos dewa alam, dalam salah satu adegan diperlihatkan bagaimana pada saat terjadi peristiwa GMT masyarakat Maya ini menjalankan ritual dengan mengorbankan manusia yang diambil dari suku musuh atau suku lain yang dianggap rendah dihadapan khalayak di tempat tertinggi guna menghilangkan kesialan. Namun, kebudayaan sadistik ini perlahan menghilang sejak masuknya bangsa dan budaya Spanyol di wilayah Amerika Latin.
Media sebagai Alat Konstruksi Pikiran Masyarakat
Media memiliki andil besar dalam mempengaruhi pikiran masyarakat melalui bahasa. Benedict Anderson dalam Imagined Communities menjelaskan perkembangan bahasa yang disusul ditemukannya mesin cetak oleh Johan Guttenberg memberi jalan bagi media sebagai alat konstruksi masyarakat. Masyarakat menjadi lebih mengetahui gagasan-gagasan dan pemikiran lain dari suatu kehidupan yang baru bagi individu, lingkungan dan masyarakat. Diperkuat pula dengan pendapat Mc.Luhan bahwa media secara umum bertindak secara langsung untuk membentuk dan mengorganisasikan sebuah budaya. Pada era serba modern ini, media mengambil peran sebagai fungsi penerang bagi masyarakat terutama media digital dan media sosial. Media sosial diibaratkan sebagai jaring besar yang siap menangkap ikan di laut, begitulah media sosial berhasil menjaring pengaruh bagi pengikutnya.
Pada tahun 1983 fenomena GMT tidaklah seheboh yang terjadi tahun ini dimana dengan peran massif media, masyarakat antusias menyambutnya dan mencoba menjadi bagian dari sejarah fenomena langka ini. GMT 1983 masyarakat kita belumlah seperti sekarang, saat itu media tidaklah massif dan mitos masyarakat masih berlaku akibat kungkungan rezim Orde Baru kala itu. Akibatnya, masyarakat kita menjadi minim informasi tentang gerhana matahari karena adanya pembentengan media sedemikian rupa. Sebagaimana kita tahu, Presiden Soeharto kerap kali menggunakan falsafah dan mistisme Jawa Kuno dalam mengatur bangsa ini sebagaimana dipaparkan Niels Mulder dalam buku Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia. Kebudayaan Jawa Kuno yang kental akan mitos-mitos diberlakukan Soeharto pada GMT 1983, pada saat itu masyarakat tidak diperbolehkan keluar rumah untuk menyaksikan GMT dan hanya boleh diperbolehkan menonton melalui siaran televisi. Selain untuk kesehatan mata, ini tentunya dihinggapi juga dengan nuansa mitos bahwa keluar pada saat GMT berlangsung akan membawa kesialan.
Setelah tiga dekade berlalu, kini GMT kembali melintasi Indonesia. Berbeda dengan GMT sebelumnya, masyarakat dan media kita lebih terbuka dalam menyampaikan informasi. Ulasan tentang GMT membingkai layar kaca dan gadget kita, mulai ulasan yang bersifat agamis, hingga penjelasan saintis. Seolah memberi tanda bahwa GMT kali ini membawa hal positif, semua media pun menjadi latah membingkai fenomena GMT ini berhari-hari, setiap segmen acara selalu disertai ulasan GMT 2016. Media sosial tak kalah ketinggalan dengan menghadirkan tagar “#GMT2016” sebagai bentuk eksistensi agar tidak ketinggalan fenomena bersejarah ini. Inilah yang menjadi kelatahan dan terkadang melewatkan informasi penting lainnya. Akibat penayangan dan ulasan secara berkali-kali di berbagai media, kemudian pikiran masyrakat terkonstruksi dari yang awalnya menganggap fenomena alam ini biasa saja menjadi suatu euforia baru. Ketika konstruksi ini terbentuk, kemudian masyarakat mulai berfikir bagaimana memanfaatkan fenomena alam ini sebagai sebuah komoditas langka untuk meningkatkan keuntungan di berbagai sektor dan mengangkat citra sebuah tempat antah berantah yang dilintasi GMT menjadi dikenal dunia luar.
Komodifikasi Fenomena Alam : Segi Ekonomi, Pariwisata, Hingga Pencitraan
Komodifikasi sebagaimana diungkapkan oleh Marx, merupakan suatu proses dimana sebuah proses perubahan sesuatu yang memiliki nilai atau guna menjadi produk pasar yang berguna dan bernilai serta memberikan perubahan. Dalam kasus GMT 2016, matahari menjadi sesuatu yang memiliki nilai guna dalam seluruh kehidupan di bumi kemudian menjadi produk pasar. Dengan artian bahwa kita memang tidak membayar dalam melihat matahari, namun pada saat tertentu seperti GMT 2016 yang mana kita tidak bisa dengan mata telanjang melihat proses GMT maka diperlukan sebuah alat, tempat, dan sarana untuk menyaksikan itu dan hal tersebut tidaklah didapat dengan cuma-cuma. Terkadang kita harus merogoh kocek untuk menikmati peristiwa alam langka tersebut. Dengan demikian, matahari tersebut dijadikan komoditas yang berguna bagi mereka yang mencari peruntungan dari fenomena GMT dan membawa perubahan, yakni naiknya pendapatan baik di segi ekonomi, maupun citra diri di mata yang lain.
Fenomena GMT 2016 memberikan keuntungan tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat juga termasuk media. Bagi media elektronik dan digital, dengan ulasan mengenai GMT yang dikemas semenarik mungkin akan menambah jumlah penonton segmen berita dan ulasan yang dibuat media tersebut, sehingga menaikkan rating yang ada. Sedangkan media cetak (majalah dan koran) ulasan yang detail dan menarik diharapkan akan menaikkan oplah penjualan dari sebelumnya. Lantas bagaimana dengan media sosial?. Pada media ini pun tidak ketinggalan pula para netizen mengulasnya dari berbagai segi. Facebook dan Twitter misalnya, ulasan dibuat dari segi analisis saintis hingga penjelasan bersifat agamis, bahkan ulasan yang dibalut dengan nuansa humor dengan gambar meme. Tidak jarang pula banyak netizen yang mencoba mencari peruntungan dengan menjual kacamata khusus untuk melihat GMT melalui akun Facebook dan Twitter.
Bagi kalangan birokrat dan pemerintahan khususnya bagi wilayah yang dilewati GMT dengan persentase 100 % seperti Ternate, Palu, dan Palembang fenomena GMT 2016 merupakan kesempatan untuk unjuk gigi memperoleh citra terhadap dunia luar. Pemerintah Ternate misalnya, daerah yang pada masa kolonial terkenal akan rempah-rempahnya sehingga menjadikannya terkenal di wajah dunia memanfaatkan fenomena GMT 2016 dalam agenda pariwisata. Tak hanya di Ternate, pemerintah kota Palembang yang memiliki jembatan Ampera yang merupakan salah satu jembatan terbesar di Indonesia pun tidak ingin ketinggalan melewatkan fenomena GMT 2016 ini dengan menjadikan agenda wisata menikmati GMT 2016 berlatar jembatan Ampera. Begitupula dengan Palu.
Tidak ingin fenomena GMT 2016 terasa hambar pemerintah di kota tersebut juga menyajikan sajian kebudayaan lain seperti wisata kuliner, pertunjukan musik, dan pagelaran lainnya untuk menarik minat wisatawan. Selain itu, juga disiapkan peralatan untuk meinkmati detik-detik terjadinya GMT seperti kacamata hingga teropong khusus. Tak hanya itu, persiapan titik lokasi pun dirancang khusus sedemikain rupa agar tidak mengecewakan wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Hotel-hotel menawarkan fasilitas terbaiknya, begitupula usaha bisnis tour and travel menawarkan paket-paket wisata khusus GMT 2016. Dunia usaha kuliner pun juga memanfaatkan GMT 2016 untuk mengenalkan kuliner nusantara kepada wisatawan, tidak jarang para pemilik rumah makan berkerja dengan pemerintah kota (dalam hal ini Dinas Pariwisata) untuk menarik wisatawan yang datang. Dengan demikian dapat menambah pundi-pundi keuntungan bagi berbagai sektor, baik pemerintahan, pariwisata, dan ekonomi masyarakat serta citra Indonesia pada akhirnya.
Dengan gambaran diatas, nampaklah bahwa fenomena GMT 2016 kali ini menjadi berbeda dari sebelumnya. Perbedaan tidak hanya terjadi dari individu yang semakin cerdas karena rezim yang ada mendukung untuk itu, namun juga peran media yang latah dalam mengkonstruksi pikiran masyarakat. Kosntruksi pikiran yang disebarkan oleh media pula pada akhirnya membuat masyarakat mengkomodifikasi fenomena alam untuk mencari keuntungan sesaat. Yang menjadi catatan adalah, semoga masyrakat kita semakin tercerahkan dengan pemberitaan media yang positif dan tanpa pretensi menyesatkan. Selain itu, jangan sampai euforia GMT 2016 kali ini membawa kesengsaraan bagi masyarakat dikemudian. Semisal, pagelaran hingar bingar budaya untuk menyambut GMT 2016 menggunakan uang yang tidak semestinya digunakan untuk itu. GMT 2016 tidak kita harapkan mendatangkan kesialan bagi siapa saja, dan justru memberikan keuntungan serta keberkahan bagi bumi nusantara pada khususnya. Semoga fenomena GMT 2016 memeberikan pelajaran berharga bagi kita semua.
Sumber Referensi :
- Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities : Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta : Insist Press.
- Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa : ideologi di Indonesia. Yogyakarta : LKIS.
- Pals, Daniel. 2012. Seven Theories of Religion. (terjemahan). Yogyakarta : IRCiSoD.
- Soemardjan, Selo dan Soelaiman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta : Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
- Sukmono, Filosa Gita. 2014. Cyberspace And Culture : Melihat Dinamika Budaya Konsumerisme, Gaya Hidup, Dan Identiyas Dalam Dunia Cyber. Yogyakarta : Buku Litera
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Cara Mengisi Kemerdekaan di Era Digital ala Pengusaha Muda Surabaya
Sabtu, 14 Agustus 2021 13:02 WIBMenjaga Relasi dengan Klien? Begini Tips Efektifnya!
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler