Sewaktu masih balita, saya membiasakan anak saya untuk memiliki alasan atas apapun yang ia lakukan dan inginkan. Pertanyaan “mengapa?”, selalu saya lontarkan setiap kali ia menginginkan sesuatu. Awalnya memang tidak mudah. Namun dari waktu ke waktu ia pun mulai terbiasa dengan cara saya tersebut. Hasilnya, ia masih seperti kebanyakan anak di usianya. Bedanya, ia lebih aware dengan apa yang ia inginkan, dan memiliki alasan kuat mengapa ia menginginkan sesuatu.
Pengalaman pribadi di atas, saya kaitkan dengan pernyataan seorang profesor di sebuah kampus terkemuka di Yogyakarta, yang curhat tentang fenomena mahasiswa sekarang yang tidak lagi kritis dibanding tahun 90-an. Bagi sang profesor, penandanya sangat sederhana. “Tidak banyak mahasiswa yang bertanya di dalam kuliah saya”. Mahasiswa memang rajin mengerjakan dan mengumpulkan tugas kuliah, namun sangat jarang yang bertanya secara kritis tentang materi perkuliahan. Nampaknya, kemampuan ‘bertanya’ ini begitu penting, sehingga menjadi penanda paling dasar bahwa seseorang itu ‘kritis’ atau tidak.
Memang, jika kita merujuk pada kakek Socrates, berpikir kritis itu salah satunya diukur dengan kemampuan kita untukmempertanyakan sesuatu. Tidak mudah untuk menyetujui sesuatu, tidak mudah bilang ‘iya’ ketika mendapatkan asupan informasi, ataupun bilang ‘tidak’, tanpa alasan yang jelas. Namun, selalu memberikan ruang pada diri sendiri untuk bertanya dan mempertanyakan sesuatu, mengapa ini begini, mengapa harus begitu, apa alasan dibalik semua kejadian, mengapa kita meyakini agama yang kita peluk, dan sebagainya.
Buku yang kita baca, berita-berita di media yang kita santap siap hari, program-program TV yang makin variatif acaranya, ataupun film-film ‘box office’ yang selalu kita nantikan adalah contoh-contoh nyata sebuah hasil dari ‘pertanyaan-pertanyaan” dan kegelisahan para penulis, sutradara, dan para penggagas ide di balik semuanya itu.
Salah satu alasan mengapa banyak orang mudah tertipu, mudah terprovokasi, mudah dikendalikan, dan mudah dipengaruhi adalah karena lemahnya kemampuan “bertanya” dan “mempertanyakan” atas sesuatu atau pengalaman yang ia alami. Dan faktanya, ‘bertanya’ merupakan kemampuan yang membutuhkan ‘latihan’, yang jika tidak kita asah dengan baik, maka ia akan ‘tumpul’, dan tidak akan membawa kebaikan buat diri kita.
Mari kita mulai dengan selalu memberikan ‘ruang bertanya’ di dalam pikiran kita, kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Cukup memulai dengan bertanya “mengapa”? atas apa yang kita alami, lihat dan dengar, maka, otak dan pikiran kita akan terbiasa, terlatih untuk berpikir kritis. Karena kita tidak mudah terperdaya oleh apa yang nampak dipermukaan, dan terbiasa menggali apa yang tak tampak di baliknya. Dan kita pun, insya allah, akan lebih memiliki alasan kuat di dalam menjalani hidup kita. #gusrowi.
Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.