x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Komunis, Nalar Macet, dan Saya

G30S? Yang salah mengaku salah. Yang benar tetap bersikap wajar sebagai sesama manusia. G30S harus menjadi tragedi terakhir di RI. Tuhan memberkati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 (Ilustrasi: nasakomindo.blogspot.com)

 

Empat tahun lalu, pada 4 Oktober 2012,  seorang guru besar, pastor, mantan guru saya dalam filsafat moral sosial, menulis kabar sejuk terkait tragedi G30S di sebuah suratkabar  Jakarta:  di Indonesia masih berlangsung tragedi pendunguan hatinurani,  bagian "ritual" rutin tahunan sejak 1966 sampai hari ini. Namun di bagian lain tulisannya, beliau  juga menulis pesan yang  panas: komunisme adalah ideologi jahat dan PKI merupakan ancaman serius.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Saya bengong.  

 

Pasalnya, beberapa hari sebelumnya, pada 30 September 2012 , saya menyimak  kotbah Uskup Agung Semarang Mgr  YM Trilaksyanto Pujasumarta Pr (sekarang sudah meninggal) dalam peresmian Gua Maria Pereng Getasan, Salatiga. Kotbah sang almarhum, teman sekelas saya saat di Seminari Tinggi Yogyakarta itu, menandaskan dua pesan.

 

Pertama, pada 30 September 1965 di negara kita terjadi G30S yang disusul kekerasan dan pembunuhan-pembunuhan dengan korban amat banyak, siapapun pelakunya, dan mengajak sekitar 5000 hadirin untuk mendoakan semua korban.

 

Kedua, skala kecil dan besar budaya kekerasan itu oleh alasan lain juga terjadi hari-hari ini. Maka Taman Doa Maria di Getasan diharapkan bisa jadi sumber inspirasi agar budaya kelembutan cintakasih mengungguli budaya kekerasan.

 

Artinya, pendekatan kemanusiaan dan budaya menjadi mutlak untuk mengatasi  segala bentuk kekerasan karena apapun. Ini juga berlaku bagi tragedi G30S.

 

***

 

Sedihnya, sampai saat ini soal tragedi G30S yang obyektif masih buntu. Ini karena dua penyakit. Penyakit pertama, nalar macet masih dominan dalam politik. Meski reformasi sudah jalan 18  tahun dan Sang Diktator  sudah lengser dengan banyak info sisi negatif, mesin-mesin kekuasaan masih sering ngawur, mau menang sendiri di semua sektor kehidupan,  belajar  dari sikap pikir Orbaisme Diktator.

 

Penyakit kedua,  budaya baca kritis amat tipis dan sikap pikir ensiklopedis nyaris tidak ada. Ini bukan cuma diderita mayoritas rakyat jelata namun juga menjadi penyakit akut pada  banyak pejabat negara dari desa sampai ibukota serta sebagian intelektual kita.

 

Dua penyakit itu berdampak dahsyat. Melahirkan paling sedikit tiga kebuntuan. Pertama, buntu begitu menghadapi soal komunis ialah berupa kebencian dendam tiada habis. Konflik-konflik antarkubu masalalu terus dipelihara dan dipertajam yang samasekali tidak produktif bagi anak cucu di masa depan yang amat jauh dari konflik tersebut.

 

Kedua, meski sejarah kita sejak awal abad XX dengan puncak kemerdekaan RI adalah hasil perjuangan seluruh unsur rakyat baik kanan, tengah, dan kiri termasuk komunis, namun di era reformasi yang intinya mereformasi atau meninggalkan Orbaisme Diktator, masih saja sikap pikir Orbaisme Diktator maju di garis depan: mendiskreditkan komunis sebagai faham yang melawan Pancasila, ateis, dan masih banyak lagi. Namun semua pendiskreditan itu selalu bisa disanggah banyak versi lain. Misalnya:  Orbaisme Diktator adalah justru jelas-jelas melanggar Pancasila, komunis dan ateis tidak identik, dan apa salahnya orang menjadi komunis atau ateis?  Artinya, masih bermasalah, tidak bisa dijadikan pedoman. Mengapa bangsa Indonesia harus percaya kepada pedoman yang masih bermasalah?

 

Ketiga, tidak serius menyikapi banyak gagasan saling berlawanan sebagai strategi adu domba demi statusquo kekuasaan. Bagian kecil contoh daftar gagasan tersebut:

 

Gus Dur minta maaf kepada semua PKI yang menjadi korban dan minta penghapusan Tap MPRS XXV/1966. Versus: PBNU tolak permintaan maaf kepada korban tragedi 1965!

 

Peristiwa Madiun adalah provokasi kabinet Hatta dan PKI terjebak. Versus: Muso mau dirikan negara komunis boneka Soviet!

 

Komnas HAM menyatakan terjadi kejahatan HAM pada 1965-1966. Versus: PKI meneror dan membunuhi orang-orang nonkomunis!

 

Kejagung bilang kasus 1965 bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi dan Presiden minta kasus 1965-1966 dituntaskan. Versus: Tak usah ungkit-ungkit lagi masa lalu, yang terpenting kesaktian Pancasila!

 

Peristiwa 65 dengan korban pihak PKI antara setengah sampai 3 juta orang harus segera ditanggapi pemerintah. Versus: Awas bahaya laten komunis!

 

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Intinya: masalah tragedi G30S buntu sebab dibuntukan kepentingan mau menang sendiri dengan segala cara.

 

***

 

Yang jelas sudah dicatat sejarah: 45 hari sesudah G30S terjadi, tragedi tersebut menjadi big news today. Itu ditulis Green, dubes AS di Jakarta dalam telegramnya pada 16 Nopember 1965 ke Washington, segera setelah menerima berita DN Aidit telah dibunuh. Ia menulis: Big news today was the report of capture and execution of PKI chairman Aidit. (Bagian DDRS: Declassified Docum Reference System of the US, tentang G30S ada 6 dokumen, tersimpan di Lyndon B Johnson Library).

 

Telegram Green hanya tetes air dalam samudra informasi tentang G30S. Puluhan buku ilmiah dan ratusan risalah serius tentang G30S dan banyak sekali kesaksian para korban Orde Baru telah memberi informasi bahwa ujung terujung dalang G30S cuma dua: PKI (sedikit atau banyak) dan kubu non-PKI utamanya unsur-unsur luar negeri (banyak atau banyak sekali).

 

Artinya, G30S adalah tragedi di mana keterlibatan PKI pasti ada tetapi seberapa prosentasenya dibanding unsur luar utamanya unsur-unsur luar negeri? Itu masih terbuka untuk didiskusikan secara ilmiah, rasional dan obyektif.

 

Pertanyaan "banyak atau sedikit" dan "banyak atau banyak sekali" itu penting bagi kesatuan Indonesia. Jangan sampai kita di dalam negeri gontok-gontokan membuat neraka sendiri sebagai wayang-wayang konyol manakala dalang-dalang utama luar negeri tak terusik berada di surga bikinannya. Tentang itu pak Pram (Pramoedya Ananta Toer) almarhum sewaktu masih tinggal di Utan Kayu bilang pada saya: "Setiap kejadian dan perubahan besar di negara kita selalu berasal dari luar negeri. Semua!"

 

Mohon disimak dua butir kecil tentangnya. Pertama. Memorandum of June 1962. Isinya: Perdana Menteri Inggris dan Presiden AS jaman itu setuju melikuidasi Bung Karno, tergantung situasi dan kesempatan yang ada (dari banyak sumber).

 

Kedua, Reports the New Year. Ini adalah laporan CIA kepada pemerintah AS pada tahun baru 1966 , sebagai bagian DDRS,  yang menginformasikan sebuah kemenangan: kampanye militer RI sukses dalam membersihkan PKI, kejatuhan Sukarno hanya soal waktu, ia akan dipaksa lengser, digantikan Soeharto yang didukung tentara.

 

Alhasil,  sekompleks apapun masalah G30S, peradaban literasi ditunjang sibernetika paling sedikit telah menunjukkan tujuh teori populer tentang G30S. Bahwa, dalang G30S itu bisa (1) PKI, (2) Soekarno, (3) Soeharto, (4) CIA, (5) soal internal Angkatan Darat, (6) pertemuan kepentingan AS dan Inggris, dan bisa (7) teori chaos: ialah campurbaur kepentingan negara-negara barat, beberapa pimpinan PKI yang keblinger dan klik para jendral AD yang korup.

 

Teori mana masuk akal? Silakan pilih selaras hati nurani.

 

***

 

Memang, pertanyaan saya di atas subyektif. Tapi tidak jatuh dari langit. Itu refleksi berdasar akumulasi pengalaman pribadi berkorelasi dengan ke-PKI-an dan berbagai ikutannya, baik berupa manusia (bergaul dengan segala suka dukanya) maupun non manusia (studi banyak literatur tak terhitung selama banyak tahun).

 

Keberanian berkorelasi itu baru terjadi setelah 1983 saat saya mulai tinggal dan bekerja di Hilversum Belanda sampai pensiun pada 2008. Korelasi itu melahirkan banyak persepsi yang merdeka dan menemukan bahwa sejarah tunggal versi Orbaisme Diktator tentang G30S adalah pendunguan hatinurani tiada tara.

 

Juga, karena tuntutan pekerjaan memroduksi acara-acara radio bidang humaniora dan sastra, saya diberi kesempatan oleh Sang Paring Gesang untuk silaturahmi dan wawancara dengan lebih 50 orang korban Orbaisme Diktator  yang disebut "pelarian dan kaum terhalang pulang" di Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, Spanyol, Swedia, Bulgaria, AS, dan Australia. Sebagian mungkin dianggap “gembong” dengan nafas PKI. Di sini penting dicatat dengan tinta tebal:  tak seorangpun dari mereka yang saya wawancarai adalah tukang-tukang suruh bunuh dan apalagi pembunuh langsung di dalam hidup nyata. Mas Hersri Setiawan,  eks tapol Buru, bahkan panik kalang kabut menemukan tikus mati  dalam cerpennya. Pak Sobron Aidit almarhum, memuji salah satu puisi saya yang anti membunuh lalat.

 

Waktu jalan terus dan  akumulasi info tentang G30S makin banyak. Itu membuat utang saya kepada peradaban Indonesia makin banyak karena keterbatasan diri: manuskrip Ensiklopedia G30S yang saya susun sejak 1996 menjadi makin tebal, sudah lebih 1500 halaman, ndak klaar-klaar juga, entah kapan jadinya. Sudi membantu? Hehehe. Lupakan. Hanya melucu.

 

Hal di atas dengan malu saya sampaikan hanya untuk mengatakan, menilai tragedi G30S butuh kerja keras, lama, sabar, dan harus berani menampung banyak versi. Terpenting, catatan kecil  ini tidak dimaksudkan membela atau memusuhi kubu manapun selain mengungkap kebenaran sesuai hati nurani saya. Ia hanya kesedihan. Bagai seorang ibu melihat anak-anaknya bertengkar karena diadu orang-orang jahat. Maka catatan kecil ini adalah kerinduan agar negara kita terus rukun bersatu dalam kebhinekaan, merdeka dari segala bentuk pendunguan hatinurani dari manapun. Itu akan terjadi jika rekonsiliasi berdasar pendekatan kemanusiaan dan budaya dijalankan. Maka seluruh unsur rakyat satu sama lain menjadi teman dan saudara.

 

Meski rekonsiliasi dalam bentuk akbar-makro-formal-politis masih belum terjadi, kita tidak boleh putus asa. Banyak rekonsiliasi pada tingkat individual sudah terjadi. Jumpa dan silaturahmi Ilham Aidit (putra DN Aidit) dengan Sarwo Edhie almarhum adalah contoh rekonsiliasi berdasar kemanusiaan dan budaya. Tidak mempertajam konflik meski segala yang terjadi tak bisa dilupakan. Yang salah mengaku salah. Yang benar tetap bersikap wajar sebagai sesama manusia. G30S harus menjadi tragedi terakhir di negara kita. Tuhan memberkati Indonesia!

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB