x

Iklan

Faris Ismu Amir Hatala

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Kebiri, Tapi Hukum Mati di Hadapan Publik

eksekusi mati di tempat terbuka bagi pelaku perkosaan lebih efektif menekan angka kejahatan perkosaan dibanding hukum kebiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Korban perkosaan yang kalah tenaga untuk melawan berakhir pasrah di TKP.

Hukum kebiri yang ramai diperbincangkan dirasa masih jauh dari perluasan esensi perkosaan dalam rancangan undang-undang KUHP. Pemerkosaan tidak melulu mengenai alat kelamin, ingat kejadian perkosaan dengan gagang cangkul?.

Lebih dari itu, hukum kebiri masih belum perlu diterapkan ditengah kondisi penghematan keuangan negara.  Spesialis urologi dari Asri Urology Center, dr Arry Rodjani, mengungkapkan, hukuman kebiri membutuhkan biaya tak murah. Kebiri dengan pemberian obat membutuhkan biaya mulai dari Rp. 700 ribu untuk sekali penggunaan per 3 bulan, berbeda dengan pembedahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dipandang dari hukuman yang ada, terbukti tidak mampu membendung tingginya angka kejahatan keji pemerkosaan, malah menjadi-jadi, ditambah akses teknologi yang masih bebas.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Kekerasan seksual termasuk bentuk kekerasan paling menonjol, sehingga dapat disimpulkan Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual.

Perlu diakui hanya di rezim Jokowi mencuat mengenai hukum tambahan kebiri, untuk dibahas dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Atau mungkin saja kejadian Yuyun yang diperkosa, tewas dan dibuang ke jurang oleh 14 pelajar membuka mata Presiden Jokowi untuk mencari formulasi penanganan kejahatan perkosaan.

Salah satu yang melekat pada manusia adalah berproduksi biologis, maka ketika tidak adanya sisi manusianya itu, bisa dikatakan dia bukan lagi manusia. Namun perlu juga diingat, ketika pelaku telah merebut sisi kehormatan korban sebagai manusia maka dia juga bukan manusia, tapi seperti binatang.

apakah hukum kebiri akan membuat pelaku pemerkosaan sadar?, dan memberikan efek jera bagi yang lain,? atau malah akan menimbulkan kemungkinan terburuk yang akan ditimbulkan?.

Kalau berasumsi pelaku akan mengulangi kejahatannya kembali maka harus dikebiri, kemungkinan yang terjadi adalah pelaku akan depresi bahkan menjadi gila hingga brutal. Belum lagi pasal sosial yang menandakan pelaku pernah melakukan pemerkosaan. Logikanya hukum tambahan kebiri hanya akan menjadi beban baru. 

Kejahatan Pemerkosaan sudah ada sejak berabad silam. Hukum kebiri bukanlah hal baru, beberapa negara besar sudah lama menerapkan hukum kebiri bagi pelaku perkosaan, salah diantaranya Amerika Serikat, Swedia, Jerman, Spanyol, Prancis, Denmark bahkan Rusia.

Berdasarkan data World Rape Statistic atau Statistic Dunia tentang perkosaan diberbagai negara di dunia yang dikeluarkan tahun 2012 menunjukkan Amerika Serikat yang telah menghapus hukuman mati, dan menganut hukum kebiri sejak 1996 bagi pelaku pemerkosaan berada di urutan pertama diikuti oleh Afrika dan Swedia dengan hukum kebiri mendapatkan perunggu.

Pemerkosaan perlu dikategorikan dalam kejahatan luar biasa, yang ditangani dengan cara yang tidak biasa pula. Ini harus segera diatasi oleh pemangku kebijakan untuk menekan angka pemerkosa.

Berbagai negara yang masih menerapkan hukuman mati di tempat terbuka bagi pelaku perkosaaan seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Yaman, Afghanistan dan Pakistan tidak pernah masuk dalam urutan World Rape Statistic.

Bahkan berdasarkan European Institute for Crime Prevention and Control International Statistics on Crime and Justice, 2011 negara yang menerapkan hukum mati dihadapan publik berada dalam posisi buncit, seperti Uni Emirat Arab (100),  Yaman (114), Arab Saudi (115), dan Pakistan (116).

Hukuman mati yang diterapkan memiliki beragam cara eksekusi di tiap negara. Di Indonesia masih berlaku hokum mati dengan cara ditembak, berbeda dengan Arab Saudi dengan hukum rajam (dilempari batu hingga tewas) bagi pelaku perkosaan. Hukum cambuk di Iran lebih membuat bulu kuduk berdiri, pasalnya pelaku yang dinyatakan bersalah dicambuk dihadapan publik hingga tewas.

Dampak pemerkosaan sangat dalam membekas. Seumur hidup korban dan keluarga menderita sakit psikis berkepanjangangan. Selama ini hukum yang diterapkan di Indonesia tidak mampu membuat shock therapy. Tidak ada pembelajaran dibalik ganjaran hukuman. Aturan eksekusi hukuman mati di Indonesia masih bersifat tertutup, masyarakat hanya mengetahui hingga vonis pengadilan, selanjutnya hingga eksekusi bagai angin berhembus tanpa melihat pelaku meregangkan nyawa ditangan algojo. Budaya ketimuran Indonesia masih kental bagi para perumus undang-undang atau atas dasar sensor nilai kemanusiaan, hingga pada akhirnya hukuman yang ada hanya berlalu begitu saja dan berganti dengan pelaku yang baru.

Hal ini jelas berlainan dengan hukum kebiri, ketika hukum kebiri bisa menjadi pembahasan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) atas pertimbangan ingin memberikan efek jera, maka hukuman mati di hadapan publik juga semestinya dipertimbangkan untuk dibahas, agar menjadi contoh yang membekas bagi sekujur masyarakat Indonesia atas darurat kejahatan seksual.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa data dan fakta dari berbagai negara membuktikan, hukuman kebiri tidak efektif menimbulkan efek jera bagi pelaku perkosaan. Bahwa pemerintah perlu memperkuat upaya-upaya pencegahan dengan memberikan pemberatan hukuman yang mampu memberikan shock therapy dengan menganggap kejahatan perkosaan ditangani dengan cara yang tidak biasa. 

Ikuti tulisan menarik Faris Ismu Amir Hatala lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB