x

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Taksi Jakarta: Bermula dari Taksi Gelap

Pada 1972, Jakarta baru mulai punya armada taksi resmi, tapi tak banyak orang memakainya. Mengapa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pekan lalu, taksi-taksi konvensional memprotes keberadaan taksi berbasis aplikasi, seperti Grab dan Uber, karena taksi itu tergolong "taksi gelap", karena "tidak berbadan hukum dan tidak membayar retribusi". Padahal, kelahiran berbagai armada taksi di Ibu Kota sebetulnya berangkat dari taksi-taksi gelap.

Majalah Tempo edisi 10 April 1971 dan 5 Agustus 1972 menulis soal lahirnya taksi meteran di Jakarta sebagai peralihan dari taksi gelap, yang tak terjamin keamanan dan layanannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jakarta baru memiliki sistem pertaksian dengan argometer pada 1972. Saat itu ada 800-900 taksi yang berseliweran di Ibu Kota, yang penduduknya 4,7 juta jiwa. Bandingkan dengan Singapura, yang penduduknya hanya 2 juta dan memiliki 10 ribu taksi di jalan raya.

Sebelumnya, transportasi untuk orang berduit dilayani taksi liar yang menetapkan tarif sekali jalan. Dari Bandar Udara Kemayoran ke Hotel Indonesia, misalnya, tarifnya dipatok Rp 750. Itu setara harga 7,5 kilogram gula pasir pada masa itu. Masyarakat harus rela dengan ongkos kelewat mahal itu. Pemerintah daerah tidak bisa menindak taksi liar karena belum sanggup menyediakan angkutan alternatif untuk kelas menengah dan atas.

Selain itu, petugas takut karena taksi liar yang mobilnya bagus-bagus tersebut sebagian besar milik pejabat tinggi sipil dan militer. Pada Maret 1972, pemerintah Jakarta meresmikan 125 taksi baru dengan operator Morante Jaya, Gamya, dan Ratax. Tarif yang ditetapkan adalah Rp 80 untuk 1 kilometer pertama dan setiap 200 meter tambah Rp 10.

Banyak yang berharap lalu lintas di Jakarta akan menjadi lebih semarak dengan sedan-sedan serba mulus dan mengkilap. Namun, itu tidak terjadi. Mobil Datsun, Toyota Corona, dan Valiant milik operator itu lebih senang mangkal di pool menunggu panggilan telepon atau penumpang datang sendiri. "Orang-orang Jakarta belum taxi-minded," kata juru bicara pemerintah Jakarta, Sjariful Alam. Menurut dia, taksi di Jakarta bukanlah kendaraan umum, melainkan kendaraan orang-orang yang berduit.

Hampir semua orang kaya di Ibu Kota memiliki mobil sendiri. Pemerintah juga menyediakan mobil bagi pegawai negeri. Gubernur Jakarta Ali Sadikin tidak patah semangat. Bang Ali terus mengimbau pegawai, karyawan, dan anggota ABRI beramai-ramai menggunakan taksi.

E. Anang Soedjana, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, meminta pemerintah Jakarta memelopori pemakaian taksi. Langkah ini, kata dia, menghemat biaya kendaraan Jakarta yang untuk tahun 1972-1973 yang ditargetkan Rp 487,8 juta. Parulian Silalahi, anggota DPRD yang lain, menanyakan apakah pembelian kendaraan baru yang direncanakan pemerintah Jakarta sebesar Rp 16 juta tidak bisa lebih dihemat lagi.

Bagi pemerintah Jakarta, taksi adalah jenis angkutan yang sesuai dengan "pola angkutan baru". Karena itu pula Ali Sadikin menaruh perhatian pada usaha-usaha taksi liar, yang diberi waktu sampai 6 Maret 1972 untuk mendaftarkan diri.

Ali Sadikin lantas menggabungkan taksi liar milik individu itu ke satu wadah yang diberi nama Jakarta Taxi. Sayang, langkah ini berjalan lamban. Padahal, pemerintah berharap soal pertaksian di Jakarta akan tuntas sebelum Konferensi Pacific Asia Travel Association, yang digelar di Jakarta pada 1974. "Dan saya berani ambil risiko apa pun yang akan saya alami dalam gerak pengusahaan taksi ini," kata Sjaiful Widjaya, Direktur Gadjah Makmur Jaya.

Kini banyak taksi beredar. Bila nanti Grab dan Uber sah diterima sebagai tranportasi umum, maka makin ramailah kota ini dengan taksi. Masalahnya kini bukan lagi tak ada orang yang akan menggunakan taksi, tapi kota ini makin ramai dengan mobil. Apakah taksi-taksi itu akan mengurangi kemacetan--masalah utama di kota ini? Tak ada jaminan soal itu.

(Ditulis dengan sedikit perubahan dari artikel "Sejarah Taksi" di Majalah Tempo edisi 3 April 2016.)

Keterangan foto: Taksi tahun 1930-an. Foto koleksi Tropenmuseum, Belanda.

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler