x

Seorang petani memperlihatkan biji gandum yang rusak karena curah hujan tinggi, di pinggiran Ajmer, India, 8 April 2015. Perdana Menteri India, Narendra Modi mengumumkan kenaikan kompensasi sebanyak 50 persen untuk dibayarkan kepada petani akibat ker

Iklan

Setyaningsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepada Sayur Mayur

Rendra berimajinasi Tuhan sebagai sayur, bukan sosok tinggi atau berjubah misterius. Tuhan seperti sayur yang dekat dan lekat, masuk ke tubuh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pekarangan menyelamatkan perekonomian Kuba ketika jalinan dagang Kuba dan blok Soviet berakhir serta produksi pangan runtuh. Saat itu, sekitar awal 1990-an. Petani pun mulai melakukan teknik egroekologi bersama para ilmuan dan warga yang memanfaatkan setiap tanah pekarangan untuk berkebun pangan mandiri. Pertanian sekelas rumah jadi langkah kecil tapi penting untuk bangun dari mimpi buruk. Industri pertanian modern di negara-negara Amerika Latin terlalu sering memunculkan kebijakan destruktif bagi pertanian (Republika, 12 April 2016). 

Pekarangan rumah tangga menjadi harapan baru usai penggunaan massal pupuk kimia, pasokan pangan impor, dan serangan hama pertanian mengguncang stabilitas ekonomi serta mentalitas menjadi tuan di pekarangan sendiri. Sebagai efek mendunia, muncul urban farming alias pertanian perkotaan sebagai cara memberesi lumbung pangan keluarga. Dunia tidak hanya mengenal Jason Mraz atau Michelle Obama sebagai selebritas jagat musik dan politik. Mereka juga adalah para tukang kebun sayur. Mengajak publik hidup sehat bebas pestisida, menghidupi pekarangan, beternak, dan mengelola sampah daun dengan cerdas.  

Di Indonesia, kita sudah mulai mendapati aktivitas berkebun melambung lebih dari sekadar urusan domestik. Di media sosial atau media cetak, berhamburan tips-tips dan foto berkebun di tanah yang mini, tata cara memanfaatkan barang bekas sebagai lahan bersayur, dan gaya pertanian vertikal. Dinding saja bisa menjadi ladang sayur! Inovasi ini memang harus terjadi saat pemukiman memadat. Tanah sudah tersemen dan alih fungsi lahan menjadi bangunan melangit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah yang sempat dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngupoyo Bogo di kampaung Kestalan, Banjarsari (Solopos, 24 Maret 2016). Di kampung, sayur hidup untuk melawan krisis lahan dan kesan buruk. Sejak 2013, para perempuan tani menjadikan kotak buah dari kayu, botol, pralon, tong, dan bungkus minyak goreng bekas sebagai tempat menanam sayur. Dinding rumah penduduk jadi rumah sayur mengakar. Selada, sawi jepang, bayam merah, kol, pare, dan kenikir juga mengabarkan pertaubatan karena kampung ini semula identik dengan kesan pelacuran, lalu dihijaukan sebagai Kampung Sayur. Meski kampung dikepung hotel, warga dan sayur mayur tetap bertekad tumbuh.

Religius

Sayur dan pertaubatan dalam nuansa religiusitas yang kental juga pernah disampaikan W.S. Rendra (1972) dalam puisi “Tobat”. Aku tobat, ja Tuhan/ tobat atas segala dosaku/ Katjang² berkembang/ daun kobis segar di ladang./ DjantungMu adalah bidji kentang/ digigit oleh tanah/ Aku tobat, ja Tuhanku/ tobat atas segala dosaku./ Burung² ketjil di belukar/ batang pimping menggeliat/ MulutMu daisi di hutan/ sederhana dan manis sekali/…. Betapa bersahaja dan puitis, Rendra berimajinasi Tuhan sebagai sayur, bukan sosok tinggi atau berjubah misterius. Tuhan seperti sayur yang dekat dan lekat, masuk ke tubuh dan akhirnya menyatu dengan tubuh. Narasi sayur mengantarkan pada kebermaknaan tanah, air, dan udara sebagai sumber penghidupan.

Bagi orang Jawa, tidak ada hidup tanpa sayur. Bahkan, sayur sekelas jantung pisang alias jangan tuntut pun bisa memberi kedigdayaan pada jejak nasib anak berkeluarga, kemartabatan-ketabahan ibu dalam rumah, dan kemakmuran kebun meski jangan tuntut masih dimarginalkan. Lebih sering ditempatkan dalam emosi kemiskinan dan kenestapaan ekonomi keluarga. Memang, di kelas priyayi, ada jenis sayur yang menentukan martabat kepriyayian dan lebih memberi imperasi pada kemakmuran agraris.

Kita cerap saja kutipan menyegarkan dari Bu Prasodjo  (Umar Kayam, Mangan Ora Mangan Kumpul: 1991), “Makan di sini ya? Aku baru habis ramban terong, kacang panjang, dan sedikit dedaunan, Nanti tak masakkan sayur asem, tak bakarin pete, tak sambelin yang pedes dengan trasi Juwana, tak gorengin ikan mujair. Mau enggak?” Kenikmatan jangan asem bukan tercipta dari sayur secara soliter. Ada racikan rasa kekeluargaan, kebersamaan, penampakan pekarangan rimbun sayur, kebisaan keluarga dan menikmati waktu nglaras.      

Bersayur secara naluriah dalam kehidupan sehari-hari adalah cara melawan iklan gaya hidup sayur yang makin menggejala. Tiba-tiba, sayur diolah dengan teknologi mutakhir untuk mendapatkan khasiat paling organik dalam rupa jus, susu, minuman kemasan, kosmetik, atau camilan sehat. Pengiklannya perempuan cantik nan seksi yang mereka justru tidak pernah berpanas-panas di ladang, berakrab dengan tanah-lumpur, atau memetik dengan khidmat. Sayur di televisi tampak selalu sehat dan tidak terpapar hama. Harga pun jarang menjadi keresahan. Saat panen sayur melimpah, harga justru terjun bebas. Para petani tidak bisa mengeluhkan hal ini dalam iklan.

Kepada sayur kita mendoa. Peristiwa masih belum menghilang; pekarangan hidup, embun mendarat di sesayuran, dapur mengepul, anak-anak bertumbuh, para perempuan agraris membawa bronjong sayur ke pasar, dan para petani bercaping bersyukur dari tepian kebun. Sayur mengembalikan kesadaran betapa manusia bercanggih dengan teknologi, pemerintah punya ongkos besar merayakan festival, atau publik telah mapan menyantap kemewahan, mereka tetap butuh waras dengan sayur. Bagaimanapun juga, Tuhan sangat bisa menjelma dalam sayur-sayur demi mengentaskan rasa lapar, sedih, miskin, bodoh, dan rakus.

Ikuti tulisan menarik Setyaningsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB