x

Massa yang tergabung dari berbagai ormas, termasuk FPI, berunjuk rasa dan membakar bendera PKI di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, 28 April 2016. TEMPO/ARTIKA

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Gus Dur Ingin Cabut Tap MPR Soal PKI?

Menurut sumber Tempo di lingkungan kepresidenan, pencabutan itu dimaksudkan untuk mengoreksi sejarah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketakutan akan bangkitnya Partai Komunis Indonesia menyebar di media sosial. Polisi menangkap sejumlah orang yang disangka menyebarkan atribut partai terlarang itu. Presiden Joko Widodo menggelar rapat yang dihadiri Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso.

Seusai rapat, Presiden meminta penegak hukum menertibkan segala simbol PKI lewat pendekatan hukum. Menurut Badrodin, instruksi Presiden Jokowi memiliki landasan hukum, yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

Berbanding terbalik dengan Jokowi, Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkuasa pada 2000 malah berencana mencabut ketetapan MPRS itu. Tempo edisi 10 April 2000 menurunkan tulisan tentang hal itu dengan judul "PKI, Hantu atau Dihantukan?".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Abdurrahman memang tersentuh mendengar penderitaan keluarga tokoh PKI seperti Aidit oleh rezim Orde Baru. "Mereka tidak bisa diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali," katanya, akhir Maret 2000. Lebih jauh, pencabutan ketetapan MPRS yang diusulkannya itu punya alasan lain.

Menurut sumber Tempo di lingkungan kepresidenan, pencabutan itu dimaksudkan untuk mengoreksi sejarah. "Dengan keterbukaan yang lebih besar, orang tak ragu lagi mengungkap apa yang sebenarnya terjadi kala itu," ujarnya. Bahkan, di kalangan sejarawan, memang tak banyak selama ini yang berani mengungkap versi lain dari misteri 30 September 1965.

Salah satu aspek yang akan dicapai Presiden Abdurrahman dari pencabutan itu adalah rekonsiliasi nasional. Tragedi 30 September, bagaimanapun, memang telah membelah negeri ini dalam "perang saudara". Bahkan, lebih jauh, Presiden Abdurrahman menyatakan maaf atas "peristiwa berdarah yang banyak menelan korban jiwa" itu.

Ketua PB Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi menyambut baik langkah rekonsiliasi itu, tapi dengan catatan. "Rekonsiliasi itu hendaknya dibangun sebagai upaya untuk menatap masa depan, bukan jembatan untuk membangkitkan pertikaian kembali," katanya. Namun, soal pencabutan ketetapan MPRS itu, dia tak setuju. "Kita harus melindungi masyarakat miskin agar tidak terbawa oleh ajaran komunisme," ujarnya.

Yusuf Hasyim, tokoh NU lain dan paman Abdurrahman Wahid, mengingatkan bahwa PKI pernah membantai para ulama dan guru sekolah di berbagai daerah. Langkah PKI ketika itu, menurut dia, sangat bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia. "Dalam konflik dengan PKI, orang NU, termasuk GP Ansor, tidak punya pilihan, dibunuh atau membunuh," ujarnya. Jadi NU tak perlu meminta maaf.

Memang tak mudah membangun rekonsiliasi seperti yang diinginkan Gus Dur-panggilan Abdurrahman. Persoalan bertambah rumit bagi Presiden Abdurrahman karena ajakannya justru dicibirkan oleh tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer. "Gampang amat minta maaf," kata Pramoedya, "Untuk basa-basi, itu baik saja, tapi selanjutnya apa? Saya tidak percaya sama Gus Dur." Pramoedya menuntut hukum dan keadilan ditegakkan. Lebih dari itu, "Biar DPR dan MPR yang mengatakan soal itu. Gus Dur itu mewakili siapa?"

Sikap Pram memang memperkecil peluang MPR memperdebatkan pencabutan tadi. Baru Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Matori Abdul Djalil yang mendukung usul Gus Dur. Itu pun belum resmi suara Fraksi PKB. Fraksi Golkar dan PAN, seperti disuarakan oleh Akbar Tandjung dan Amien Rais, tampak enggan mendukungnya.

Pencabutan larangan mempelajari Marxisme diperkirakan lebih mudah diperjuangkan. Buku-buku Pramoedya-yang dulu selalu dicap berbau Marxisme-sekarang sudah bebas beredar. Bahkan buku Karl Marx belakangan bermunculan dalam bahasa Indonesia. Marxisme tidak selalu identik dengan komunisme. Bapak bangsa seperti Mohammad Hatta, yang juga seorang muslim yang taat, suatu ketika bahkan pernah menyatakan, "Saya seorang Marxis."

Setelah setengah abad PKI dimatikan oleh MPRS, ketakutan terhadap komunisme bangkit lagi. Anehnya, Presiden Joko Widodo malah meminta aparat hukum melarangnya kembali.

*) Artikel ini terbit di Majalah Tempo edisi 16 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler