Bila Mengetuk Pintu Tak Berjawab

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meminta maaf dan memaafkan seringkali dipisahkan oleh tembok tebal yang kita bangun sendiri.

 

“Forgiveness is the final form of love.”

--Reinhold Niebuhr (1892-1971)

 

Seperti halnya mengetuk pintu rumah yang tak selalu berjawab, demikian pula dengan mengetuk pintu maaf. Ketika meminta maaf berarti mengakui diri kilaf dan salah, dalam ucap maupun tindak, pemberian maaf yang dikehendaki ternyata tak selalu terjadi. Kendati pun ketukan itu dilakukan dengan merendahkan hati, pemberian maaf yang diharapkan tak selalu terwujud.

Meminta maaf bukanlah perkara mudah, sebab permintaan itu mungkin didahului oleh pertentangan batin antara pengakuan bersalah dan keangkuhan untuk menganggap diri benar. Ada gengsi yang harus diturunkan, ada kesombongan yang mesti ditundukkan, dan ada kesediaan untuk mendatangi dan mengetuk pintu.

Bahkan, untuk meminta maaf pun dibutuhkan keberanian, lantaran permintaan itu bisa saja ditolak. Pintu diketuk tak senantiasa berjawab. Diperlukan kesabaran untuk mengetuk sekali, dua kali, tiga kali hingga akhirnya pintu dibuka atau tetap ditutup rapat-rapat. Akan melihat senyum dan jabat tangan atau tidak sama sekali bukanlah pilihan yang dapat dipastikan oleh peminta maaf.

Patah semangat? Para peminta maaf yang sungguh-sungguh umumnya memercayai bahwa ikhtiar sangat berharga bahkan bila dibandingkan dengan hasil. Mereka percaya, mereka hanya mampu bergerak di wilayah ikhtiar. Mereka mungkin akan terus mengetuk pintu dan berharap ketukan itu akan perlahan-lahan mengikis dinding tebal yang tak kunjung memberi maaf.

Sebagian orang mengatakan, kesediaan memberi maaf seringkali tidak muncul secara tiba-tiba. Dibutuhkan kekuatan yang tak kalah besar untuk menundukkan hasrat menampik ketukan di pintu. Rasa enggan untuk menjabat tangan dan menarik seulas senyum kerap lebih kuat dibandingkan dengan kesediaan untuk memberi maaf.

Tatkala ketukan meminta maaf terdengar, barangkali yang terbayang ialah kesalahan si pengetuk, perkataan kasarnya, ketidakacuhannya, kemarahannya, keusilan dan keisengannya; semua itu menutupi kebaikan yang pernah dilakukan si pengetuk, sehingga pintu maaf urung dibuka. Dibutuhkan kesabaran untuk menata hati dan mengikis segala kekesalan yang menumpuk, yang pelan-pelan bisa membentuk dinding dendam sehingga pintu maaf kian sukar untuk dibuka.

Meminta maaf dan memberi maaf akan menurunkan ketegangan di dalam diri, membuat perasaan jadi lebih nyaman, dan memulihkan saling percaya. Andaikan kita berani meminta maaf dan sanggup memberi maaf, maka inilah aktivitas relaunching yang luar biasa dalam hubungan antarmanusia yang niscaya akan berpengaruh positif, bukan hanya bagi peminta dan pemberi maaf, tapi juga bagi orang-orang di sekelilingnya. Kemarahan akan lumer, ketegangan jadi cair, kerut di dahi berubah jadi senyuman. (sumber ilustrasi: lionsroar.com) ***

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler