Mengapa Pendekatan Outside-In Begitu Jitu?
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPendekatan outisde-in memungkinkan perusahaan bertahan dalam situasi bisnis yang baik maupun buruk.
Perusahaan apa yang mampu bertahan di tengah pasar yang berubah-ubah cepat? Ranjay Gulati, seorang guru besar di Harvard Business School, tanpa ragu menyebut: perusahaan yang mengutamakan konsumennya dengan memakai perspektif outside-in. Perusahaan menyampaikan secara kreatif sesuatu yang bernilai kepada pelanggannya ketimbang fokus semata pada produk dan penjualan.
Mendiang guru manajemen Peter Drucker semasa hidupnya kerap menyebut outside-in sebagai pendekatan, dan Gulati menjadikan gagasan ini sentral dalam buku barunya, Reorganize for Resilience: Putting Customers at the Center of Your Business. Riset Gulati mengeksplorasi isu kepemimpinan dan tantangan-tantangan strategis untuk membangun organisasi yang tumbuh tinggi dalam pasar yang turbulen.
Apa yang membedakan perspektif outside-in dan inside-out terletak pada perlakuan perusahaan terhadap pelanggan. Sebelum memulai risetnya, Gulati berasumsi secara naif bahwa semua perusahaan punya orientasi outside-in dengan menjadikan pelanggannya sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Setelah riset, ia tahu bahwa perusahaan semacam itu adalah pengecualian dari yang umum—dalam bisnis saat ini, perspektif outside-in belum menjadi aturan umum.
Kebanyakan perusahaan yang berpegang pada perspektif inside-out begitu lekat dengan urusan memproduksi dan menjual produk serta lebih memikirkan ‘nasib’ organisasinya. Sebaliknya, perspektif outside-in bermula dari pasar dan menggali secara mendalam persoalan yang dihadapi pelanggan dalam hidup mereka. Dari pemahaman terhadap konsumen ini, yang dipadukan dengan kapabilitas organisasi maupun pemasok dan mitra bisnis, perusahaan secara kreatif berusaha menemukan pemecahan. Tujuannya adalah membawa sesuatu yang bernilai kepada pelanggan sembari menambah nilai bagi perusahaan sendiri.
Sejumlah perusahaan yang dipelajari oleh Gulati, dengan memakai data antara 2001 hingga 2007, menunjukkan kinerja yang memukau. Perusahaan-perusahaan yang menerapkan perspektif outside-in berhasil memberi shareholder returns sebesar 150 persen, sementara perusahaan yang masuk dalam S&P 500 hanya memberi 14 persen saja. Penjualan perusahaan-perusahaan ini juga tumbuh sebesar 134 persen dibandingkan dengan perusahaan yang masuk dalam S&P 500 yang hanya tumbuh 53 persen. Jelas bahwa ada sesuatu yang memungkinkan mereka bertahan dalam situasi baik maupun buruk.
Mengembangkan orientasi outside-in tidaklah mudah. Seperti kata Gulati, pemahaman mengenai pelanggan hanyalah permulaan. Setelah itu, perusahaan harus membuat ‘lompatan kreatif’—istilah yang dipakai Gulati—untuk menemukan perpaduan unik produk dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. “Tak ada pelanggan yang memberi tahu Steve Jobs dan Apple bagaimana desain iPhone dan iPad,” ujar Gulati. Jobs dan timnya yang menemukan desain kedua produk ini. Yang mereka lakukan ialah mendengarkan secara tekun keinginan dan kebutuhan pelanggan, lalu melakukan lompatan kreatif dengan cara memadukan pemahaman itu dengan kemampuan dan potensi yang mereka miliki—termasuk dengan dukungan pemasok dan mitra lainnya.
Sebagai contoh Best Buy, yang menghadapi kompetisi yang kian ketat dengan pengecer lainnya. Perusahaan ini akhirnya memahami bahwa 55 persen pelanggannya adalah perempuan, dan kebanyakan mereka tidak nyaman merasakan pengalaman berbelanja di Best Buy. Pengecer ini lalu merespons dengan menata ulang desain toko-tokonya dan melatih stafnya agar mampu membuat pelanggan perempuan mereka nyaman berbelanja. Memang diperlukan kerja cerdas untuk membuat karyawan memahami manfaat perspektif outside-in, dan kemudian perlu aksi nyata. Hasilnya tidak bisa diperoleh dalam semalam. (foto ilustrasi: coroflot.com) **
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler