x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

The Politics of Post-Suharto Indonesia

Ketegangan antar kelompok pemilik kekuatan saat Suharto turun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: The Politics of Post-Suharto Indonesia

Editor: Adam Schwarz dan Jonathan Paris

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Council on Foreign Relations Press                                                         

Tebal: ix + 120

ISBN: 0-87609-247-4

 

Era Orde Baru telah berhasil mengembalikan stabilitas politik dan keamanan, menangani krisis ekonomi dan menurunkan angka kemiskinan dari 70% di tahun 1960-an menjadi 11% dipertengahan 1990-an (hal. 1). Namun pengetatan politik yang dilakukan oleh Suharto pada akhirnya menimbulkan kesukaran baginya saat menghadapi krisis ekonomi di akhir eranya. Pemberangusan media masa, penekanan terhadap etnis China dan hanya memberi peluang partisipasi di bidang ekonomi, tekanan kepada politisi Islam dan memberi peran sosial kepada ABRI pada akhirnya justru menjadi tekanan balik dalam pemerintahannya.

Buku ini adalah merupakan hasil seri diskusi menjelang turunnya Suharto dari tampuk kekuasaan. Diskusi yang diselenggarakan oleh Council on Foreign Relations Study Group diikuti oleh 50 orang dari berbagai latar belakang. Diskusi dilakukan pada tahun 1997 saat Asia mengalami krisis dan diskusi ke lima, yang terakhir dilakukan pada Bulan Mei 1998, dua minggu sebelum kerusuhan terjadi di Jakarta.

Saat Suharto harus menghadapai krisis ekonomi, kerusuhan antar etnik justru merebak. Perusakan asset milih etnis China dan perkosaan kepada perempuan China, pembakaran gereja, pembunuhan ‘dukun santet’ mengakibatkan konsentrasi Suharto dalam mengatasi krisis menjadi terbelah. Pada saat yang sama, bangkitnya politisi Islam juga makin menekan Suharto. Amin Rais muncul ke permukaan menuntut Suharto turun.

Hal lain yang juga menyebabkan runtuhnya Suharto adalah keputusannya untuk memilih Habibie sebagai Wakil Presiden, ekonomi boros yang disebabkan karena pembiayaan bisnis anak-anak dan kroni-kroninya serta pembiayaan ‘proyek Habibie’. Kesulitan itu ditambah dengan salah obat dari IMF. Penutupan Bank, penghapusan subsidi BBM justru membuat ekonomi semakin parah.

William Liddle berargumen bahwa masalah kroni, pemilihan Wakil Presiden dan kabinet, rivalitas di ABRI, dan penyederhanaan partai politik adalah hal-hal yang berpengaruh terhadap kejatuhan Suharto. Hal-hal tersebut di atas menjadi sebab Suharto tak mampu mengatasi krisis ekonomi. Saat IMF memberikan bantuan, Suharto sepertinya menerima syarat-syarat yang diajukan. Namun pada kenyataannya, kronisme menyebabkan pelaksanaannya tak seperti yang dijanjikan. Bank milik Bambang Triatmojo yang ditutup, asetnya dialihkan ke bank lain miliknya. Proyek Hidroelektrik di Jawa Timur milik kroninya yang ditunda pelaksanaannya tiba-tiba dijadwalkan ulang. Monopili cengkeh oleh Tommy Suharto tidak disentuh, demikian pula dengan monopoli kayu lapis oleh Bob Hasan. Penyusunan APBN tahun 1998-99 tidak dikonsultasikan kepada IMF (hal. 18). Liddle berargumen bahwa Suharto tua (76 tahun) tidak bisa membedakan mengatasi krisis negara atau mengatasi krisis bisnis kroni dan anak-anaknya. Sejak krisis ekonomi melanda pada tahun 1997, Suharto lebih sibuk membatu bisnis anak-anak dan kroninya daripada membuat keputusan yang mendorong mengatasi krisis ekonomi negara (hal. 25).

Pemilihan Habibie sebagai Wakil Presiden membuat para pelaku bisnis menjadi pesimis bahwa ekonomi Indonesia akan bisa kembali kepada tertib ekonomi dan tidak melakukan pemborosan. Masuknya Bob Hasan dan Tutut dalam kabinet menambah pesimisnya para pelaku bisnis.

Rivalitas ABRI hijau dan ABRI merah putih semakin kentara sejak lengsernya Murdani. Prabowo Subianto yang dianggap ABRI hijau dan Wiranto yang dianggap ABRI merah putih menjadi dua pemimpin di ABRI. Prabowo membuat manuver untuk menekan Habibie supaya dijadikan Panglima ABRI. Liddle berpendapat hal ini bisa terjadi karena lemahnya leadership (dari Suharto) dalam mengelola tentara (hal. 28). Akibatnya militer lebih banyak bersikap reaktif daripada melakukan aksi yang lebih strategis dalam mengatasi persoalan negara.

Saat krisis ekonomi muncul, muncul pula kekuatan-kekuatan masyarakat melalui organisasi (Muhammadiyah dan NU) serta partai politik (PDI dan partai-partai Islam). Tokoh seperti Amin Rais (Muhammadiyah), Abdurrahman Wahid (NU) dan Megawati (PDI) menjadi pihak-pihak yang memberi tekanan kepada Suharto dan kemudian Habibie.

Pada saat Habibie memegang kekuasaan, hal pertama yang dilakukan adalah dengan meningkatkan partisipasi sipil dan mengurangi peran militer. Bersama dengan Wiranto dan Susilo Bambang Yudoyono, Habibie membawa militer kembali ke barak. Habibie memberi ruang yang lebih besar kepada politisi Islam masuk ke dalam kabinetnya.

Robert Hefner secara khusus membahas peran politisi Islam setelah Suharto turun. Pada tahun 1980-an banyak pengamat Indonesia yang skeptis akan peran politisi Islam di Indonesia. Sebab kekuatan kelompok abangan dan kelompok nasionalis begitu kuat. Namun di akhir pemerintahan Suharto, peran politisi Islam mulai terasa dalam perpolitikan nasional. Munculnya Habibie sebagai calon Wakil Presiden, berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan munculnya jenderal-jenderal hijau (Prabowo Subianto, Feisal Tanjung) di ABRI telah mengubah peran politisi Islam di kancah nasional.

Sejak merdeka, politisi Islam sudah terbelah menjadi dua kelompok. NU yang berbasis masa di pedesaan dan Masyumi yang berbasis intelektual di perkotaan. NU secara jelas memaknai Islam sebagai sebuah nilai untuk membangun NKRI. Sedangkan kelompok modernis memaknai Islam sebagai bentuk negara. Pada awal era Suharto dan tahun-tahun kemudian kedua kelompok termarjinalkan. Baru pada akhir era Suharto, tahun 1990-an ada perkembangan yang menarik. Suharto berupaya menyingkirkan Abdurrahman Wahid dari NU dan mewadahi kelompok modernis dengan mendirikan ICMI. Upaya menyingkirkan Abdurrahman Wahid gagal, sementara ICMI menjadi tidak bisa dikontrol.

Salah satu alasan Suharto merestui berdirinya ICMI adalah untuk menghindari revolusi Islam seperti yang terjadi di di negara-negara Islam seperti Aljazair (hal. 50). Berdirinya ICMI bisa menjadi sarana “bulan madu” antara Suharto dengan kelompok Islam modernis (hal. 51).

Di akhir era Suharto juga muncul kelompok Islam yang lebih keras, yaitu DDI dan KISDI (Ahmad Sumargono) yang mendapat dukungan dari Prabowo Subianto. Kelompok ini secara tegas memusuhi Kristen dan China. Mereka mengecam proses kristenisasi di Indonesia. Kelompok KISDI berkampanye untuk mendukung Habibie sebagai presiden.

Takashi Shiraishi membahas peran militer paska Suharto. Militer adalah institusi paling berkuasa di era Suharto dipaksa untuk mengurangi perannya setelah Suharto turun (hal. 73). Banyak politisi yang meminta Dwi Fungsi ABRI dihilangkan. ABRI juga disorot sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM selama era Suharto. Banyak pihak juga menengarai keterlibatan tentara dalam kerusuhan Mei 1998.

Pada saat Murdani berhenti dari militer, dan Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI pada tahun 1993, regenerasi perwira terjadi secara masif. Regenerasi ini ditengarai sebagai pembersihan ABRI dari pengaruh Murdani. Sasarannya adalah para perwira Kristen dan mereka yang bekerja di bidang intelejen. Kedua kelompok ini dianggap sebagai orang-orangnya Murdani (hal. 79). Peminggiran perwira yang beragama Kristen juga terjadi saat Wiranto menugaskan Johny Lumintang untuk menjadi Panglima Kostrad menggantikan Prabowo Subianto. Lumintang hanya menjabat selama 17 jam, sebelum kemudian digantikan oleh Jamari Chaniago (hal. 83).

Turunnya Suharto diikuti dengan lengsernya Prabowo dari militer. Posisinya sebagai Pang Kostrad digantikan oleh Johny Lumintang dan kemudian Jamari Chaniago. Namun Prabowo tidak tinggal diam. Prabowo datang ke Habibie disertai dengan pasukan Kopassus untuk ditunjuk sebagai Panglima ABRI dan Subagyo ditunjuk sebagai Kepala Angatan Darat. Namun Prabowo tidak bisa bertemu Habibie. Subagyo kemudian mengambil alih Kopassus dari tangan Muchdi PR. Dengan demikian Prabowo tidak lagi memiliki pasukan, selain kelompok kecil anggota Kopassus yang setia secara personal kepadanya (hal. 83).

Wiranto kemudian melakukan penggantian perwira yang dianggap dekat dengan Prabowo. Komandan Kopassus Muchdi Pr diganti sementara oleh Subagyo dan kemudian Syahrir ditetapkan sebagai Komandan Kopassus. Kodam Jaya Safrie Sjamsuddin diganti oleh Djaja Suparman. Kepala KOSTRAD Kivlan Zein diganti oleh  Ryamizard Ryacudu. Dengan penggantian ini Wiranto telah melakukan konsolidasi kontrol terhadap militer (hal. 84).

Peran militer dalam perpolitikan Indonesia pasca turunnya Suharto memang menurun. Namun peran mereka dalam perpolitikan tetap besar. Intelejen masih berada di bawah militer. Masih banyak jenderal (pensiunan) yang berperan dalam politik di Indonesia. Peran mereka masih sangat dibutuhkan.

John Bresnan membahas peran Amerika dan IMF dalam krisis di Indonesia tahun 1997. Banyak pengamat menyatakan bahwa terlambatnya Amerika dalam ikut menangani krisis ekonomi di Asia adalah penyebab hebatnya krisis ini melanda negara-negara, khususnya Thailand, Indonesia dan Filipina. Bahkan ketika IMF sudah mulai merespon permintaan Indonesia, pemerintahan Clinton masih belum bereaksi (hal. 87). Akibatnya krisis yang melanda Indonesia adalah krisis ekonomi yang paling parah yang pernah dihadapi oleh sebuah negara sejak tahun 1930.

Selain dari lambatnya Amerika dalam ikut menangani krisis ekonomi di Asia, ketidak-taatan Suharto akan syarat-syarat yang diberikan oleh IMF juga menjadi sebab tak tertanganinya krisis tersebut. Keputusan-keputusan Suharto lebih condong kepada menyelamatkan bisnis anak-anak dan kroninya. Suharto juga tidak berniat untuk melakukan demokratisasi seperti yang dilakukan oleh Thailand dan Korea Selatan. Suharto menyatakan bahwa tidak akan ada perubahan politik sampai dengan tahun 2003 (hal. 98). Sementara IMF terlalu fokus menangani masalah ekonomi saja.

Bresnan beranggapan bahwa koordinasi yang buruk dari pemerintahan Clinton dengan IMF dalam menangani krisis di Indonesia telah menimbulkan kebingungan. Intervensi melalui tilpon langsung Clinton kepada Suharto untuk mentaati syarat-syarat yang diajukan oleh IMF sudah sangat terlambat.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB